Ting-tong.
Marigold membuka pintu apartemennya, namun langsung membantingnya kembali. Dan sayangnya, usahanya gagal. Pintu itu ditahan oleh tamu Marigold, yang kini memaksa masuk ke dalam apartemen.
Marigold bersedekap dan bersandar di tembok, dekat pintu apartemen yang masih dibiarkannya terbuka. Marigold sama sekali tidak menyukai kehadiran si tamu yang kini sedang berjalan-jalan tanpa permisi, masuk ke area pribadinya serta memindai setiap sudut miliknya dengan raut tidak terbaca. Menyebalkan.
"Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan disini, Adam? Kamu bukan temanku. Dan sekarang kamu memaksa masuk ke dalam apartemenku. Itu adalah suatu kejahatan. Sekarang, mungkin aku harus menelpon pihak sekuriti untuk membawamu keluar dari apartemenku. Dan setelah itu, aku akan memanggil tim penyemprot hama, agar apartemenku terbebas dari virus."
"Ck-ck.. Sudah lama tidak bertemu, masih saja bermulut tajam."
"Untuk menghadapi orang asing dengan maksud tidak j
Pukul 19.00. Restoran Perancis.Maximilian bersama Martin masuk ke sebuah restoran Perancis, untuk makan malam bisnis bersama salah satu kolega bisnis, yaitu seorang ahli pembibitan parfum dari Perancis. Jalanan macet karena adanya penutupan beberapa ruas jalan utama menjelang akhir tahun, akibatnya Max terpaksa datang terlambat. Dan sebelumnya Martin, asisten pribadinya sudah mengabarkan keterlambatannya pada koleganya ini, sehingga laki-laki yang berkumis lebat ini bisa memahami alasan keterlambatan Max."Dia? Sedang apa dia disini?" gumam Max lirih ketika sudut matanya menemukan sosok yang familiar. Ck, apanya yang familiar. Dirinya baru bertemu satu kali, yaitu saat menyelamatkannya dari penjambret, beberapa hari yang lalu. Tanpa sadar, kaki Max berhenti melangkah. "Sungguh pertanyaan bodoh. Di restoran, tentu saja sedang makan malam," monolognya, merutuki dirinya sendiri."Siapa?" tanya Martin bingung. Asisten pribadi Max yang berjalan di sisinya, yang juga
"Sudah sampai, non," kata pak sopir sambil menoleh ke arah jok belakang mobil MPV hitam miliknya. "Ini uangnya, pak. Ambil saja kembaliannya," kata Marigold sambil memberikan sejumlah uang pada pak sopir online. Lalu membuka pintu mobil dan menggeser tubuhnya untuk keluar dari mobil. Si bapak segera menghitung uang, lalu mendongak dan menatap penumpangnya. "Tapi ini uangnya kurang, non." "Benarkah, pak? Masa sih kurang? Aku sudah menghitung uangnya dengan benar lo," bantah Marigold sambil mengerutkan kening, mengingat-ingat antara total tagihan dan jumlah uang yang dibayar. "Benar non. Bapak ini kerja cari duit dengan jujur. Untuk apa makan uang haram?" protes pak sopir dengan wajah memelas sambil menunjukkan uang yang telah dibayarkan oleh Marigold. "Dasar," gerutu Nina, sepupu Marigold kesal. "Kurangnya berapa, pak?" "Enam ribu, non." Nina berdecak semakin keras dan melotot tajam pada Marigold yang sedang berpikir keras, enta
The Alexander's Hotel. Marigold turun dari taksi, lalu memasuki lobi hotel 'The Alexander's Hotel', tempat diadakannya acara pemilihan gadis untuk sang milyader, dengan percaya diri. Nafasnya tercekat melihat kemewahan yang ditawarkan oleh hotel ini. Bukan hanya dirinya saja yang manik matanya membelak takjub serta mengeluarkan seruan 'wow' ketika memindai setiap sudut lobi hotel ini, namun hampir sebagian besar para tamu yang datang merasa silau dengan kemewahan. Baru kali ini, Marigold menginjakkan kaki di tempat seglamor ini. "Wow, mimpi apa aku semalam, sehingga aku bisa menginjakkan kaki disini, tanpa harus takut diusir sekuriti," bisik Marigold yang berulang kali menyesap air liurnya karena sangat terpukau dengan bangunan istimewa ini. Hotel nan megah ini dikelilingi oleh pasir putih, yang katanya diterbangkan langsung dari luar negeri. Pantai buatan itu membuat hotel super mewah ini seakan berada di pulau pribadi. Saat memasuki lobi hotel, para tamu ak
Stempel 'tidak lolos' sudah akan ditempelkan pada berkas milik si gadis karate yang unik itu, ketika ponsel miliknya berdering dengan nada pesan masuk. Stempel itu diletakkan terlebih dahulu. Pesan masuk harus segera dibuka, karena siapa tahu ada instruksi penting dari atasan. Pesan dibuka. "Siapa pun yang menerima gadis yang bernama 'Marigold Flora', petugas itu harus me-LOLOS-kan nya. Tidak peduli, jika gadis itu mendapatkan peringkat paling bawah. Status LOLOS harus diberikan. Ini adalah perintah langsung dari atasan. Yang melanggar, otomatis dipecat." Staf yang menerima wawancara dengan gadis bernama Marigold Flora, langsung tercengang syok hingga lupa bernafas. Dilihatnya sekali lagi dokumen yang berisi data pribadi dari si gadis karate. "Yang benar saja, wajah dan body standar, sama sekali tidak ada yang istimewa. Kepribadian pun juga tidak memuaskan. Disuruh jalan cantik saja tidak bisa, bagaimana mungkin menjadi finalis gadis untuk sang milyad
"Tuan Martin," panggil seorang sekuriti. Laki-laki yang dipanggil sebagai Tuan Martin menjawab, "Ada apa?" "Ada keributan di ruang kesehatan." "Keributan?" ulang Tuan Martin heran. "Keributan apa?" "Ada seorang gadis yang tiba-tiba dikeroyok sekelompok gadis berjumlah empat orang. Ini rekaman CCTV nya," lapor sekuriti itu sambil menunjukkan rekaman itu di tabletnya. Alis Tuan Martin berkerut hingga menyatu di tengah pangkal hidung ketika melihat adegan bag-big-bug. Seorang gadis yang seorang diri dikeroyok oleh empat orang gadis lain. "Astaga ini..," bisiknya pelan terkejut. "Antarkan aku kesana sekarang," perintahnya lanjut. "Mari ikut saya, Tuan Martin." Kemudian.. Cklek. Pintu ruangan kesehatan itu terbuka. Suara terkesiap terdengar dari Tuan Martin dan sekuriti itu, saat melihat empat gadis yang terkapar disana. Ada yang masih terbaring di lantai sambil meringkuk kesakitan. Dua lainnya bersandar di dinding dan menge
"Huft.. akhirnya selesai," gumam Marigold sambil meregangkan tubuhnya di depan lobi hotel. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Leganya. Akhirnya tes pertama selesai. Semoga aku bisa masuk final." Setelah melewati berbagai drama di acara tes pemilihan tadi, Marigold memutuskan untuk berjalan menikmati udara malam yang sejuk, untuk melancarkan peredaraan darah serta meluruskan otak yang kusut. Ditentengnya sepatu high heels nya yang patah, sedangkan pergelangan kakinya yang keseleo sudah dibebat oleh perawat, agar tidak menambah beban cedera sewaktu berjalan pulang. "Seingatku di depan perempatan sana, ada pangkalan taksi. Aku akan jalan saja sampai ke sana, lalu pulang naik taksi," monolognya sambil melayangkan pandangan ke gedung-gedung bertingkat di sekitarnya. Senandung nada ceria yang digumamkan Marigold seketika berhenti, saat matanya menatap sosok punggung seseorang yang dirindukannya. Akhir-akhir ini, mata dan hatinya selalu me
Hari Kamis. Pukul 14.15 "Halo. Selamat siang. Apakah saya bisa berbicara dengan Nona Marigold Flora? Saya Paula, manager acara pemilihan gadis untuk sang milyader." Marigold menahan nafas saat mendengar lawan bicaranya di ponsel, memperkenalkan diri. Deg-deg-deg. "I-iya, ini saya sendiri. Ada apa ya?" "Saya ingin mengabarkan kabar baik, bahwa anda Marigold Flora berhasil masuk dalam babak final, yang akan diadakan dua hari lagi yaitu hari Sabtu, bertempat di 'The Alexander Hotel'. Apakah anda akan datang? Saya harus mengkonfirmasi kedatangan anda. Karena jika anda berhalangan hadir, maka anda akan langsung terkena diskualifikasi." "Bisa. Saya bisa datang. Pukul berapa saya harus datang?" "Pukul satu siang." ***** Hari Sabtu. Pukul 09.00. Di rumah Nina. Seminggu ini, Marigold menginap di rumah sepupunya. Kaki yang terbebat karena keseleo di acara penilaian gadis untuk milyader, memaksa Marigold menginap d
Tap-tap-tap-tap. "Haah.. haah.. haah.." Sudah lebih dari dua puluh menit, Marigold berlari sepanjang trotoar menuju The Alexander's Hotel. Kakinya yang hampir sembuh dari keseleo, menginjak kerikil kecil sehingga tidak tepat menapak, akibatnya rasa nyut-nyutan itu kembali lagi. Dan sialnya, tidak ada taksi yang lewat. Jika lewat pun, taksi itu sedang membawa penumpang. Marigold bersandar pada tiang lampu kota, tersengal-sengal dan berusaha menetralkan nafas. Kepalanya mulai terasa pening karena berlari tanpa henti, ditambah perutnya mulai tegang dan melilit lagi. Meski dirinya atlet karate, namun kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk mengikuti lari maraton jarak jauh, dibawah matahari yang sedang bersemangat untuk bersinar. "Aduuh," keluh Marigold yang sedikit membungkuk sambil menyeka keringat. "Sudah jam berapa ini?" gumamnya sambil melihat waktu di jam tangannya. Seketika matanya membelak. "Mati aku. Sudah jam dua belas," teriaknya sambil mula