Toke Jaya melipat bungkus nasi padang yang baru dibelinya. Baru sesuap kecil dan itu tidak sempat dinikmati dengan nyaman. Toke Jaya tidak bisa merasa tenang jika harus berhadapan dengan gadis kecilnya yang telah remaja— Naya. Apa lagi, di belakangnya muncul seorang pemuda rupawan yang serupa dengan lelaki impian Naya. Bentuk wajah, postur tubuh serta ekspresi, semua poin-poin yang melekat di Adam itu selalu disebutkan Naya sebagai lelaki idamannya jika akan menikah nanti.“Jadi, dia ....”“Yah, emas yang ini buat Naya!”Mata Toke Jaya seketika membeliak tidak percaya. Sergahan yang melesat dari bibir ranum anak gadisnya membuat seorang pengusaha ternama sepertinya juga bisa tercengang.Dia bisa menebak sesuatu yang ada di dalam kotak itu, namun Toke Jaya belum mampu menerka berapa harga isinya. “Berapa mayam, Nay?”“Seratus, Yah!” ungkap Naya sembari mengeluarkan untaian kalung rantai dari dala
Wajah Adam memucat saat mendapati Toke Sofyan masuk ke ruang tamu rumahnya yang megah. Dia duduk dengan cara menghempas tubuh sampai bunyi berderak terdengar.Ketidaksukaannya terhadap Adam terasa samar dibanding sebelumnya. Ekspresi Toke Sofyan kali ini jauh berbeda dengan apa yang dihadapi Adam sebulan lalu. Toke Sofyan terlihat bahagia, hingga bersenandung pelan, mendendangkan irama lagu bungong jeumpa sendirian di sofa.Tidak ada sang istri, atau Azizah. Toke Sofyan sendiri yang menyambut kehadiran dari pemuda yang ingin melamar Azizahnya untuk kali kedua. Bibirnya terus melengkung, sesekali mencebik, sesuai dengan suasana hatinya.“Duduk!” perintahnya tanpa ada kesan ramah.Melihat itu semua, Adam menghela napas. Langkah Adam mencoba menduduki sofa megah yang pernah menjadi saksi atas luka yang dirasa. Di dekatnya, Teungku Imum berbisik pelan, “Sudah sampaikan pada Azizah, Dam?”Adam mengangguk pelan. “Ta
Toke Jaya menunggu dengan sabar. Pemuda yang baru saja kehilangan impiannya itu meringkuk tidak berdaya di atas sofa ruang kerjanya yang mulai kusam. Ekspresi Adam sudah menjelaskan semua hal yang ingin diketahui oleh Toke Jaya tanpa harus bertanya.Toke Jaya memilih menyesap lagi kopi hitamnya yang nikmat. Lalu, memandangi bergantian antara cangkir kopi dengan Adam yang diam di sofa.Di mata Toke Jaya, keduanya terlihat mirip. Bibir hitam Toke Jaya melengkung sesaat, telunjuknya mengitari bibir cangkir yang basah dengan cairan hitam beraroma pekat.“Kamu tahu, Dam ... nasibmu itu seperti kopi di mata orang yang tidak menyukai kopi.”Adam menoleh sejenak, setelah menemukan keberadaan Toke Jaya, dia kembali memejamkan mata. Ingin dirasakannya ketenangan dari apapun yang ada di sekitar, termasuk Toke Jaya sekalipun.“Kamu itu, ditolak, bukan berarti kamu buruk. Kalau orangnya tidak suka kopi, mau diceritakan nikmatnya segelas kopi p
Mereka terlibat dalam pertempuran sorot mata dalam hening. Baik itu Naya atau Adam sekalipun, sibuk memandang. Naya menyoroti Adam, sedang pemuda itu menjatuhkan pandangannya pada seorang pemuda nan gagah di belakang Azizah.Pemuda yang disebut oleh Toke Sofyan sebagai orang yang paling tepat untuk Azizahnya itu, kini hanya berjarak tiga meter darinya. Dia baru saja menuruni mobil pajero yang berharga fantastis, kemudian membukakan pintu untuk wanita yang berumur namun tetap terlihat menawan dalam balutan gamis gelap serta kerudung panjangnya.Wanita itu menggenggam satu tas mungil yang berkilauan saat binar matahari menimpa. Indah, dan tentunya menjelaskan stratanya kepada siapapun yang melihat.“Pak! Syarat apa yang Bapak terima dari ayah kemarin, huh?” cerocos Naya di tengah gemuruhnya dada Adam. Gadis itu tidak mau menunggu lebih lama, mengingat jika dia merasa dikhianati oleh Toke Jaya. Seharusnya, kemarin, saat keduanya berbicara
“Ayah!” Naya berseru begitu mendapati keanehan dari cara bicara Adam terhadap Toke Jaya.Gadis muda itu meringsek masuk, melewati Adam hingga berhadapan langsung dengan pria yang darahnya mengalir di dalam tubuhnya. Naya mengangkat dagu, menatap balik paras tirus dari Toke Jaya tanpa rasa gentar sedikitpun.“Ayah harus jelasin ke aku!” tuntutnya.“Jelasin apa, Naya? Kamu ini ... sekolah saja yang benar, ya? Jangan mikirin urusan orang dewasa. Kalau sudah kuliah nanti, Ayah belikan mobil yang kamu mau. Sekarang, kamu keluar dulu!” balas Toke Jaya.Pria itu memutar paksa tubuh Naya walau gadis itu meronta. Baginya, pembiaraan nan rahasia antara dirinya dan Adam tidak boleh terdengar oleh siapapun, walau hanya seekor semut. Segalanya begitu rahasia dan harus dijaga agar tidak mengundang petaka.Toke Jaya mendorong pelan tubuh anak gadisnya melewati Adam, menyebabkan kaki gadis itu menggesek lantai hingga bunyi yang
Langit kebiruan di puncak kepala dua anak adam itu menandakan malam yang mulai menggantikan siang. Keduanya berjalan di antara selipan motor dan mobil yang berlomba-lomba mencapai sarang. Sesekali klakson beradu kencang, meminta kendaraan di depan agar terus bergerak.Naya begitu cekatan dengan tubuhnya yang terbiasa meliuk-meliuk saat meniru artis idolanya. Adam di belakang hanya memerhatikan gadis itu, memastikan Naya aman dalam jangkauan, meski pikiran Adam terus berkelana pada Azizah dan Teuku Idris. Dua insan yang akan mengikat janji suci di depan Rabbi dalam waktu dekat.Sesaat, pria itu berhenti berjalan. Meski Naya di depannya terus melangkah, Adam memutuskan untuk mengangkat wajahnya ke langit sedetik. Di atas sana, gumpalan awan berarak dalam jumlah besar, entah seluas apa jangkauannya, Adam tidak akan pernah mampu menghitung luasnya langit Sang Ilahi di atas sana. Namun, benarkah antara dirinya dan Azizah juga sejauh ini? Semuanya begitu sulit, rumit dan sak
“Contohnya aku! Ada aku yang suka Bapak, bahkan lebih dari Kak Azizah. Apa menurut Bapak akan ada gadis lain yang mengusahakan mahar untuk lelaki yang disukainya? Bahkan seratus mayam. Kalaupun ada, sudah pasti dia gila. Sama seperti aku, yang gila karena orang yang aku suka bodohnya sudah akut.” Naya terus meneriaki Adam tanpa henti.Saat itu, suara Azan melantun tinggi di langit. Orang-orang yang semula memerhatikan mereka, kembali sibuk mengejar waktu. Detik terus berlari dan waktu magrib semakin menipis. Tersisa Adam dan Naya di ruangan terbuka itu, terdiam untuk beberapa saat setelah Naya berteriak tentang perasaan dan kebodohan yang dipelihara oleh Adam.“Bapak jangan pernah berharap setelah hari ini aku akan bersikap baik, Pak. Aku nyesal sudah suka sama orang bodoh seperti Bapak. Sana! Kejar saja Kak Azizah sampai ayahnya memaki Bapak lagi. Perjuangkan saja cinta Bapak sendirian, di saat yang dilakukan Kak Azizah hanya pasrah dan menunggu. Harusnya, cinta itu diperjuangkan ber
“Ya, tapi Ayah good rekening, Naya!” Toke Jaya mencoba membela harga dirinya di depan Naya.Ya, siapapun bisa melihat perbedaan yang kontras ini. Istri bagaikan bulan purnama, dan dirinya adalah burung punguk yang bertugas merindu. Dalam hati terdalamnya, pria itu bersyukur Naya serupa dengan sang istri, meski sikapnya jelas jauh berbeda, bahkan lebih mirip sikap saudaranya sendiri– Toke Sofyan si pemarah itu.“Dulu enggak, tuh!”“Mamak terima Ayah, karena satu alasan ....” Toke Jaya terus memandangi putrinya. Kali ini, dia lebih serius dibanding sebelumnya. Pria bijak itu hanya menginginkan kebaikan bagi sang putri, meski sulit untuk membuat Naya mengerti.“Apa?” Naya menjawab tanpa berbalik.“Ketulusan.”“Ih, Ayah gaje, lebay juga. Ketulusan, dong! Memang apa yang sudah Ayah lakukan sampai mamak menganggap Ayah tulus? Apa Ayah menyeberangi danau dengan berenang? Lompat