Aku dan Zainab sekarang berada di ruang redaksi majalah kampus yang berisi mahasiwa jurusan jurnalistik. Kami layaknya tahanan yang diinterogasi karena melakukan tindakan kriminal. Menyebalkan!
Seorang mahasiswa yang belakangan mendekati Zainab juga ada di ruangan ini. Tatapan matanya tampak sinis memandangku. "Ham, lo potoin Pak Zaidan sama Zainab!" perintah salah satu mahasiswa yang tadi mewawancaraiku dan Zainab. Aku dan Zainab diminta memegang surat nikah kami di depan dada lalu difoto oleh mahasiswa yang selalu dipanggil 'Ham'. Setelah masalah berita hoax di kampus itu tuntas, aku berencana mengajak Zainab untuk mengunjungi Ibu. Sudah satu bulan ini aku tidak pernah mengunjunginya. Tidak tega juga rasanya membiarkannya hidup sendirian di usia senja. Sekaligus meminta restu agar aku bisa dengan terang-terangan mengatakan pada dunia kalau Zainab adalah istriku. "Za, karena hari ini tidak ada kelas, aku mau nengok Ibu sebentar, ya. NantSetelah status pernikahanku dan Zainab terbongkar, kami tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat bertemu di kampus. Meskipun tetap ada yang tidak suka, tapi lebih banyak yang mulai mendekati Zainab.Eits, tapi tunggu dulu! Aku sudah berpesan pada istri kecilku itu untuk menjaga jarak jika dengan laki-laki. Dan dia juga paham."Mas Idan tenang saja. Aku tidak akan tergoda dengan laki-laki lain karena suamiku lebih menggoda," ucapnya suatu malam.Untungnya, kebanyakan yang mendekati Zainab adalah perempuan. Jadi, aku tidak perlu terlalu khawatir. Namun, mereka juga ga punya maksud tersembunyi pastinya. Mendekati Zainab untuk menarik simpatiku. Tahu sendirilah niat mahasiswa yang mendekati istri dosennya.Satu bulan terlewat sejak terakhir aku datang ke rumah Ibu. Sebenarnya, aku ingin sekali menemui Ibu, tapi sekarang ada Maira yang sengaja diminta tinggal di sana. Katanya, dia diminta untuk mengajar lagi di SMA yang tempatnya bekerja dulu.&n
"Zaidan masuk rumah sakit. Kalau bisa, kamu segera menyusulnya ke Bandung."Ucapan Pak Handoko membuat rasa khawatirku tak terkendali. Ada apa dengan Mas Zaidan?Tanpa pikir panjang, aku langsung berpamitan dan meninggalkan teman-teman mahasiswa yang sedang berdiskusi untuk tugas kelompok matakuliah leksikografi yang diampu oleh Bu Mery."Kamu mau ke mana, Za?" tanya Elisa."Pak Zaidan masuk rumah sakit. Aku mau nyusul ke Bandung," jawabku setengah berteriak. Kemudian, melanjutkan langkah menuju halte di depan kampus untuk mencari angkutan umum. Aku akan ke Bandung naik kereta.Perjalanan sekitar tiga jam terasa sangat lama bagiku karena tidak ada satu orang pun bisa dihubungi untuk sekadar menanyakan kabar Mas Zaidan. Pak Handoko hanya bilang kalau Mas Zaidan belum sadar sejak ditemukan pingsan di kamar sekitar pukul satu siang dan beliau baru memberiku kabar pukul tiga sore.Menjelang Magrib aku sampai di Rumah sakit temp
Aku tahu kalau kekecewaan Zainab cukup besar karena peristiwa di Bandung itu. Aku tidak mengajaknya, tapi ada Maira yang menemani.Bukan mauku. Bahkan, aku tidak tahu sama sekali kalau Maira ikut dalam acara seminar dan bedah buku itu."Kamu itu teman atau lawan sebenarnya, Han? Kamu sengaja mau membuat rumah tanggaku dengan Zainab hancur? Aku gak nyangka kalau kamu bisa melakukan hal itu sama aku, Han. Katanya teman, tapi menusuk dari belakang," cecarku pada Handoko yang baru saja masuk ke ruang dosen."Aku gak bermaksud merusak rumah tanggamu, Dan. Maira datang ke rumahku. Dia nangis-nangis di depanku sama istriku." Handoko menghela napas kasar."Maira memohon buat bisa ketemu kamu, tapi tanpa istrimu. Aku juga bingung, Dan. Aku cuma kasihan sama Maira. Dia--.""Sudahlah, Han! Aku gak mau bahas soal dia." Kusela perkataan Handoko."Jangan egois kamu, Dan! Seenaknya saja membuat anak orang patah hati dan gak mau meluruskan secara baik
Aku tergemap. Seseorang tiba-tiba memelukku dari belakang saat akan membuka pagar depan rumah. Awalnya, kukira Zainab yang melakukannya. Namun, saat aku menoleh, ternyata Maira yang melingkarkan kedua tangan di perutku.Aku melihat ke arah mobil yang masih menyala. Zainab masih duduk di dalam mobil dan memandangku dengan tatapan yang tak mampu kujabarkan. Pastinya dia marah dan kecewa.Kucoba menyingkirkan tangan Maira berulang kali, tapi berulang kali pula dia kembali memelukku. Bahkan, semakin erat."Lepas, Ra!" bentakku."Aku rela jadi yang kedua, Mas. Tolong jangan putuskan hubungan kita!" ucapnya mengiba.Kulihat Zainab sudah keluar dari mobil. Dia berdiri sambil memegang pintu mobil yang terbuka. Tercetak jelas bekas air mata yang menetes di pipinya. Zainab tidak bersuara sedikit pun. Dia berjalan melewatiku, membuka pintu pagar, dan melanjutkan langkah. Dia masuk ke rumah setelah memutar anak kunci."Kamu gila, Ra!"
Zainab menggeleng saat aku masih bertanya tentang benda apa yang dia tunjukkan. Aku memang tidak tahu, tapi wajahnya berubah kesal."Ini apa, Za?"Zainab mencebik, meletakkan benda yang tadi digenggamnya di meja dengan kasar. "Mas cari aja di Google. Aku mau mandi dulu."Lha, kenapa dia marah? Kan, aku memang tidak tahu."Za! Aku beneran gak tahu.""Mas Idan ini katanya dosen, tapi wawasannya kurang luas. Jadi suami juga gak pernah peka," ucapnya lagi sebelum menutup pintu kamar dengan kencang.Sabar, Zaidan. Mungkin memang aku yang kurang peka. Apalagi kepala dan perut yang sakit ini membuatku tidak bisa berpikir sama sekali.Kuraih benda kecil panjang yang di meja. Benda apa ini? Kenapa Zainab tidak langsung bilang saja?Aku mendesah, lalu mengambil ponsel Zainab yang ada di meja. Mencari tahu benda apa yang membuat Zainab marah karena aku tidak mengetahuinya.Kuketik pada pencarian Google "benda keci
Aku sebenarnya takut saat melepas Mas Zaidan masuk ruang operasi. Namun, aku berpikir positif dan terus berdoa agar diberikan kelancaran operasi Mas Zaidan. Aku ingin yang terbaik untuknya. Apalagi, sudah ada benihnya dalam rahimku.Belum lama aku duduk di depan ruang operasi, ponsel milik Mas Zaidan yang kubawa berdering. Telepon dari Ibu.Ingin rasanya untuk membiarkannya, tapi hati ini melawan. Mau bagaimanapun, beliau adalah Ibu dari suamiku. Tidak mungkin aku mengabaikannya."Assalamualaikum, Bu," sapaku."Waalaikumsalam, mana Zaidan!" tanyanya penuh penekanan."Ma--Mas Zaidan sedang di ruang operasi, Bu. Mas Zaidan kena usus buntu."Aku terpaksa mengatakan keadaan Mas Zaidan dan rumah sakit tempatnya dirawat pada Ibu meskipun sudah dilarang. Mas Zaidan tidak mau ada orang yang tahu tentang keadaannya, tapi aku tidak pandai berbohong. Apalagi pada seorang ibu.Tak disangka, Ibu memakiku dengan kata-kata yang membu
FfgSerapat apa pun menyembunyikan, tetap saja ketahuan. Seperti pernikahanku dengan Zainab yang harus terbongkar karena tertangkap paparazzi. Dan sekarang, sakit yang kusembunyikan pun sudah diketahui teman-teman dosen dan mahasiswa satu kampus di hari ketiga dirawat. Setiap jam besuk tiba, kamar ini menjadi riuh.Aku semakin tidak tega pada Zainab. Sudah lima hari dia kurang istirahat karena menjagaku. Padahal, Ibu selalu datang, meminta Zainab untuk pulang dan istirahat, tapi perempuan itu keras kepala. Aku dan Ibu juga mengkhawatirkan keadaannya. Wajahnya kini sudah tampak lesu dan tadi selepas Subuh, dia sempat muntah-muntah. Kehamilan trimester pertama memang biasanya sedikit menyusahkan.Zainab sedang berbaring di sofa dengan tangan kanan memegang perut dan tangan kiri menutup mata."Kamu pulang dulu saja, Za. Istirahat di rumah."Tidak ada respon. Apa mungkin Zainab sudah tidur?Dengan hati-hati aku turun dari ranjang untuk men
SssddAku terlalu dikuasai amarah hingga tanpa sengaja membentak Zainab. Dia pasti sangat sedih sekarang. Bahkan, pintu kamarnya dikunci dari dalam. Aku khawatir dengan kondisinya. Apalagi, kehamilannya cukup membuat istri kecilku itu kepayahan."Buka pintunya, Za!" pintaku sambil mengetuk pintu kamar.Cukup lama, hanya terdengar tangisan Zainab yang semakin kencang sambil berteriak."Aku tidak berbohong! Za bukan pembohong!"Astagfirullah ....Apa yang tadi kulakukan? Zainab merasa tertekan lagi. Perasaanku menjadi tidak karuan karena pintu tak kunjung dibukanya.Ketukan pun berubah menjadi gedoran."Za! Buka pintunya, Sayang!"Prang!Terdengar bunyi benda pecah di dalam. Jantungku berpacu tak menentu. Terakhir aku mendengar benda pecah di kamar, aku mendapati Zainab menyayat pergelangan tangannya.Aku tidak bisa menunggu lagi. Pintu yang masih tertutup rapat ini kudobrak paksa. Dengan satu k