"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar.
"Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!"Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja.Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di sana kulihat ibu sedang menaruh sesuatu di laci dapur paling atas."Lho, Bu. Kenapa lauknya ditaruh di sana?" tanyaku saat membuka tudung saji yang hanya terdapat semangkuk sayuran di dalamnya."Ya biarin, biar suamimu tidak ikut makan. Lagi pula enak saja dia tidak mau bekerja, tapi masih ingin makan enak. Biar dia makan yang ada di situ saja," sahut Ibuku yang kemudian hendak meninggalkan dapur."Tapi, Bu ....""Eh, Nella. Kamu itu jangan manjain suamimu terus, nanti makin lama dia makin seenaknya sendiri. Toh lagi pula sekarang dia juga pergi mancing, ya dia biar makan hasil tangkapannya sendiri."Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas, ini memang bukan pertama kalinya ibuku berperilaku seperti ini, dan Beliau memang kerap menyembunyikan lauk atau makanan yang dianggapnya enak dari Mas Rohman.Ya alasannya agar Mas Rohman tidak ikut makan, sebenci itulah ibuku pada menantunya sendiri.Haduh ... kapan ya aku bisa melihat ibu dan suamiku akur seperti orang lain?Setelah selesai makan siang, aku pun memilih tidur siang terlebih dahulu sebelum akhirnya para pertani nanti datang membawa barang dagangan mereka.Ketika hendak tidur siang, tiba-tiba saja aku kepikiran ingin beli HP, sebab aku harus bisa komunikasi secara diam-diam dengan Mbak Yuyun untuk bisa memantau Mas Rohman saat aku sedang ada di pasar.Ya, sudah saatnya aku mencari tahu siapa wanita itu? Sedangkan untuk Mas Rohman, kini aku belum bisa mengambil keputusan, sebab selain bukti perselingkuhan yang aku dapatkan belum cukup kuat, aku juga tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, sebab keinginanku yaitu menikah hanya cukup satu kali.Namun, jika Mas Rohman benar-benar terbukti berselingkuh, aku juga tidak segan meminta pisah darinya. Aku memang masih bisa diam ketika dia tidak memberiku nafkah, sebab aku masih bisa mencari uang sendiri.Akan tetapi, jika masalahnya perselingkuhan, itu sudah lain hal, karena aku tidak bisa memaafkan kesalahan yang satu itu.***"Nella, dicariin Pak Jarno ...." teriak ibuku seraya mengetuk pintu kamarku.Sepertinya ini sudah jam dua siang, karena di jam-jam segini lah para petani menyetorkan dagangan mereka.Aku pun lantas bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu kemudian aku langsung menemui Pak Jarno dan menimbang barang dagangan yang ia bawa.Lalu tidak lama kemudian para petani yang lain mulai berdatangan satu persatu, hari ini bawaan mereka juga lumayan lengkap, ada yang bawa kol, tomat, cabai, kacang panjang, dan masih banyak sayuran lainnya.Setelah transaksi selesai, dan melihat sisa uangku masih cukup untuk beli ponsel, aku pun bergegas pergi mandi sebelum pergi membeli ponsel.Namun, setelah aku selesai mandi, dan berganti pakaian, ternyata mas Rohman pulang."Kamu mau ke mana? Tumben jam segini sudah mandi.""Mau beli HP, Mas.""Wah, kalau begitu aku ikut, aku juga ingin beli Hp.""Lho, tapi kan uangku hanya cukup beli satu HP, Mas.""Ye ... memangnya siapa yang minta kamu beliin HP buat aku, aku kan mau beli pakai uangku sendiri.""Lha, kamu kok bisa punya uang untuk beli HP, dapat uang dari mana, Mas?""Ya tabungan lah, kan tabunganku waktu masih lajang dulu masih ada, kalau hanya buat beli HP dua jutaan ya masih cukup lah.""Hah?""Sudah jangan malah bengong. Ayo, kita berangkat sekarang."Aku yang ingin bertanya sesuatu, tapi terpaksa kutelan kembali karena Mas Rohman sudah menarik tanganku ke luar.Dan, selama perjalanan pun aku masih memikirkan masalah tabungan Mas Rohman, sebab bukannya tabungannya Mas Rohman sudah habis untuk biaya pernikahan kami waktu itu?Lalu iyakah dia masih memiliki sisanya?Hah, sudahlah! Terserah dia mau berbohong atau tidak, yang penting bukan uangku saja yang ia ambil dan diklaim sebagai uang tabungannya, pikirku.Namun aku semakin curiga ketika kami sudah sampai di toko dan akan membayar ponsel mana yang akan kami beli, sebab melihat isi dompet Mas Rohman yang biasanya kering kerontang, tiba-tiba saja hari ini terisi penuh.Setelah melakukan pembayaran dan kami keluar dari toko, aku pun sudah tidak tahan lagi untuk bertanya pada Mas Rohman tentang uang itu."Mas, kamu kok punya uang banyak banget? Masa iya semuanya itu tabungan kamu, Mas? Jangan sampai kamu berhutang uang sebanyak itu ya, Mas?!""Ish, kamu ini apaan sih, aku nggak ngutang, ini beneran uang aku sendiri. Nih, sekalian aku kasih buat kamu belanja," sahut Mas Rohman seraya menyodorkan uang lima ratus ribu kepadaku."Hah, mimpi apa aku semalam? Tiba-tiba dikasih uang belanja sebanyak ini dari Mas Rohman, dan meskipun aku senang-senang saja menerimanya, akan tetapi aku masih curiga jika uang ini bukanlah uang simpanan Mas Rohman.Namun, untuk sementara ini aku akan diam dulu, dan hari ini aku tak akan memaksa Mas Rohman untuk menjawab jujur atas kecurigaan ku ini.Sesampainya di rumah, aku dan Mas Rohman langsung mengotak-atik ponsel kami masing-masing, setelah selesai aku pun langsung membereskan rumah, karena ibuku sedang pergi dan rumah masih berantakan.Setelah selesai mencuci piring, aku pun langsung menyapu rumah, awalnya membersihkan rumah sore ini terasa biasa saja dan sama seperti biasanya.Namun, aku tidak menyangka akan menemukan sesuatu yang aneh ketika aku sedang menyapu kamar Ibu."Lho, kenapa Ibu masih mengkonsumsi ini?" gumamku saat mengambil pil kontrasepsi yang terjatuh di lantai, dan bungkus pil itu terbilang masih baru meskipun cuma tersisa tujuh butir saja.Dan, itu berarti Ibuku benar-benar meminumnya bukan?Sebenarnya benda ini cukup lazim di kamar wanita, namun untuk apa ibuku memakai pil kontrasepsi ini?Bukankah ibuku seorang Janda?Lalu Beliau takut hamil dengan siapa?Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke
Keesokan harinya."Mbak Nel, mukanya kok kayak zombie gitu, semalam nggak tidur ya?" tanya Mas Anton bercanda sembari membantuku menurunkan barang-barang dagangan ku."Hehe ... iya, Mas. Kelihatan banget ya?""Ealah, beneran nggak tidur tow, kalau begitu kenapa maksain jualan, Mbak? Seharusnya Mbak istirahat dulu, takutnya nanti kenapa-napa," sahut Mas Anton yang terlihat khawatir."Enggak ah, Mas. Justru kalau nggak jualan nanti jadi tambah stress, hehe ....""Ho oh, Mbak. Memang bener, orang kalau sudah biasa bekerja, terus nggak kerja sehari aja, rasanya memang seperti ada yang kurang gitu.""Iya, Mas. Udah semuanya, Mas. Makasih ya, Mas.""Sama-sama, Mbak."Setelah kepergian Mas Anton, Mbah Marni dan Bu Yanti juga menanyakan hal yang sama padaku, dan meskipun aku tidak pernah bercerita soal rumah tanggaku pada mereka, namun mereka seolah sudah mengerti bahwa aku dan suamiku sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa mengetahui kondisi rumah tanggaku, sebab mereka juga pernah mendenga
Lalu tidak lama kemudian satu persatu warga mulai berdatangan karena mendengar suara teriakan Pak Roni tadi, berbeda dengan aku yang masih berdiri di ambang pintu dapur karena tidak berani melihat keadaan Ibuku dan suamiku saat ini.Namun, tidak lama kemudian Bu Ajeng datang menghampiriku seraya mengatakan, "Nell, ayo, cepat kamu lihat mereka, dan kamu harus segera putuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka." Sembari memapahku, aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Bu Ajeng, sebab pikiranku benar-benar kosong saat ini, yang ada hanya perasaan takut melihat mereka karena ini sudah pasti akan membuat hatiku terlampau sakit.Dan, benar saja, aku hancur ketika melihat suamiku dan Ibuku sendiri yang berada di atas ranjang dengan menggunakan selimut yang sama untuk menutupi tubuh polos mereka.Pandanganku mengabur karena air mata yang mulai berdesakan meminta keluar, namun di sana aku dapat melihat wajah malu suamiku, dan juga tangis Ibuku.Aku tidak bisa berkata-kata, begitu juga deng
Author Pov.Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit dengan mengandarai motor, Winda dan Wati akhirnya tiba di rumah mereka.Namun, saat mereka berdua hendak masuk rumah, tidak lama kemudian Rohman yang menaiki motornya sendiri ikut menyusul mereka."Heh, kamu ngapain ikut ke sini?!" ketus Winda yang kini semakin benci dengan Rohman, sebab gara-gara mantan kakak iparnya ini juga, ia harus menanggung malu di hadapan banyak orang yang tinggal di area kos-kosannya."Lha, memangnya kalau nggak pulang ke sini, aku harus ke mana?" sahut Rohman santai seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Wati.Winda yang melihat kelakuan Rohman, ia semakin muak dengan lelaki yang ada di hadapannya ini."Ibu! Aku nggak mau tahu, pokoknya cepat usir dia dari sini, Bu! Dan, jangan pernah lagi Ibu berhubungan dengan dia!" teriak Winda seraya menuding wajah Rohman."Winda, tenanglah! Jangan ribut seperti ini, nanti tetangga pada denger," sahut Wati yang kemudian menyeret Winda masuk ke dalam rumah
Satu tahun kemudian..."Nella, nanti malam kita jalan ya?" ajak Sugeng yang berdiri di samping pagar, sedangkan Nella baru saja pulang dari pasar."Nella mengangguk, membuat Sugeng tersenyum senang, lalu kemudian ia berpamitan, "Kalau begitu Mas pergi kerja dulu.""Iya, hati-hati," sahut Nella seraya melambaikan tangannya. Nella menggelengkan kepalanya seraya tertawa ketika melihat Sugeng pergi dengan wajah semringah layaknya seorang bocah yang baru kasmaran."Astaga, padahal kita sudah tua, tapi kenapa pas pacaran seperti ini jadi seperti bocah lagi ya?" gumam Nella yang heran pada dirinya sendiri.Ya, Nella dan Sugeng akhirnya resmi pacaran dari dua Minggu yang lalu. Setelah mereka mengerti cerita hidup masing-masing, dan Sugeng yang juga gencar mendekati Nella, akhirnya membuat hati Nella menjadi luluh dan mau menerima cintanya Sugeng.Sugeng ternyata seorang duda tanpa anak, istrinya sudah lama meninggal, yang lebih tepatnya Sugeng sudah menjadi duda sejak lima tahun yang lalu.B
"Bu, Ibu, ... Bu, Ibu di mana?!" teriak Winda yang sedang mencari Ibunya."Sedangkan Wati yang sedang berada di dapur, ia merasa kesal mendengar suara teriakan Winda."Ish, itu anak berisik banget!" gerutunya seraya memijat kepalanya yang terasa pusing."Bu, ....""Apa?!" balas Wati yang kemudian ikut berteriak.Mendengar suara Ibunya yang berada di dapur, Winda pun langsung pergi ke sana. "Ibu, aku cariin dari tadi ternyata ada di sini?""Kamu ini kenapa teriak-teriak sih? Bikin kepala Ibu jadi tambah pusing aja!""Ish, Ibu. Aku punya berita penting, Bu.""Apa?" sahut Wati malas."Itu, Mbak Nella mau nikah lagi, Bu. Mana calon suaminya gagah dan ganteng banget lagi, aduh ... kenapa dia selalu beruntung ya? Itu meski si Rohman malas kerja, dia juga lumayan ganteng. Tapi, yang sekarang hemmm ...." Winda mengacungkan dua jempolnya di depan Wati."Memangnya kamu ketemu Kakakmu di mana?""Di taman kota.""Oh, berarti sekarang dia pindah ke kota?" "Enggak, dia sekarang tinggal di daerah