Suara ketukan ujung sepatu hak bersahutan menggema di sepanjang lorong sebuah rumah sakit. Dua orang wanita berjalan dengan anggunnya. Beberapa kali perawat adam yang melihat sosok wanita yang berjalan paling belakang terkagum-kagum⸻kecantikannya terlalu mempesona. Tubuh bak gitar spanyol, tinggi semampai, kulit seputih salju dan rambut sepinggang berwarna mahoni yang tertimpa sinar lampu membuatnya tampak berkilau.
"Selamat pagi," sapa wanita berbibir tipis yang berbalut lipstik merah tersebut, membuat sejumlah perawat pria yang melihat sosok wanita itu terkagum-kagum. Di sebelah wanita elok tersebut adalah seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum bangga.
'That's my daughter.' Bangga wanita tersebut yang tengah berjalan dengan membusungkan dada, mendengar decak kagum orang-orang pada sang putri.
Langkah keduanya terhenti ketika mendapati seorang perawat sedang berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya menunjuk ke arah salah satu pintu kayu bertuliskan ruang direktur.
"Permisi, Profesor Dayton," panggil si perawat setelah mengetuk terlebih dahulu. Ia mengulas senyum masam saat menyadari raut kedua tamu sang direktur memasang wajah tanda tanya.
"Profesor Dayton, Anda memiliki tamu," imbuhnya masih belum menyerah, tangannya tetap mengetuk pintu kayu dan menyunggingkan senyum untuk menenangkan hati para tamu.
Sayangnya tetap tidak ada respon apa pun, akhirnya ketiganya memilih memasuki ruangan itu. Baru berjalan beberapa langkah mata mereka hampir saja keluar dari tempatnya, karena disuguhkan pemandangan seorang pria bersurai pirang tengah duduk di atas sofa panjang hitam.
Ia sedang memagut bibir tipis milik seorang wanita bersurai mahoni. Mereka saling bertukar saliva, bahkan lidah keduanya saling membelit satu sama lain. Si wanita segera menghentikkan kegiatan mereka dan memasang raut terkejut. Sementara sang pria mendesah kasar dan menghela nafasnya, begitu dirinya berputar ia tersenyum menyapa ketiga tamu yang telah mereka ‘ tunggu’.
“Oh, astaga Di-di-direktur maafkan saya. Sa-sa-saya su-sudah menge-tuk tadi.”
Si perawat wanita tergagap kala pimpinan rumah sakitnya telah memandangya dengan tatapan yang meminta penjelasan. Padahal pria itu masih memasang senyum rupawannya. Sang direktur mengangguk dan mengibaskan tangannya, memberikan tanda bahwa semuanya baik-baik saja.
“Tidak apa-apa, Zenna. Terimakasih sudah mengantarkan tamu saya.”
Masih dengan raut merah padam si perawat berpamitan untuk keluar dari ruangan. Pria pirang itu kembali menghadap ke arah wanita bersurai mahoni di sampingnya sedikit mengusap ujung bibir tipis wanitanya. Baru kemudian ia membenahi kembali pakaiannya yang sedikit berantakan. Si wanita pun tersenyum dan mempersilahkan kedua tamu si pria untuk duduk, sementara dirinya menuju sebuah meja di balik sekat ruangan⸻menyeduh beberapa kopi untuk mereka berempat.
“Ah, maaf atas apa yang kalian lihat. Saya tidak begitu mendengar suara ketukan pintu, “ ujar si pria pirang mengawali percakapan setelah sempat berjabat tangan dan mengenalkan dirinya sebagai ‘ Sebastian Dayton’.
Kedua wanita lain di hadapannya terbatuk kecil dan tersenyum meskipun beberapa kali saling melempar pandang, apalagi setelah melihat sosok wanita yang sangat mereka kenal. Cangkir-cangkir mengepul telah dijajar rapi di meja.
“A-ah maaf biarkan saya memperkenalkan diri saya terlebih dahulu, Johanna Frederica Oswald. Dan ini putri sulung saya Emillia Oswald.”
Wanita di samping si wanita paruh baya tersenyum saat sang ibunda memperkenalkannya. Sementara seseorang tengah menahan nafas karena gugup dan melirik pria bermanik kelam di sampingnya yang masih memasang raut ramah tamahnya.
“Senang bertemu dengan anda, saya Sebastian Dayton Direktur sekaligus pemilik rumah sakit ini. Kemudian wanita cantik di samping saya ini adalah Istri saya.”
“Selamat pagi, saya Raeliana Dayton,” sapa si wanita sopan dengan senyum ramah.
Kedua wanita itu berkedip mencoba menajamkan kembali pendengaran mereka, takut kalau-kalau apa yang baru saja mereka dengar sebuah kesalahan. Sayangnya mereka benar, sosok yang baru saja disebutkan sang direktur adalah si bungsu Oswald yang tiba-tiba muncul di momen yang tak terduga. Terlebih lagi istri dari seorang profesor sekaligus direktur muda tampan seperti Sebastian Dayton.
Benar-benar lelucon yang lucu, Tuhan.
“Tolong jangan terlalu kaku Ibu mertua anggap saja ini adalah pertemuan keluarga,” gurau Sebastian diiringi dengan tawa renyah yang segera mencairkan ketegangan di sekitarnya, tapi nyonya Johanna hanya tertawa kikuk saat mengetahui pria di hadapannya ini tahu hubungannya dengan si bungsu.
Emillia berdeham sebentar untuk berusaha meredakan seluruh keterkejutan sistem sarafnya agar dapat melakukan tujuan awal mereka, “Jadi begini Direktur, kami berasal dari perusahaan Oswald ingin menawarkan rumah sakit Eden untuk bergabung menjadi rekan kami dalam acara sosial yang akan kami adakan dalam rangka peringatan ke-29 tahun perusahaan kami berdiri.”
Sebastian membaca lembaran kertas yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Emilia⸻membaca cepat setiap baris yang ada disana, “ Apa yang akan kami lakukan hingga Oswald memilih untuk menjalin partner bersama kami?”
Emilia tersenyum kecil sembari membenahi letak rambutnya menjadi menyamping sehingga memperlihatkan leher jenjang putih miliknya. Rael yang melihat hal tersebut sedikit meremas tangannya sendiri karena gerak-gerik sang kakak yang tampaknya tengah menebar pesona.
“Kami ingin membantu warga Inggris terlebih bagi mereka yang menderita mental illnes dapat mengatasi serta mencegah setiap dampak bagi penderita.”
“Bukankah Professor lebih mengetahui bagaimana urgensi dari pentingnya kesehatan mental seseorang saat ini? Dan belum begitu banyak pihak yang memberikan perhatian mengenai hal ini.”
Wanita berlipstik merah merona itu tersenyum puas saat merasa berhasil memberikan jawaban terbaik miliknya, iris coklat madunya melirik wanita di samping sang direktur tampan⸻masih tidak habis pikir bagaimana adik bungsunya mendapatkan pria seperti Sebastian.
“Benar, semakin maju dunia masalah akan semakin berkembang pula diri kita. Tapi Nona, setiap Dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit memiliki perhatian yang sama yaitu kesehatan dari manusia.”
Sebastian tersenyum manis dan meletakan lembaran kertas di tangannya di atas meja. Pria itu memilih bersandar pada bantalan empuk sofa sembari memandang wajah masam wanita di hadapannya.
“Bekerja sama dengan kami akan menguntungkan rumah sakit ini, sehingga masyarakat akan jauh lebih mengenal dan nama ba-“ Belum sempat menyelesaikan ucapannya tawa Sebastian yang tiba-tiba saja meledak membuat kedua tamunya melipat alis, tak mengerti.
“Rumah sakit itu bukan lahan berdagang, Nona.”
Satu kalimat yang meluncur dari bibir tipis si pria pirang berhasil mendidihkan urat milik Emilia yang merasa tersinggung dengan ucapannya.
“Saya membangun rumah sakit ini untuk membantu mereka bertahan hidup, tempat mereka memulihkan diri. Saya tidak pernah mengharapkan setiap imbalan yang akan berimbas pada rumah sakit dan diri saya,” papar si pria pirang masih tetap mengulas senyum jenaka.
Sebastian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “Mohon maaf jika ucapan saya menyinggung anda, hanya saja bagi beberapa orang harta serta tahta tidak berarti apapun baginya.”
Menggeram gemas, kesal karena merasa direndahkan Emilia menumpukkan kakinya sehingga rok pendek miliknya sedikit terangkat. Senyum manis menggoda miliknya sudah tersungging. Benar-benar tak tahu malu bukan?
“Bagaimana menurutmu Rael?” Sebastian mencoba bertanya pada sang istri yang menanggapi pertanyaannya dengan senyum manis. Rael menutup matanya sebentar lalu kembali menatap kedua wanita di hadapannya, bibir merah mudanya masih mengulas senyum santun sebelum memulai menjawab.
“Jika menurut saya pun begitu, rumah sakit tidak dapat memilah siapa yang ingin mereka selamatkan. Ini semua berhubungan dengan nyawa seseorang dan jika memang karena Oswald menginginkan kami sebagai partner untuk menolong lebih banyak nyawa, maka kami akan lakukan.”
Sebastian tersenyum puas hingga kedua lubang dipipinya tercetak jelas. Pria itu melirik arloji di tangannya dan beranjak berdiri berjalan menuju meja kerjanya segera mengenakan jas putih miliknya.
“Mohon maaf, saya akan ada jadwal rapat sebentar lagi. Ke depannya akan kami berikan keputusan akhirnya pada anda,” ujar Sebastian mengakhiri perbincangan panas mereka hari ini.
Johanna yang telah merasa gondok hatinya tersenyum masam dan segera berdiri, ia sempat bertukar pandang pada putri bungsunya. Mereka berdiri hendak undur diri dari sosok angkuh di sana, jika bukan karena target mereka untuk bekerja sama sudah sedari tadi mereka meninggalkan direktur tampan itu.
"Baik, terimakasih banyak atas waktunya, Professor. Oh atau haruskah saya memanggil anda menantu.” Johanna tertawa dan mengibas udara, keduanya tiba-tiba melangkah mendekat ke arah Rael dan memeluk wanita itu bergantian.
“Kau harus datang ke rumah saat acara peringatan kematian ayahmu nanti, kalian harus menjelaskan soal pernikahan kalian bukan?” tanya Emilia tetap dengan senyum miring dan sorot mata tajam yang diberikan pada Rael yang masih tersenyum melambaikan tangannya, gadis bersurai mahoni itu turut mengantar kepergian ibu juga kakaknya, hingga ujung pintu ditemani sang suami.
Tepat setelah kedua wanita itu melangkah keluar dari sana, raut mereka berubah menjadi penuh amarah bahkan Johanna kini telah melangkah dengan mehentakkan hak sepatunya keras, sementara Emilia mengumpat pelan berkali-kali⸻tidak terima atas perlakuan yng diterimanya, baik itu tentang sang adik beserta suaminya.
Nafasku tak beraturan, kepalaku terasa pening seolah batu besar baru saja menghantamku. Belum lagi perutku yang terasa seperti ditekan keras, aku dapat merasakan seluruh tubuhku melemas tepat setelah kedua orang yang tak lain adalah ibu serta kakak sulungku menghilang di balik pintu. *BRUUKK* Tubuhku segera merosot kehilangan tenaga, untungnya pria di sampingku ini segera menahan tubuh serta kepalaku agar tidak menghantam dinding. Aku menatap iris obsidiannya yang tampak tenang setelah melakukan akting yang cukup panjang tadi. Sebastian membawaku dalam gendongannya dan meletakkanku di atas sofa. Pria pirang itu melepaskan sepatu botsku menyisakan paha putih jenjangku yang segera ditutupinya dengan sebuah selimut cadangan baru di lemari belakang sekat tempatku membuat minum tadi. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-gerik pria yang saat
Pemandangan apartemen berinterior hitam dan putih yang mendominasi hampir di setiap sudutnya. Kemudian sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota London. Selama setahun ke depan hingga akhir nafasku nanti akan menjadi hal yang sangat familiar. Aku masih saja berdecak kagum melihat pemandangan dari atas sofa yang diletakan tepat di hadapan jendela besar. Bruuuakk Hingga suara berdebum yang sepertinya berasal dari beberapa barang membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber dari suara keras itu. ‘Sepertinya itu Sebastian.’ Suamiku itu saat ini memang sedang merapikankamar yang seharusnya akan kutempati. Tanganku merentang lebar dan bergerak ke kanan kiri, mencoba melemaskan setiap otot-otot dan sarafku. Rambut mahoni yang telah menutupi pantatku pun telah ter
Awal tahun merupakan waktu dimana setiap harapan baru lahir dan lembaran baru dibuka guna menggoreskan tinta kehidupan yang lain di bab yang baru sebelum mencapai akhir buku kehidupan. Jika beberapa orang menghabiskan waktu awal tahunnya dengan canda, tawa, dan bersulang. Seorang wanita justru duduk di dalam selimut menatap jendela besar di samping tempat tidurnya sembari menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Hidung mancungnya tampak memerah, jejak air mata tertinggal di kedua sisi pipi putihnya. Tangannya bergetar menggenggam gunting. Menangis dalam gelapnya ruan
“Rael itu hanya pernah berpacaran satu kali, itu pun ia justru dikhianati sahabatnya sendiri. Siapa ya … Penelope, sepertinya itu namanya.” Ibu memasang sedih dan penuh iba lagi padaku,tangannya mengusap pipi putihku dengan sorot matanya memandangku rendah, “Aku tidak tahu bagaimana bisa memiliki Putri sepertinya. Mungkin ini karena mendiang suami Ibu dulu sering memanjakannya.” ‘Sudah cukup, aku muak dengan omong kosong ini.’ Bahkan mereka berani mengatakan itu semua di hadapan suamiku, jika bukan karena kontrak kami dan seandainya Sebastian adalah suamiku sesungguhnya Ia pasti sudah berlari meninggalkanku. Kedua tanganku terkepal, hingga tanpa sadar kuku panjang yang tajam milikku menembus lapisan kulit. Sudah cukup berhenti gemetar, aku tidak ingin hin
Sebastian memasuki apartemen masih menggenggam tanganku yang sepertinya sudah sedingin es batu. Udara hangat langsung melingkupi tubuhku yang bergetar hebat, aku hanya berjalan mengikuti kemana pria ini akan melangkah. Ternyata ia membawaku menuju kamarku dan menghidupkan lampu juga diffuser beraroma lavender kesukaanku. Kami duduk berhadapan dengan aku yang masih tertunduk. Suasana sangat hening bahkan aku bisa mendengar deru mesin diffuser dan tetesan air. Kemudian aku merasakan tubuhku ditarik dan menabrak dada bidang miliknya, tangannya menjulur mengusap punggungku. Aku tidak menolak dan kini malah menangis dalam dekapannya. “Maafkan aku h-hiks ...” “ I-itu salahku jadi kau basah, ma-maaf.” Tidak dapat berkata-kata apa-apa lagi, bagaimana bisa s
Semerbak aroma sup dan daging bacon menguar memenuhi apartemen hingga menelusup masuk setiap ruang, termasuk kamar dan mulai menggelitik hidung. Merasa terusik akhirnya kedua mataku mengerjap beberapa kali berusaha memfokuskan pandangan melihat sekeliling kamar bernuansa hitam dan putih. ‘Tunggu, hitam dan putih?’ Segera terduduk dengan cepat, sekali lagi aku mengedarkan pandanganku dan baru menyadari semalam aku tertidur di kamar Sebastian. Dan tiba-tiba kepalaku terserang sakit kepala yang amat sangat, tanganku meraba dahi lebar ku dan menemukan kompres gel yang sudah menempel di sana⸺tak lupa dua buah selimut yang sudah membungkusku. Celingukan, aku seperti seorang perampok yang tengah menghindari si pemilik rumah. Aku berencana untuk diam-diam menyelinap ke dapur mengambil sarapan yang disiapkan Sebastian yan
Agatha Grey adalah salah seorang penulis novel bergenre romansa-thriller yang terkenal kerap menulis kisah romantis yang mengerikan. Permainan plot yang mendebarkan jiwa pembaca, senang bermain-main dengan clue, juga menaikkan emosi pembaca seperti tengah berada di atas roller coaster.Tetapi, inilah yang membuat penulis misterius ini semakin digandrungi kalangan pecinta romansa anti-mainstream karena bumbu thriller yang membuat merinding sekujur tubuh. Dan ia adalah aku. Identitas yang bahkan tak diketahui siapapun tentang sosok Agatha Grey, bahkan saat menggelar tanda tangan akan selalu mengenakan Hoodie hitam, jaket kulit, topi, serta masker. Yang lebih mengejutkan, penggemar si penulis justru semakin histeris karena sosok Agatha me
Lagi-lagi aku berjalan tanpa arah di tengah derasnya salju yang turun malam ini. Meskipun musim semi hampir tiba, namun tubuhku masih merasakan dingin menjalar. Tanganku mencengkram erat dadaku yang terasa sesak dan sakit. Aku tidak mengerti, kenapa air mataku terus mengalir. Padahal jelas-jelas aku mengetahui apa yang dilakukan Sebastian hanya bagian dari rencana, lagi pula ia tidak menerima tawaran Emilia untuk tidur bersama. Ia hanya memancing agar wanita itu melakukan penawaran, seperti yang biasanya ia lakukan pada pria-pria lain untuk dapat menjalin kerja sama dengan Oswald.Langkahku semakin cepat, aku berlari hingga beberapa kali menabrak ora