Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut.
Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna.Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya."Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam sembari memuta-mutar cincin yang melingkar di salah satu jarinya."Kamu ingin bertemu Mona?"Mendengar nama Mona seketika membuat Gama mematung cukup lama, kemudian menggeleng seraya meraih tangan Dena yang mengusap pundaknya. "Tidak, Bu, ini bukan tentang Mona. Aku hanya teringat seseorang yang sudah menolongku.""Kamu ingin mengirim imbalan pada mereka?""Itu ide yang bagus, tapi ada yang lebih penting dari sebuah nominal sepertinya, aku belum sempat berpamitan. Rasa penasaran membuatku terus bergerak sampai menemukan jalan pulang dan lupa kembali.""Mereka pasti tahu kalau kamu sudah berhasil pulang."Ungkapan Dena mengingatkan Gama pada ekspresi cemas Anna saat dirinya hendak pergi dari rumah sederhana itu. Tanpa sadar gurat senyum yang jarang sekali terlihat itu bertahan cukup lama."Kenapa? Tadi murung, sekarang tersenyum sendiri. Mereka juga pasti senang kamu sudah pulang, Gam. Ibu yakin itu."Ungkapan kedua dari Dena lagi-lagi membuat Gama mengulang percakapannya bersama Anna, namun tampak berbeda dari sebelumnya mengembang sempurna perlahan memudar.'Pulanglah!' Satu kata itulah yang terngiang-ngiang dalam ingatan Gama.Satu minggu berlalu, Gama merasa ada sesuatu yang bilang dalam kesehariannya."Oh, iya, memangnya siapa orang yang sudah menolonngmu? Mungkin saja perasaanmu akan jauh lebih senang jika seandainya ibu kirimkan sesuatu yang bisa membantu mereka di sana. Katamu kehidupan mereka berada di ekonomi bawah,'kan?" ucap Dena kembali."Biar Gama yang pikirkan itu, Bu. Oh iya, ada apa ibu kemari?" Gama mencoba mengalihkan suasana.Dena melirik jam yang melingkar di tangannya, lalu kembali mengusap pundak putranya dengan lembut. "Mona akan kemari, mungkin lima menit lagi sampai. Kita akan makan bersama, sekaligus membahas kerja sama purusahaan kecantikannya yang akan berkolaborasi dengan perusahaan kecantikan milik ibu. Semoga kamu tidak ada kesibukan apa pun, ya, Gam," tuturnya seraya berjalan keluar dari dalam kamar.Gama tidak menimpalinya dengan kalimat apa pun, namun mencoba memikirkan kembali kehidupannya sebelum peristiwa kecelakaan penuh hal mengganjal itu terjadi. Lelaki berpakaian rapi itu melirik kembali seisi kamarnya.Tangan kekar yang semula saling bertautan satu sama lain itu mulai menyentuh dada bidang yang terdapat bekas luka terparah dari tubuhnya. Gama masih mengingat aroma dedaunan yang setiap hari dijadikan obat oleh Anna. Sentuhan dari tangan mungil milik perempuan bernama Anna itu seperti magnet yang terus menepel di pikirannya."Ayolah, Gama, dia masih terlalu muda untukmu." Gama bergumam sendiri sembari terkekeh geli.Tampaknya tidak hanya Gama, di sebuah kamar dengan nuansa yang berbeda, kecemasan Anna tidak kalah bergelutnya. Perempuan muda yang terbiasa merawat seseorang itu terlihat sangat kehilangan, terlebih dengan perasaan cemas yang tidak ada hentinya menghantui karena kepergian tanpa pamit yang dilakukan oleh Gama.Rasa resah tampaknya tidak hanya dirasakan oleh Gama seorang diri, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, di sebuah desa di mana rumah sederhana berdinding kayu tengah menampung perempuan yang sudah hitungan hari merasakan cemas. Kepergian Gama dari rumahnya menjadi alasan dari kesedihan tersebut.Anna, perempuan yang selama ini merasa bertanggung jawab atas kesehatan Gama terus dibuat bertanya tentang keberadaan Gama. Ia tidak bisa tenang karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Ibu pulang!"Seruan cukup keras dari Lusi tidak lantas membuat Anna menyadarinya, Lusi yang tahu bahwa putrinya tengah melamun pun segera duduk berhadapan sampai Anna dibuat terkejut."Ibu? Ibu sudah pulang? Biar Anna ambilkan minum."Seperti biasanya, Anna dengan cepat beranjak mengambilkan segelas air yang tidak memerlukan waktu banyak sudah kembali.Dalam satu tegukan saja air yang dibawa oleh Anna sudah ludes terteguk. Masih dengan senyuman hangat, Lusi menaruh gelas kosong di tangannya dan mengusap tangan sang putri selembut mungkin."Masih memikirkan tuan Gama? Ann ... ini sudah satu minggu lebih, ibu rasa dia sudah lupa tentang kita.""Tidak, Bu. Anna hanya merasa khawatir dengan lukanya saja.""Tidak." Lusi menggelengkan kepala perlahan seraya menatap putrinya lekat-lekat, "Kamu tidak hanya mencemaskan lukanya, tapi orangnya. Kamu menyukainya, 'kan, Ann?"Ada diam sesaat, sebelum akhirnya menggeleng ragu."Ann ... ibu rasa tuan Gama itu berasal dari keluarga atas, keluarga dengan segala hal bisa dimiliki, dia jug sudah dewasa, ibu pikir sudah ada keluarga yang menunggunya kembali. Itu sebabnya dia tidak kemari lagi. Seandainya jawabanmu benar, bahwa tidak ada perasaan lebih, mungkin itu jauh lebih baik untuk kita. Kita tidak sederajat dengannya."Anna terdiam kembali seolah mengiyakan semua perkataan Lusi."Jadi, lelaki yang kamu banggakan itu sudah pergi?" Suara lantang Luis membuat Anna dan ibunya menoleh bersamaan.Helaan napas terdengar jelas dari Anna ketika lelaki berwajah oriental itu mendeket dan berdiri tegak di depannya dengan angkuh. "Aku sudah katakan kalau tidak ada yang mencintaimu sebaik aku, Ann," ucap Luis seraya berniat mengusap pipi Anna, namun lebih dulu mendapat tepisan kuat."Jangan menyentuhku. Apa tuan lupa bagaimana seseorang menghajar tuan Luis yang terhormat sampai tersungkur ke tanah? Apa tuan ingin tuan Gama melakukannya lagi, hah?""Kamu sudah berani, Ann!" sentaknya sembari mencengkram kuat pipi Anna dengan sebelah tangannya."Tuan, tolong lepaskan Anna, maafkan dia.""Biarkan saja, Bu. Lelaki seperti ini layak memperlakukan perempuan dengan caranya sendiri," timpal Anna kian menambah geram Luis.Wajah penuh amarah itu menatap Anna dengan kesal, bersamaan dengan cengkraman yang semakin kuat.Anna tahu apa yang Luis lakukan terhadapnya, Anna merasakan sakit di wajahnya, tetapi ia terus menyembunyikan rasa sakit di hadapan Luis dengan tidak meringis sedikit pun.Luis menyunggingkan sudut bibirnya pada Anna. "Jangan menyentuhku katamu? Aku tidak boleh menyentuhmu, tapi lelaki lain bebas tidur denganmu? Dasar jal-ang!"PLAK!!!Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb
"Selamat pagi," sapa Gama pagi-pagi buta seraya membuka pintu kamar Anna. Perempuan yang masih terlelap itu tidak tergubris. Gama merasa tidak terganggu, ia berjalan mendekati sofa yang terletak di sisi lain kamar untuk meletakan sebuah bag besar, sebelum akhirnya beralih mendekati tepi ranjang. Gama berlanjut melirik gorden yang terbuka, tidak hanya itu, ia juga mendapati jendela dengan kondisi yang sama. "Bangun!" ucap Gama berbisik tepat di depan telinga Anna hingga sang empu terkejut dan bangkit. Sikap spontanitas itu membuat Anna yang berniat duduk sontak mencium Gama secara tidak sengaja.Keduanya mematung bersamaan dalam posisi masing-masing. Anna menutup mulutnya dengan sebelah tangan, perasaannya berubah takut setelah melihat ekspresi Gama yang hanya diam tak berkutik. "Maaf, Tuan, aku tidak sengaja. Kenapa tuan ada di situ?" ucap Anna dengan nada gugup yang jelas terdengar. Wajah memerah itu pun tidak bisa disembunyikan. Alih-alih menjawab permintaan maaf Anna, Gama jus
Sudah hampir setengah hari, Anna masih duduk di ruang tengah sembari menatap beberapa makanan ringan yang tersedia di atas meja. Setelah keinginannya ditolak mentah-mentah oleh Gama, Anna hanya bisa duduk-duduk santai tanpa melakukan kegiatan apa pun. Hal itu jelas cukup menjengkelkan untuk Anna yang terbiasa memiliki aktivitas di kediaman sebelumnya. Namun, Anna berada di titik rasa bosan. Ia akhirnya keluar dari rumah sekedar untuk menikmati lingkungan sekitar. Cukup sepi, namun ada beberapa bangunan yang sama megahnya. Anna mendapati bahwa tidak ada banyak orang yang beraktivitas seperti pada umumnya. Cukup jauh Anna berjalan-jalan santai menjelang sore. Perempuan itu pun berhenti di sebuah kursi kayu yang berada di sisi danau indah yang lebih tampak seperti sebuah taman. "Aku tidak akan pulang! Aku akan pulang saat aku ingin pulang!" Anna terdiam mendengar pembicaraan seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Lirikan Anna membuatnya tahu bahwa lelaki berseragam sekolah itu
Gama melempar tas kerjanya ke atas sofa yang terletak di dalam kamar, sementara itu tubuhnya dibiarkan merebah pada kasur empuk berwarna putih. Tidak hanya lelah perkara pekrjaan, asmaranya dengan Mona, Gama juga masih memikirkan terkait kecelakaannya. Ia merasa tidak memahami semua yang terjadi. TOK! TOK! "Gam, boleh ibu masuk?" Mendengar suara sahutan Dira dari luar pintu kamarnya, Gama sontak menoleh dan menjawab, "Boleh. Masuklah." Sosok perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik dengan pakaian elegan itu sudah duduk di tepi ranjang. Jemari tangannya mengusap lembut pucuk kepala sang putra. "Ada apa? Ibu baru saja tahu kalau kamu dan Mona bertengkar sampai melepas cincin. Kalian sudah dewasa, kenapa masih saja kekanak-kanakan.""Ibu tahu apa yang lebih kekanak-kanakan dari sikapku? Ya, itu perjodohan konyol ini. Aku sudah dewasa, aku bisa menemukan cintaku sendiri.""Hidup jaman sekarang tidak bisa sekedar cinta, Gam, tapi juga finansial ke depannya. Perusahaan kita sudah
Gama membaringkan tubuhnya di atas kasur. Setelah perbincangannya dan Mona sedikit memanas, ia memilih untuk mengunjungi rumah pribadi di mana sudah ada banyak perubahan di dalamnya semenjak keberadaan Lusi dan Anna. Gama merasakan ada sedikit kehangatan dari suara air mengalir, mesin cuci menyala, AC yang mendadak menjadi sebuah kehangatan dan aroma makanan setiap kali kakinya berada di dapur. TOK! TOK!Suara ketukan pintu membuat lamunan Gama tersentak, ia lantas beranjak menghampiri sumber suara. "Ada apa, Bu?" tanyanya pada Lusi yang sudah berada di depan pintu. "Tuan mungkin belum makan. Semua makanan sudah siap di bawah." "Iya, Bu, nanti saja." Gama menimpal sekenanya, lalu berniat menutup pintu kembali, tetapi hanya dalam hitungan detik tubuhnya berbalik, "Bu!" Lusi yang merasa terpanggil seketika menoleh. "Ada apa, Tuan?""Ke mana Anna? Aku tidak melihatnya dari tadi. Suaranya saja tidak terdengar." Lusi tampak sedikit terkejut dan terdiam beberapa detik. "Euh, Anna ....