Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya.
"Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya.
Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa.
"Ehem."
Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya.
"Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.<
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan
Makan siang di keluarga Wildberg terasa sunyi, hanya Gavin dan Luna yang saling melempar senyum bahagia. Bahkan membuat Nay muak dengan adegan kemesraan di depannya itu. Rasanya ia ingin muntah saat ini juga karena sikap Luna yang terlewat manja di matanya. Alan masih asyik dengan kebisuan dan kepala menunduk, bahkan piring di depannya masih penuh dengan makanan, belum sedikitpun tersentuh oleh si empunya. Jangan tanyakan kenapa ia masih berada di sini, itu karena Nay yang terus memohon agar ia tak pergi dari sini, dan sekali lagi Alan hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi setelah itu Joseph datang dan memintanya untuk tetap bertahan, dan ia bisa apa jika ayah mertuanya itu sudah turun tangan. Ia tak mungkin membuat laki-laki yang telah baik padanya itu kecewa. "Setelah makan, Papa ingin bicara pada kalian, dan
Gerimis masih saja mengguyur kota Brigston. Langit bahkan masih muram di atas sana. Kota terlihat lebih sepi, mungkin karena udara yang dingin juga waktu telah masuk tengah malam tepatnya pukul 1 dini hari waktu Brigston. Tubuh kurus itu bergetar sepanjang jalan. Tubuhnya ia dekap kuat-kuat menghalau dinginnya angin malam dan tubuh yang telah basah kuyup diterpa gerimis sejak sore. "Aku harus ke mana lagi sekarang," ujarnya putus asa. Wanita kurus itu adalah Alanair. Langkahnya terseok, bahkan hampir limbung. Perutnya terus berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, karena memang belum terisi apa-apa sejak dia meninggalkan mansion mewah Wildberg. Apa salahnya, hingga jalan hidupnya begitu pedih seperti ini. Mungkin ini hukuman untuknya karena perbuatannya di masa lalu. Tetapi, itu bukan semua salahnya. Pemuda itu yang harus disalahkan. L
Grifida mengguncang tubuh Joseph yang hanya diam di atas sofa di dalam ruangan kerjanya. Pria itu tak merespon ucapannya. Joseph memang tengah marah kepada istrinya karena membuat menantu kesayangannya harus pergi dari rumah ini. Joseph pasti akan merasa berdosa seumur hidupnya. Dosa yang tidak akan mampu pria itu lupakan. Grifida terus berteriak, dan gendang telinga Joseph rasanya hampir pecah. Dia juga khawatir dengan kepergian Nay sore tadi. Putri bungsunya itu ikut kabur mencari Alan setelah memastikan Alan tak kembali ke rumah keluarga Welington, dan lagi-lagi Joseph tak mampu berkutik. Ia terlalu pengecut, atau mungkin dia terlalu takut. "Joseph! Kenapa kau hanya diam, huh! Cepatlah kau cari Nay, bahkan ini sudah tengah malam!" teriak Grifida membahana. Mungkin saja teriakannya itu mampu membangunkan se
Siang itu Alan mengendap-endap kembali ke mansion megah keluarga Wildberg. Sudah hampir setahun gadis itu tinggal di tempat ini, tentu dia sudah mengetahui seluk beluk rumah besar tersebut. Alan melewati gerbang belakang, memanjat pohon untuk melompat masuk ke dalam rumah tersebut layaknya pencuri. Alan cukup gesit dalam memanjat, lihat saja gerakannya yang gesit dan secepat kilat dia sudah berada di halaman belakang mansion Wildberg. Dia berjalan cukup pelan, dan hati-hati layaknya pencuri, mencari celah agar tidak tertangkap oleh para pelayan di rumah ini. Gadis itu mengendap-endap menuju gazebo belakang, karena itu rute tercepat menuju dapur. Dia kembali ke sini hanya untuk melihat wajah tampan suaminya. Bolehkah dia masih menyebutnya suami? Alan memang terlalu berdelusi tinggi. Salahkan cintanya yang terlampau besar untuk Gavin, hingga tindakan bodoh dan konyol rela dia lakukan. Alan berjalan ke arah gazebo tempat dia biasa menyendiri. Namun
Keputusasaan membawa Alan mengikuti pria bernama Peter Warsen. Ia yang tak memiliki tempat tujuan akhirnya pasrah. Meskipun pria itu memiliki niat jahatpun Alan tak akan melarikan diri. Dia sudah lelah akan hidupnya yang hancur. Ke mana lagi tempatnya untuk melangkah. Ia tak punya tujuan. Biarlah, ia mengadu nasibnya pada lelaki ini. Perjalanan dari Brigston ke kota Edlen cukup memakan waktu karena jaraknya yang lumayan jauh. Ia bahkan tak tahu berapa lama waktu yang ditempuh karena ia tertidur di dalam mobil. Alan baru terbangun saat Peter mengguncang tubuhnya. "Bangunlah, kita sudah sampai, Nona," ujarnya. Alan lantas terbangun dengan matanya yang masih lengket. Dia melihat ke sekitar, begitu sunyi. Dia bisa melihat bangunan rumah bergaya Eropa menjulang di depannya tertutup gerbang setinggi dua meter. Peter lantas menghubungi seseorang dan dalam hitungan detik, pintu gerbang itu te
"Nona muda Smitt!" teriak salah satu dari mereka, membuat Alan syok karena ada yang mengenali identitas aslinya. Wanita itu membekap bibirnya dengan sebelah tangannya. Bahkan teman-temannya kini sudah heboh dan saling memekik. Emma yang diam memperhatikan kini ikut berjalan mendekat ke arah Alan yang masih diam mematung duduk di atas sofa. "Anda, benar-benar Nona muda Smitt?" tanyanya. Mata biru Emma sampai tak mampu berkedip melihat wajah cantik Alanair terpampang nyata di hadapannya. Baru saja dia mengantarkan wanita itu dengan dandanannya yang norak dan ketinggalan jaman, dan sekarang bagai seorang pesulap. Wajah itu berubah drastis. Menjadi, seorang wanita anggun dan cantik walau hanya dalam balutan kimono mandi dan tanpa makeup. Sejak dulu, Alanair Smitt terkenal dengan wajah cantiknya yang menawan. Seorang putri bangsawan dari Norwig, yang tiba-tiba menghilang 2 tahun silam, tanpa ada kabar. Bahkan keluarga Smitt bungkam atas menghilangnya