“Mau makan malam bersama, Nina?” tawar Alfian ketika mereka baru saja tiba di hotel setelah merampungkan pekerjaan.“Maaf, Pak, saya sudah ada janji makan malam,” jawab Venina akhirnya dengan ragu, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian.Wajah Alfian tampak sedikit terkejut mendengar jawaban Venina. Namun, dia segera mengendalikan ekspresinya dan menatapnya dengan penuh perhatian. “Jadi, Angga ada di sini?” tanyanya dengan nada yang lebih tenang.Venina menggeleng pelan, meremas jari-jemarinya dengan gelisah. Bagaimana dia harus menjelaskan situasinya pada Alfian?“Saya pergi dengan teman, Pak,” ujarnya singkat, tidak mau menoleh ke arah Alfian.
Malam itu, Venina merenung di tengah kamar hotelnya, menyusun pikirannya yang berantakan setelah percakapan dengan Alfian. Rasa lelah yang tiba-tiba menerpanya menggugahnya untuk membatalkan rencana makan malamnya bersama Rio.Sebenarnya Venina merasa tak enak pada Rio. Dia tahu betul pria itu pasti kecewa, tapi dia tak punya kekuatan untuk menghadapinya."Maaf, Rio. Aku merasa sangat lelah malam ini. Aku hanya ingin beristirahat di sini di hotel," ujarnya dengan suara serak, mencoba menutupi kegelisahan.Rio, dengan tenangnya, menanggapi, "Istirahatlah, Nina. Dan jangan lupa untuk memesan makanan." Suaranya tenang, tapi Venina bisa merasakan kekecewaan yang terselip di baliknya.Dengan langkah termangu, Venina melemparkan ponselnya ke samping setelah panggil
Rio memperhatikan ekspresi wajah Venina, mencoba untuk memahami apa yang sedang dipikirkannya. “Kenapa? Masih belum bisa melupakan kekasihmu?” tanyanya dengan lembut.“Ibu cerita apa saja sama kamu?” tanya Venina dengan penasaran.Rio terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ibumu bilang kalau kamu baru saja putus dari kekasihmu yang seorang direktur." Suaranya tenang, tetapi menyimpan kehangatan yang tersembunyi di baliknya."Cuma itu?" Venina menanyakan dengan sedikit ketidakpercayaan.“Ibumu juga bilang kalau kamu sedang patah hati,” balas Rio.Venina terdiam, dadanya terasa sesak. Dia memandang ke arah lautan yang gelap, mencoba menyembunyikan kekacauan emosinya. “Nah, benar, kan? Kamu
Rio mengantar Nina sampai ke depan kamar hotelnya. Tetapi sesaat sebelum wanita itu masuk, dia memegang tangannya.“Selamat beristirahat, Nina,” bisik Rio dengan suara lembut, matanya menatap wajah wanita di hadapannya dengan penuh kehangatan. “Semoga kamu tidur nyenyak dan bermimpi indah.”Venina tersenyum lembut, namun di dalam dadanya terasa gelisah yang sulit dijelaskan. "Kamu juga, Rio. Terima kasih untuk hari ini."Rio terdiam sejenak, tangannya memegang tangan Nina semakin erat. Seolah sedang mencari keberanian untuk mengucapkan apa yang tersembunyi di dalam hatinya. “Boleh aku menciummu, Nina?” tanyanya dengan sopan, matanya masih terfokus pada wajah wanita di depannya.Venina menahan napasnya selama beberapa detik sebelu
Venina menatap wajah Erlangga dengan penuh keberanian, tetapi dalam tatapan matanya terdapat getir yang tak terbendung. “Mau sejauh apa pun hubungan kita, Mas tidak akan pernah berniat menikahi saya, kan?” desisnya, suaranya penuh dengan kekecewaan yang terpendam.Erlangga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Saya sedang berusaha untuk meyakinkan orang tua saya tentang hubungan kita, Nina,” jawabnya, tetapi bahkan dia sendiri merasa keraguan yang menyelimuti setiap kata yang diucapkannya.Venina hanya tersenyum masam. Dia tahu bahwa tanpa restu orang tua, hubungan mereka tidak akan pernah berkembang. Dan dalam hatinya, dia mulai kehilangan harapan. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dengan latar belakang dan ekspektasi yang tidak pernah bertemu. Dia menyadari bahwa langit dan bumi mungkin lebih dekat untuk be
Kali ini, Erlangga menepati ucapannya. Hampir setiap Minggu dia datang ke rumah Nina. Tidak peduli bagaimana penolakan dan masamnya wajah Nadia, dia tetap tidak menyerah."Ibu tidak mau melihatnya lagi, Nina. Untuk apa kamu bawa dia ke sini?" ujarnya dengan nada yang tajam, memancarkan ketidaksetujuan yang mendalam saat Erlangga tiba-tiba datang ke rumahnya.Venina, terdiam dan serba salah, mencoba menjelaskan kehadiran Erlangga. "Bukan Nina yang memintanya, Bu. Tapi Mas Angga sendiri yang mau datang," jawabnya dengan ragu."Dia tahu kamu sudah memilih Rio, kan?" desak Nadia dengan nada tajam yang tak terbantahkan.Venina mengangguk perlahan, menghela napas dalam-dalam. "Sudah, Bu. Tapi Mas Angga bilang dia belum mau menyerah. Dia akan memperjuangkan Nina."
Sudah dua hari Venina memulai kembali pekerjaannya sebagai sekretaris Erlangga. Dia berusaha keras untuk menjaga profesionalisme dan menekan perasaannya yang terpendam. Tetapi, setiap kali dia berada di dekat atasannya itu, gelisah dalam dirinya semakin terasa. Seperti sekarang ini, ketika Erlangga memintanya untuk mengantarkan berkas yang tertinggal ke salah satu restoran. Venina merasa kekesalan menyelinap di dalam dirinya. Entah mengapa, permintaan pria itu selalu membuatnya merasa gelisah dan tak nyaman."Saya tidak akan kembali lagi ke kantor, Nina. Jadi, tolong antarkan berkas itu sekarang juga," suara Erlangga terdengar tenang di seberang telepon, namun pesan yang disampaikannya membuat Venina merasa kesal."Dan nanti ongkos taxi mu akan saya ganti," tambahnya lagi sebelum menutup panggilan dengan singkat.Venina menghela napas berat. Dia merasa terganggu dengan permintaan Erlangga, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa menolak.Setelah beberapa saat, Venina berada di sudu
Rio menatap Venina dengan lembut. Hatinya terusik melihat kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah wanita yang dicintainya. Di bawah sinar lampu temaram, dia melihat ketidaknyamanan yang terus menghantui wanita itu."Ada apa, Nina? Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan gelisah sekali?" tanya Rio dengan lembut, tatapannya penuh perhatian seperti biasa.Venina menatap ke bawah, merasa berat untuk mengungkapkan rasa takutnya. "Apa dia masih terus mengganggumu?" Rio bertanya lagi dengan hati-hati, memberikan ruang bagi wanita itu untuk berbagi tanpa tekanan.Venina menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara gemetar, "Aku takut, Rio." Suaranya penuh dengan ketidakpastian yang mengganggu pikirannya."Apa yang membuatmu takut?" tanya Rio, suaranya penuh ke