Share

BAB 3 - Intimidasi

“Kau atau siapapun dirumah ini adalah pelayanku, aku pemilik rumah ini, aku bisa saja dengan mudah mengusirmu dari sini! Dan tidak ada seorangpun yang bisa membantahku, kau mengerti!” Manik mata pria itu yang hitam pekat dan garis wajah yang tegas berada di depan Arlin mencoba memberi tekanan pada gadis itu.

Dengan intimidasi yang diterimanya dan ketakutan yang seolah disembunyikan, Arlin menatap balik Vardyn dengan tatapan tidak suka dan wajah terpaksa mengiyakan.

“Sekarang kau yang buatkan aku teh dan bukan mbok Min, apa kau paham kata-kataku!” ujar Vardyn dengan nada menyeramkan.

Arlin yang akhirnya tidak kuat dengan aura menakutkan itu akhirnya memilih mengalah dan beranjak dari hadapan Vardyn dengan diam penuh kekesalan.

Gadis itu menuju kitchen set dan mulai membuat teh. Setelah selesai ia menghidangkannya di depan Vardyn tanpa berkata sepatah katapun.

Teh panas yang masih mengepul, dengan aroma teh melati yang khas, sekejap membuat perasaan Vardyn sedikit tenang dengan aroma teh tersebut.

Sudah lama pria itu tidak dilayani oleh seseorang yang sepantasnya melayaninya, ya karena istrinya sudah tidak lagi melayani dirinya sebagai seorang suami.

Arlin melangkah akan meninggalkan Vardyn dengan teh panasnya, tetapi pria itu lagi-lagi membuatnya menghentikan langkah gadis itu.

“Mau kemana kau?!” ucap Vardyn tanpa menoleh kearah Arlin.

“Mau ke kamarku” ucap Arlin.

“Duduk!” perintah Vardyn.

“Tapi aku sudah selesai membu- … “

“Aku bilang duduk!” Vardyn mengulang kata-katanya.

Arlin menghela nafas dan kekesalan yang mengendap, akhirnya melangkah kearah Vardyn dengan perlahan.

“Aku harus duduk dimana?” tanya Arlin ketus bercampur takut menahan kesalnya.

Vardyn mengisyaratkan kepada Arlin untuk duduk di kursi yang paling dekat dengannya.

Arlin duduk perlahan tanpa bersuara.

Atmosfer suasana saat itu sangat tidak menyenangkan. Arlin yang hanya diam tak tahu harus melakukan apa. Begitu pula dengan Vardyn yang justru acuh dengan perintahnya tadi, seolah hanya sendirian, pria itu menikmati tehnya yang mulai hangat tanpa mengeluarkan kata-kata.

“Kenapa aku harus disini tuan?” akhirnya Arlin tidak tahan dengan kesunyian yang menyiksa itu.

“Kau menemaniku minum teh” ucap Vardyn dengan santainya.

“Tapi bukankah anda bi- …” lagi-lagi Arlin tidak bisa menyempurnakan kata-katanya.

“Aku hanya minta kau disini dan bukannya berbicara!”

Arlin langsung membungkam bibirnya yang mungil, seolah geramnya tersumbat dan menggolak di dalam dirinya.

‘Apa-apaan pria ini, seenaknya saja memerintahku’ gumam Arlin dengan alis indahnya yang sedikit mengerut.

Arlin tertunduk sambil memainkan jemarinya, karena ia tak tahu sampai kapan akan menemani pria menyebalkan di meja makan itu.

Tanpa sengaja Arlin mengangkat wajahnya dan mendapati pria itu tengah memandang kearahnya. Entah sejak kapan pria itu melihat kearahnya.

Arlin yang merasa canggung akhirnya menunduk kembali mengalihkan pandangannya.

“Berapa kau di gaji istriku?” akhirnya sebuah pertanyaan mencuat dari bibir Vardyn.

“Tiga juta sebulan” jawab Arlin yang hanya melirikan manik kecoklatan miliknya dari matanya yang indah kearah Vardyn.

“Tiga juta?, lumayan untuk ukuran perawat yang hanya melayani wanita pesakitan”

“Apa anda tidak pernah memikirkan nyonya Melinda sama sekali tuan?!” tiba-tiba mucul kalimat tersebut dari bibir Arlin.

“Kau tahu apa, perawat?” Vardyn meneguk tehnya hingga habis, kemudian pria itu berdiri.

“Aku sudah selesai, kau boleh kembali ke kamarmu” perintahnya lagi sambil menggeser kursinya dan melangkah pergi.

Tapi justru Arlin tidak beranjak dari kursi itu, dan hanya memandang punggung Vardyn yang semakin menjauh pergi meninggalkannya sendirian di meja makan.

‘Ugh!, pria itu sangat menyebalkan!’ gerutunya dengan pandangan sinis kearah Vardyn.

Arlin yang sudah akan melangkah naik keatas tangga, sejenak ia berfikir …

‘Pria galak itu tadi ke kamar atas, berati aku berada di lantai yang sama dengannya. Akh! Kenapa dia harus tidur di kamar atas. Huuft … sabar, ini tidak akan lama Arlin, aku hanya harus sabar untuk beberapa hari saja’ pikirannya berkecambuk.

Pagi menjelang, matahari hangat menembus gorden besar di kamar Melinda.

Arlin tengah menyiapkan sarapan, susu hangat dan beberapa obat di nakas samping ranjang Melinda.

Wanita itu masih tertutup selimutnya seolah malas membuka matanya.

“Nyonya, sudah pagi. Setelah sarapan jadwal anda adalah terapi di taman belakang” ucap Arlin lembut sambil mengelus lengan atas Melinda. Gadis itu duduk di sisi ranjang.

“Hmm, iya. Apa laki-laki itu sudah bangun?” tanya Melinda dengan kelopak mata yang masih setengah terbuka.

“Aku belum melihatnya nyonya, tapi sepertinya belum” ucap Arlin sambil membereskan beberapa gelas yang ada di nakas.

“Aku akan kembali sebentar lagi nyonya. Buburnya sudah kusiapkan disini” ucap gadis berambut indah itu, kemudian ia keluar kamar dengan membawa gelas kotor di tangannya.

Arlin menuju dapur dan berpapasan dengan mbok Min yang tengah merapihkan meja makan.

“Mbok, untuk siapa piring ini?, nyonya sudah kusiapkan sarapan dan susu di kamarnya” ucap Arlin yang menatap meja makan dengan piring dan gelas kosong yang tertata rapih.

“Untuk tuan Vardyn non. Oiya non, kemarin mbok lihat non dimarahin ya sama tuan Vardyn, sabar ya non, kalau gak kuat-kuat mah kita bisa stress ngadepin dia” ucap mbok Min sambil setengah berbisik.

Arlin hanya menyibakan senyumnya.

“Bukan dimarahin kok mbok, gak apa, saya masih sabar kok” ucap Arlin terkesan tenang.

Beberapa saat kemudian, seorang pelayan lain menghampiri mereka.

“Non Arlin, di panggil tuan Vardyn. Katanya non disuruh membereskan meja kerja tuan” ucap pelayan tersebut.

“Hah? Bukannya kemarin kamar dan meja kerja tuan Vardyn sudah beres semua?” ucap mbok Min dengan alis mengerut.

“Aku juga gak ngerti mbok, tapi barusan tuan Vardyn menyuruhku begitu” ucap pelayan wanita itu lagi.

“Yasudah mbok gak apa, aku coba kesana dulu, mungkin mejanya sudah dipakai tuan jadi berantakan lagi” ucap Arlin yang berusaha tenang walaupun batinnya sedikit geram sekaligus takut, mau apa sebenaranya tuan rumah yang menyebalkan itu.

Dengan langkah hati-hati Arlin mendekati pintu ruang kerja Vardyn yang sedikit terbuka.

Arlin menyentuh perlahan pintu tersebut dan membukanya.

Ketika kepalanya menyembul masuk kedalam ruang kerja tersebut, ternyata di dalam ruangan tersebut Vardyn tengah berdiri di depan jendela, melihat kearah luar jendela sambil melipat tangannya di dada.

“Permisi tuan, anda memanggilku?” tanya Arlin yang pura-pura belum mengetahui perihal pemanggilannya kesana.

Vardyn menoleh sesaat kearah Arlin dan kembali memandang kearah luar jendela.

”Hmm, rapihkan meja kerjaku!” perintah Vardyn kepada Arlin.

“Maaf tuan, sudah kubilang aku adalah perawat nyonya Melinda dan bukan pelayan. Aku akan meminta pelayan lain untuk membereskan meja kerja tuan, permisi”

“Tunggu!. Siapa yang menyuruhmu keluar!” Suara Vardyn yang sedikit menggelegar mengejutkan Arlin dan menghentikannya melangkah.

Vardyn dengan langkah berat mendekati Arlin yang lagi-lagi merasakan aura tekanan intimidasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status