Suasana malam yang sunyi, keheningan di pekarangan sebuah rumah bergaya klasik nan mewah dan besar dengan halamannya yang luas terusik oleh suara deru mobil. Dua mobil mewah pun segera terparkir dengan rapi. Setelah mesin mobil dimatikan, Satria keluar dari mobil diikuti Harris dan Lisa yang keluar dari mobil yang satunya. Memasuki rumah, mereka segera menuju ke ruang keluarga. Lalu mereka bertiga duduk di sofa, Satria duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. Tangan Satria meraih remote dan menyalakan tv, tapi tak lama kemudian mematikan tv itu lagi dan meletakkan remote dengan kasar, Satria terlihat sangat bingung akan berbuat apa saat ini. Dalam waktu yang tidak lama, Satria sudah beberapa kali mendengus kasar dan pandangan yang nanar. Harris dan Lisa saling berpandangan, menyadari ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh putra mereka. Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita begitu juga dengan Harris dan Lisa. Sejenak mereka memilih
Handa mengambil beberapa potong pakaian dari ransel yang sudah ia rapikan dari beberapa hari yang lalu. Handa sudah siap untuk kembali ke Semarang, tetapi Gunadi menahanya sampai Hanin ditemukan atau mereka menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya Handa merasa tidak betah dan tidak nyaman, apalagi setelah Satria masuk ke kamarnya. Handa masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dan berganti kaos oblong lengan pendek dan celana jeans butut serta rambut yang dibalut dengan handuk. Handa berdiri di depan jendela melihat pemandangan di luar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seakan tak percaya melihat mobil mewah yang semalam datang memasuki pekarangan rumah mereka. Handa melihat ke jam tangannya, waktu menunjukkan belum genap pukul enam sudah ada yang bertamu ke rumah mereka. Handa sudah di dapur menemui Marini yang sedang membuat sarapan. "Ada tamu Ma, biar Handa yang nglanjutin bikin nasi gorengnya." Belum sempat Marini menj
Setelah Satria dan kedua orang tuanya pergi suasana rumah Ginadi menjadi hening. Marini memilih segera memasuki kamarnya untuk menghindari percakapan dengan Handa dan Gunadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Marini.Handa masih terdiam di tempatnya, Gunadi memandangi putri bungsunya dengan penuh rasa bersalah. Sejak Handa masih kecil Gunadi tidak bisa memberikan kasih sayang dan perlindungan padanya. Handa harus meninggalkan rumah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat Handa meminta pulang agar bisa kuliah di Jakarta pun tak bisa ia penuhi, semua itu ia lakukan hanya agar Hanin tidak marah dan ngamuk. Dan kini, Handa diminta mempertanggungjawabkan sesuatu yang bukanlah kesalahannya, lebih tepatnya kesalahan Hanin yang kabur menjelang hari pernikahan. Dalam hatinya Gunadi menghitung Aset dan tabungannya tak akan cukup mengantikan biaya yang sudah dikeluarkan Satria untuk acara pernikahan yang akan digelar. Tetapi Gunadi tidak ingin mengorbankan Handa sekali lagi, dia siap
Di dalam kamarnya, Handa sedang membuka ponselnya, dilihatnya kiriman foto-foto tanda pembayaran segala keperluan pernikahan Hanin dan Satria. Handa menggaruk rambutnya meskipun tidak gatal, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu ia melempar ponselnya di kasur dan terdiam duduk di tepian ranjang. Dalam keheningan kamarnya terdengar suara Gunawan yang mengelegar membuatnya segera bangkit dan keluar dari kamarnya."Pakdhe!" gumam Handa kala melihat Gunawan di ruang tamu, Handa bergegas berlari menghambur ke pelukan Gunawan. Handa tampak damai dalam pelukan pria paruh baya yang merupakan saudara tua papanya. Dalam dekapan sang pakdhe, Handa merasa terlindungi dan disayangi. Gunadi yang menyaksikan merasa teriris hatinya, seharusnya dia yang memeluk Handa di saat seperti ini, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlari, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berbagi dan seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlindung. Tetapi kenyataan yang terj
Di kantornya, Satria berdiri menatap keluar jendela. Tatapan mata yang tampak sangat lelah penuh kekecewaan dan amarah. Saat segala yang dia miliki menjadi tak berguna karena tak mampu untuk membeli kebahagiaan. Perempuan yang dia cintai dan telah bersedia untuk bersatu dalam ikatan janji suci pernikahan memilih untuk meninggalkanya di saat-saat terakhir. Sedangkan seorang gadis biasa pun tak mudah ia dapatkan untuk menjadi pengganti, meskipun sudah diancam dan dia telah menunjukkan kekayaan yang dia miliki sebagai iming-iming.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Satria. Satria melihat ke layar ponselnya, terpampang nama kontak "Handa". "Halo!""....""Baiklah, aku segera ke sana."Satria menuju ke meja kerjanya, mematikan laptopnya dan merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan ruangannya.***Mobil Satria memasuki pekarangan rumah Gunadi, tak lama kemudian Satria turun dari mobilnya. Satria terkejut saat melihat Gunawan ya
Kini dua keluarga itu telah duduk bersama di ruang tamu untuk membicarakan pernikahan Handa dan Satria. Perdebatan yang alot terjadi antara Lisa dengan Gunawan. Berulang kali Harris mengusap punggung Lisa, berharap istrinya tersebut tidak terlalu terbawa emosi. Berbeda dengan Gunadi dan Marini yang sedari tadi memilih diam.Dua anak muda yang namanya sering disebut dalam perdebatan yang sedang berlangsung, menunjukkan reaksi yang berbeda. Handa tampak sering menahan senyumnya kala sang pakdhe yang dia andalkan hanya menanggapi emosi Lisa dengan jawaban yang terkesan konyol dan seadanya. Sedangkan Satria yang dari tadi memperhatikan Handa, hanya terdiam seolah tak mampu untuk melawan pesona dari senyum gadis yang seharusnya menjadi adik iparnya itu. Hingga pandangan mereka beradu, Satria melempar senyum sambil mengigit bibir bawahnya, membuat Handa menjadi salah tingkah dan segera memalingkan wajahnya. "Makanya Bu, dengarkan dulu kalau ada orang ngomong. Saya hanya memberi satu syarat
Kesepakatan telah tercapai, Satria dan kedua orang tuanya pun berpamitan untuk undur diri dari rumah Gunadi. Syarat yang diajukan Gunawan memang tidaklah memberatkan secara materi, tetapi komitmen pernikahan dengan orang yang baru ditemui bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi saat di dalam hati masih terukir nama wanita lain.Sebagai lelaki normal Satria tidak memungkiri dia pun memiliki rasa ketertarikan pada Handa, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Apakah rasa itu bisa diartikan cinta? Ataukah hanya ketertarikan fisik saja? Itulah yang sampai saat ini Satria belum bisa meyakininya. Jika berbicara tentang fisik, tentulah Hanin jauh lebih menarik dari Handa. Hanin memiliki lekuk tubuh yang hampir sempurna dan sangat seksi, serta memiliki daya tarik seksual yang tinggi . itulah sebabnya Satria begitu tergila-gila dengan gadis yang menjadi sekretarisnya itu sebelum akhirnya mereka memutuskan akan menikah.Sedangkan Handa, hampir sama sekali tidak ada yang menarik. Tubuh kecilnya
Mobil Satria memasuki area parkir sebuah kafe, sebelum turun dari mobil Handa melihat sekeliling kafe, seakan tak menemukan alasan yang tepat Satria mengajaknya datang ke tempat tersebut. "Resepsinya di sini? Atau ngurus katering?" tanya Handa, memberondong Satria. "Saya lapar, kita makan siang dulu," jawab Satria sambil melepas sabuk pengamannya dan segera keluar. Handa pun segera mengikuti Satria, tetapi saat ia akan membuka pintu mobil, dengan sigap Satria sudah membukakannya. Handa tampak salah tingkah menerima perlakuan Satria, bahkan setelah keluar dari mobil, Satria segera meraih pinggang Handa lalu melingkarkan tangannya dan mereka berjalan memasuki kafe layaknya sepasang kekasih. Saat Handa berusaha melepaskan tangan Satria, Satria justru semakin mempererat pegangannya. "Nggak usah berlebihan, Mas." Lama-lama Handa merasa tidak nyaman dengan perlakuan Satria kepadanya. "Aku ini calon suamimu," ucap Satria dengan nada dingin dan pandangan tetap lurus ke depan. Handa tak i