Share

Bukan Pernikahan Biasa

Kutatap wajah yang disapu makeup tipis di depan cermin rias. Sempurna! Aku suka pantulan mukaku yang terlihat merona sehat. Tak banyak dempulan foundation, tapi sudah cukup membuatnya tampil flawless.

Harga skincare memang bukan bualan. Terus terang, seperempat penghasilan bulanan habis hanya untuk perawatan tubuh dan kulit. Tapi lagi-lagi, setiap sen tidak sia-sia.

Tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar.

"Masuk," sahutku tanpa menoleh.

Paling yang mengetuk barusan Sumiati, pelayan yang tinggal denganku di apartemen ini. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu pagi-pagi begini, langsung ke kamar pribadi pula.

Ternyata aku salah!

Betapa kaget diriku manakala mata ini bertatapan dengan iris gelap itu lewat cermin datar.

"Ah, kamu sudah disini ternyata," ujarku sedikit gugup.

"Kenapa? Kaget melihatku disini?"

Hartono duduk di tepi ranjang seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sepertinya dia baru mandi. Rambutnya yang lurus itu disisir rapi tapi agak diacak sedikit di bagian atasnya. Kesan rapi sekaligus liar ditampilkan dalam satu frame yang sempurna.

Aku menelan ludah susah payah.

Bukannya aku perempuan penggila seks, tapi tetap saja ada lelaki yang punya daya tarik berlebihan. Berdiri didekatnya saja sudah mampu membuat hidung mengendus feromon di udara.

Sialnya, calon suamiku adalah salah satu dari pria langka ini.

"Kenapa tersenyum begitu?"

"Tak mengapa. Ayoklah berangkat," tanggapku cepat. Belum terbiasa bermanja ria dengan lelaki yang masih asing bagiku.

Dia menatapku penuh selidik. Walau tak diucapkan aku bisa mengenali rasa kagum yang terpancar di matanya. "Hmm, kurasa kamu cukup pintar menyesuaikan busana denganku walau tak diminta."

Komentarnya yang mendadak ini bikin aku tanpa sadar menatap pakaian yang kukenakan. Benar saja, kami berdua sama-sama pakai blue jeans. Bedanya kemeja putih yang dia pakai polos sedangkan punyaku masih ada motif polkadotnya.

"Terimakasih," sahutku singkat lalu beranjak mengikuti langkahnya yang lebar tapi mantap.

Sepanjang perjalanan ke dinas catatan sipil, kami diam saja, tak ada topik pembicaraan yang sekiranya mampu menyatukan kami. I know nothing about him and so does he.

Sebenarnya bisa saja petugas catatan sipil kami undang ke venue pernikahan, namun aneh rasanya. Mengingat kami tidak melibatkan pemuka agama manapun dalam pernikahan ini.

"Jam berapa nanti kita ke hotel?" tanyaku akhirnya.

"Begitu selesai tanda tangan berkas, kita langsung kesana." Dia menyahut sambil tetap fokus mengamati jalanan.

"Bagaimana dengan Joyce dan Joan?"

Dari sudut mata bisa kulihat ekspresi wajahnya melembut waktu nama kedua anaknya kubawa dalam percakapan.

"Mereka akan datang sore nanti sama Mama."

Aku hanya mengangguk sekilas. Nyonya Lim dan kedua cucunya memang tinggal di sebuah komplek perumahan elite, bukan di apartemen.

Penthouse yang kutempati selama ini hanya salah satu unit yang dimiliki Hartono dalam apartemen yang sahamnya delapan puluh persen dia miliki.

Beberapa kalimat singkat serta kesunyian yang panjang, nyatanya sukses juga membawa kami di depan kantor catatan sipil. Begitu turun dari mobil, seorang petugas bergegas membawa Hartono ke dalam sebuah ruangan.

Begitu tiba di dalam, Hartono menyerahkan sebuah map yang berisi berkas-berkas penting, bahkan surat nikah secara agama pun bisa didapatkannya dari sebuah klenteng, padahal aku tak pernah ada disana. Pegawai yang bertugas menyerahkan dua lembar dokumen tanpa banyak tanya, lalu kami pun resmi sebagai pasangan suami-istri secara hukum.

Betapa luar biasanya kekuatan uang!

"Persiapkan dirimu dengan baik, resepsi akan dimulai pukul enam sore, " ujarnya lagi waktu kami sudah ada di dalam mobil.

Aku hanya berdehem lalu melempar pandangan dari balik jendela kaca, memandangi gedung-gedung yang tampak bergerak oleh ilusi, seperti keadaanku saat ini.

***

Di ballroom yang mewah itu telah hadir tamu undangan, tak banyak, hanya seratus orang. Untuk ballroom yang berkapasitas tiga ratus rasanya jadi sedikit lengang.

Para tamu yang merupakan kerabat dan rekan bisnis itu dipersilakan menikmati makanan mereka lebih dulu, sebelum akhirnya MC memanggil seorang kerabat dari pihak suami yang memberi kata sambutan singkat. Selanjutnya ada acara pemotongan kue pengantin yang sejak awal tercipta karena paksaan ibu mertua.

"Kepada pengantin yang berbahagia, kami sangat menanti senyum terbaik dari kalian."

Terdengar ajakan MC dari pengeras suara. Sudah pasti aku-lah orang yang dimintanya untuk tersenyum lebar. Mana mungkin dia berani menyuruh manusia kayu macam pria yang berdiri di sampingku saat ini.

"Wah, ternyata senyuman sang putri mampu membuat seluruh dekorasi di ruangan ini tampak usang," ujarnya lagi.

Basa-basi dari MC membuat beberapa orang tampak tertawa sementara sebagian besar lainnya memilih diam atau menampilkan senyum kecut. Bisa dipahami, mengingat sebagian besar putri konglomerat yang hadir disini pernah punya kisah atau bahkan masih berharap jadi perempuan yang berdiri di sisi Hartono detik ini.

Mereka tidak tahu saja pernikahan ini dibayar dengan jiwaku.

"Jangan gugup, tenanglah," bisik Hartono dengan suara seraknya yang terdengar bagai musik surgawi di telingaku. Untuk ukuran pria kaku, dukungannya yang murah hati ini sudah jauh melebihi ekspektasi.

"Terima kasih," balasku singkat lalu menelan kue yang dia suapkan. Kini giliranku pula menyuapkan kue padanya. Akhirnya acara yang sejak awal tidak diniatkan ini berakhir sudah.

Selanjutnya, MC memandu kami untuk menyajikan teh pada tetua - Jing Cha - sebagaimana lazimnya dalam tradisi Tionghoa. Jika kebanyakan keluarga sudah memakai teh biasa bahkan teh instan, ibu mertuaku entah dengan alasan apa, berkeras memakai teh kurma merah. Menurut tradisi, ini simbol harapan agar pengantin punya pernikahan yang manis dan segera punya momongan.

Sedikit miris, mengingat aku berhasil menjadi menantu berkat rahim yang sudah diangkat.

Aku membungkuk lalu menyajikan teh dalam mangkok porselen kecil kepada Nyonya Lim. Beliau tersenyum meminumnya lalu memberikan angpao seraya berucap, "Semoga jadi keluarga yang damai dan harmonis, penuh kekayaan dan kemuliaan"

"Terimakasih, Popo," balasku singkat.

Selanjutnya aku menyajikan teh pada paman dari suami, yang disapa sebagai shushu olehnya. Saat ini bisa kurasakan tubuh Hartono sedikit menegang di sisiku. Sepertinya, dia tak menyukai paman ini.

Pria berwajah kelimis itu tersenyum simpatik namun tak dapat disangkal aku juga tak suka dengan fitur wajah beliau. Mata memanjang dengan sudut yang terangkat biasanya orang licik.

"Semoga mendapat keberkahan dalam rumah tangga," ujarnya.

Bibirku tak mampu berucap apapun selain seulas senyum. Istrinya yang duduk di sebelahnya juga mengucapkan kata basa-basi yang tak kalah garing dengan kerupuk yang ditabur di atas lontong sayur.

Tak seperti paman, istrinya tipikal perempuan lemah yang kerap ditindas dalam opera sabun yang selalu ditonton emak-emak berdaster di waktu luang. Dari sorot matanya yang sendu aku hanya bisa menduga-duga betapa banyak beban yang dia tanggung selama menjadi istri dari pria bernama Jaya Lim itu.

Selesai dengan acara Jing Cha, Hartono membimbingku duduk di satu kursi empuk. Lega rasanya bisa lepas dari momen yang melelahkan tadi.

"Apa sesulit itu?" Hartono tiba-tiba bertanya begitu bokongku menyentuh kursi.

Aku tersenyum masam. Tentu saja sulit, terlebih bagi menantu perempuan yang latar belakang hidupnya sangat jomplang dengan suami.

Setelah basa-basi yang ramai dari MC, akhirnya penghujung acara pun tiba.

Pada saat ini Hartono mengajakku berdiri dan bersalaman dengan tamu undangan.

"Tersenyum sewajarnya. Tak usah berusaha terlalu ramah. Orang-orang ini memandang rendah kaum yang berusaha keras cari perhatian."

Kembali bisikan merdu menggelitik telingaku. Apa definisi menggoda tanpa berusaha? Jelas momen ini. Aku benci setengah mati pada Hartono yang mampu bikin jantungku ketar-ketir. Aku tersenyum sangat manis padanya. Sorot mata yang dalam ini semestinya sudah cukup menunjukkan rasa terima kasihku.

Pihak pertama yang naik ke atas panggung tentu mertua dan kedua anak tiriku, Joyce dan Joan.

Joyce ini gadis kecil dengan wajah cantik, kecuali raut muka yang cemberut, tak ada yang bisa dicela dari fitur wajahnya. Dengan langkah mantap, bocah tujuh tahun itu menggandeng adiknya yang masih tiga tahun.

"No need." ucapnya pelan waktu aku berusaha menarik tangannya agar berdiri di sebelahku. Lekas dia menarik tangan adiknya juga untuk berdiri di sebelah ayah mereka. Sepertinya akan sulit mendapatkan hati Joyce.

Tidak seperti kakaknya, Joan meski terseok mengikuti langkah Joyce, masih sempat melempar senyum hangat padaku.

Nyonya Lim yang mengamati semua itu, berusaha menenangkan hatiku, "sabar ya Shan, mereka butuh waktu," ucapnya lalu mengelus punggung tanganku.

Aku tersenyum maklum. Belum masuk ke rumah mereka, sudah ada penolakan dari Joyce. Salahku juga kenapa mau-maunya jadi ibu tiri. Dimana-mana image ibu tiri pastilah jahat dan culas.

Penolakan seorang anak belum seberapa dibanding penolakan orang dewasa. Dan ini terbukti tak lama sesudahnya.

Para kerabat jauh bahkan kenalan keluarga Lim memandang sinis padaku. Tak yakin setan apa yang merasuki Hartono hingga mau menikahi entitas tak berarti sepertiku.

'Tenanglah Shan, sebentar lagi semuanya akan berakhir.'

Berulang-ulang kubisikkan mantra ini dalam hati.

Tatapan merendahkan sudah jadi santapan sehari-hari sejak kecil dulu, karenanya aku sudah kebal. Senyum manis tak luntur dari wajahku, kecuali untuk manusia yang satu ini.

Tak disangka-sangka, aku bertemu Jane si nenek sihir disini. Tak seperti penampilan sinisnya di rumah sakit, saat ini dia tampil penuh senyum, bak peri manis yang tersesat ke dunia fana.

"Hmm, tak sangka perempuan hodoh macam korang ni boleh dapat good catch," bisiknya waktu menjabat tanganku.

Dari kejauhan pasti orang mengira kami ini kawan akrab, kalau bukan saudara kandung yang lama terpisah.

"Ya, nggak semua orang beruntung sepertiku. Lagipula saat ini sebaiknya kau memanggilku nyonya muda Lim, iya kan nona Jane?"

Bisa kulihat betapa marah dia saat ini. Ekspresi wajahnya mengeras di balik kacamata yang dia pakai. Bahagia sekali rasanya bisa membuat orang yang menindasku selama ini tak berkutik.

"Jangan nak happy dulu. Kita belum tahu lagi for how long you can hold that tittle, Yiniang"

Kata yiniang -- berarti selir -- diucapkan penuh dengki. Tak heran memang. Manusia insecure seperti dia akan selalu penuh dengki.

"Terimakasih atas doa baiknya," balasku tak kalah.

Setelahnya dia mendengus kasar, lalu berjalan dengan langkah anggun mengikuti pasangan paruh baya yang adalah paman dan bibinya -- pemilik rumah sakit tempatku bekerja di Singapura dulu --

Melihat sikap Jane aku mendesah maklum. Dimana-mana kerabat penguasa selalu lebih sombong dari penguasanya.

Selesai berurusan dengan Jane, aku kembali berperan jadi ratu sehari yang bahagia, penuh senyum dan cinta.

Tamu terakhir masih berjabat tangan denganku, ketika tiba-tiba pria yang sudah sah jadi suamiku mencondongkan tubuh dan berbisik pelan di telingaku.

"Selesai acara, kamu ke kamar duluan, ya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status