“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.
Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai karena dibantu oleh Bu Trisno.*** “Mana istrimu, Dik!” Dari luar kamar kudengar suara teriakan ibu.“Mayang, kamu dipanggil Ibu. Kayaknya marah tuh.” Wajah Mas Didik terlihat cemas. Dengan malas aku ke luar kamar dan menghampiri ibu mertuaku yang cerewet itu.“Kamu itu ya, jadi orang nggak ada syukur-syukurnya, memangnya kurang apa Ibu kasih kamu uang lima puluh ribu itu Hahhh, masih lagi mulutmu tumpis bicara sama Ibu Trisno kalau kamu yang buat kuenya dan bukan ibu, itu maksudnya apa… mau cari muka kamu.” Bentak Ibu dengan berkacak pinggang, khasnya dia.Ya Allah kapan bertobatnya ini orang tua. Seharusnya dia juga tahu sepandai-pandainya menyimpan rahasia busuknya pasti akan ketahuan juga.“Aku nggak ada ngomong begitu sama Ibu Trisno soal itu, kebetulan memang beliau datang ke sini pas aku lagi buat kuenya. Dia menemani aku selama tiga jam sampai kue itu selesai. Makanya dia tau kalau aku yang buat kuenya dan bukan Ibu karena Ibu masih sibuk jalan kan?” Ibu langsung terdiam mendengar penjelasanku.“Seharusnya kamu beralasan kalau adonan itu Ibu yang buat, terus kamu hanya bantu-bantu bungkus.” Ibu masih tak mau kalah meski suaranya sudah mulai melunak. Aku menghela napas panjang.“Ibu … Ibu Trisno lihat aku membuat kue itu dari awal, jadi kenapa aku harus bilang yang nggak pernah terjadi, kok Ibu nyuruh aku untuk berbohong di depan orang yang jelas-jelas lihat prosesnya dari awal.” Ibu langsung melengos pergi.Ia pasti tak terima dengan Bu Trisno yang mungkin sudah membongkar kedoknya. Dari kecil, orang tuaku selalu mengajarkan aku untuk selalu berkata jujur, tapi herannya malah dapat ibu mertua yang selalu drama dan banyak bohongnya. Dia sama sekali tidak ingat umur. Aku merasa hidup seperti di sinetron saja.***Baru saja aku selesai menidurkan Arthur, dan melanjutkan melipat pakaian. Tiba-tiba Iwan, adik Mas Didik yang terakhir masuk ke dalam kamar tanpa permisi dan tanpa melepaskan sepatunya.Dengan cueknya dia membuka lemari dan memilih pakaian, setelah itu berlalu pergi.Apa yang dia lakukan tentu saja membuatku kaget, Ku anggap apa yang ia lakukan benar-benar tidak sopan.Masuk ke kamar kakaknya yang sudah menikah tanpa mengetuk pintu dan setelah itu mengambil pakaian Mas Didik di lemari tanpa permisi.Parahnya, masuk ke dalam kamar masih memakai sepatu. Luar biasa kurang ajarnya.Aku lantas menyusulnya, dia yang baru saja mau masuk ke dalam kamarnya langsung ku halangi. Dia nampak cuek.“Iwan! Kamu kok tanpa permisi langsung masuk kamar dan ambil pakaian Mas Didik, Seharusnya sebagai orang dewasa yang sudah tamat sekolah seharusnya kamu ngerti tata karma, bukan main nyelonong aja seenaknya.” Ia melihatku dengan malas.“Aku pinjam bentar bajunya Mas Didik, biasanya juga kami begitu. Kenapa sekarang baru protes.” Sahutnya dengan helaan napas kasar.“Tapi baru kali ini Mbak melihatmu masuk kamar dan ambil baju Mas Didik tanpa permisi.”“Ya itu karena Mbak nggak tau aja, semua orang di rumah ini juga punya kebiasaan begitu, Aku juga sering pinjam baju Mas Purwanto, Toh istrinya nggak pernah protes, Kok Mbak malah sewot.” Ia mulai meninggikan suaranya.“Aku tidak mau tau kebiasaan apapun kalian bersaudara, tetap saja apa yang kamu lakukan itu tidak sopan, aku tidak mau ini terulang kembali.” Ia malah mengacuhkan ku.“Ada apa ini ribu-ribut.” Ibu mertuaku datang.“Ini loh, Bu. Mbak Mayang masa Iwan pinjam baju Mas Didik, dianya malah protes. Orang pinjam sebentar juga kok, bukannya Iwan minta juga.” Kata Iwan meminta pembelaan ibunya. Pandangan mata ibu beralih padaku.“Mereka itu bersaudara biasa sudah saling pinjam barang, bukan cuma Iwan saja yang pinjam barang Mas Didiknya tapi Didik juga sering pinjam-pinjam barang adik-adiknya, aneh kamu ini sewotnya minta ampun.” Sahutnya dengan nada tinggi.“Tapi, Bu … caranya itu yang tidak sopan, main masuk kamar tanpa permisi. Mana pakai sepatu langsung ke kamar, aku ini seperti benda mati yang tidak dihargai sama sekali. Minimal dia bisa mengetuk pintu bilang permisi.” Kataku tak mau kalah.“Kamu itu benar-benar menantu tidak tau diri! Sudah dikasih tumpangan makan dan tidur di sini, bukannya bersyukur malah ngelunjak kamu! Kamu itu cuma numpang di sini jadi jangan sok ngatur kamu!” Darahku rasanya mendidih mendengar Ibu menekan kata-kata menumpang berulang kali.“Lihat saja, Ibu akan kasih tau suamimu supaya ngajari istrinya yang tidak tau berterima kasih ini dengan baik. Supaya sadar diri kalau lagi menumpang di sini. Kamu Iwan! Ambil saja apapun kepunyaan Mas Didikmu, karena dia saudaramu dan jangan pedulikan orang asing yang berani-beraninya melarang apa yang mau kita lakukan di sini.” Hatiku benar-benar sakit mendengarnya.Bapak dan Mas Didik yang baru saja datang dari kebun, segera menghampiri kami. Dan berusaha mendamaikan.“Sudah … sudah, Bu. Nggak enak didengar tetangga. Apa Ibu nggak capek marah-marah terus ke pada menantumu.” Bapak berusaha menenangkan ibu.“Tanya mantu kesayanganmu itu, apa masalahnya sampai Ibu tidak bisa kontrol emosi. Ini lohh Pak, Cuma gara-gara baju Didik dipinjam Iwan, dia langsung ngamuk kayak orang kurang sesajen gitu, sopan nggak itu namanya.” Ibu memang pintar sekali menyalahkan orang.“Mayang nggak mungkin marah hanya karena baju ini dipinjam, dia marah pasti ada alasannya, sekarang jelaskan Mayang ada apa.” Baru saja aku akan membuka mulut menjelaskan.“Itulah mangkanya menantu kesayangamu itu jadi besar kepala karena kamu sibuk membela dia terus, Pak. Lama-lama jadi kebiasaan. Sudahlah lama-lama ngomong sama kalian, malah tambah bikin pusing.” Selesai berucap, Ibu melengos pergi. Iwan pun menutup pintu kamar.“Kalau hanya masalah baju yang dipinjam, kenapa harus dibesar-besarkan, Mayang, biarlah Iwan pinjam bajuku, toh aku juga biasa pinjam bajunya,” Mas Didik pun turut membela Iwan.Aku hanya diam saja malas menanggapi. Dadaku rasanya sakit sekali. Nyeri. Mengingat kata-kata Ibu yang terus menyebut menumpang itu terngiang di telingaku berulang kali.Pagi Pukul 6.30, aku baru selesai mengangkat air untuk memandikan Arthur lalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya setelah mandi di tempat tidur. Arthur masih tertidur pulas. Iwan kembali masuk ke dalam kamar kami. Mas Didik sudah duduk di tepi ranjang. Aku dan Mas Didik memperhatikan Iwan memasukkan baju yang dipinjamnya kemarin ke dalam lemari. Dengan tanpa bicara sepatah katapun, dia berlalu dari hadapan kami. Aku mengambil baju yang menggumpal yang ditaruhnya ke dalam lemari. Astagfirullah. Baju yang dipinjamnya kemarin dalam keadaan kotor dan dia dengan santainya memasukkannya kembali ke dalam lemari. Terbuat dari apa otak manusia satu itu.“Baju kotornya biar Mas nanti yang cuci sekalian baju-baju Arthur ya.” Kata suamiku mengambil baju tadi di tanganku. Di rumah ibu mertuaku memang tidak punya mesin cuci jadi semua pakaian dicuci secara manual.“Benar-benar bikin stres kalau lama-lama tinggal di sini, Sabar… sabar Mayang, ingat kamu masih numpang dan harus lebih banyak
“Ibu bangun tidur, cucian sudah dalam keadaan seperti itu, mau membela istri tercintamu itu, kalian itu sama saja pemalas, bisanya mikirkan makan aja sedangkan kerjaan terbengkalai nggak diurus dengan baik. Baru juga urusan rumah sudah tidak bisa diatur apalagi mau mikir terima pesanan, yakin itu bisa?” Kata Ibu dengan berkacak pinggang. Aku tak mempedulikannya.Selesai memungut pakaian, aku langsung menghampirinya. Dan meletakkan begitu saja pakaian kotor di kursi teras. Ia langsung melotot. Aku cuek berlalu dari hadapannya lalu masuk ke dalam kamar. Mas Didik menyusul ku.Tak lama kudengar suara pedagang sayur keliling mampir di depan rumah, ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Samar-samar kudengar Ibu membicarakanku. Aku langsung mengintip dari jendela kaca nako di ruang tamu yang berbatasan langsung dengan teras rumah. “Saya ini sudah terlalu sabar menghadapi istri si Didik, terlalu pemalas dan joroknya minta ampun. Coba lihat tuh, Bu … masa pakaian seperti itu dianggap bersih, je
Kedatangan ku bersama suami dan anakku disambut kedua adikku, Farida dan Emi. Mereka dengan antusias membantu kami pindah ke tempat tinggal yang baru. Rumah Eni memang tak sebesar rumah mertuaku. Rumah dengan dua kamar dan dindingnya masih belum diplester, masih kelihatan susunan batu batanya. Lantainya juga masih semen dan belum berkeramik. Aku suka karena rumahnya persis di depan sekolahan. Dengan pelataran yang cukup luas, membuat ku berpikir akan berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.“Tempatnya strategis kalau kakak mau berjualan, persis depan SD lagi, menurut kakak bagaimana tempatnya bagus tidak?” Aku hanya bisa manggut-manggut saja. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan tempat sebagus ini dan gratis pula.“Kakak besok mau kerjakan orderan untuk jumat berkah sama orderan snack rabu depan, Jadi Kakak fokus dulu kerjakan orderan setelah itu baru pikirkan mau jualan apa di depan nanti,”“Aku masih libur jualan, Kak. Bisalah aku bantu-bantu kakak siapkan kotakann
“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan
“Dia ngomong begitu ada siapa aja, Mbak,” “Hampir semua ibu-ibu tadi ngumpul karena lagi beli sayur sama Pakle dan bicaranya itu meyakinkan, makanya aku ke sini langsung tanyain kamu, supaya jelas infonya itu gimana,” Meski baru dua minggu aku tinggal di kawasan ini tapi aku paham dengan Kiki, tetanggaku bak Wartawan ini selalu mau tahu apa saja berita terupdate seputar lingkungan kami.Hampir semua ibu-ibu di lingkungan kami ini selalu menghabiskan waktu untuk berkumpul sedangkan aku lebih memilih mengurus urusan rumah, mengurus Arthur, suami dan jualanku saja. “Kalau memang aku mencuri, kenapa dia nggak melaporkan sekalian aku ke Kantor Polisi, Mbak. Begitu juga dengan caraku jualan apa memang aku jorok, kamu bisa langsung ke dapurku supaya kamu bisa dapat kepastian informasi terbaru, gosip receh kayak gini paling malas aku menanggapi … Tapi kalau terus-terusan aku digosip yang nggak benar nanti aku tuntut balik dengan pencemaran nama baik.” Kesal Ku sudah di ubun-ubun. Kiki terl
Sepuluh menit berbicara dengan bapak, endingnya membuat aku membatalkan melabrak ibu. Dan memilih tetap fokus berjualan untuk besok pagi. Kami merubah rencana berjualan secara online dan Farida siap mengantarkan pesanan ke pembeli.Berjualan online memang tak semudah yang kami bayangkan, kami harus benar-benar pintar berpromosi mencari pembeli, menampilkan gambar yang bagus juga sangat penting. Hari ini kami memposting olahan sosis dan gorengan lainnya hampir lima jam, hanya satu orang yang membeli. Kami tetap fokus menunggu calon pembeli. “Assalamualaikum.” Aku sontak menoleh. Melihat Ibu Trisno bersama dua orang temannya yang tak kukenal.“Waalaikum salam.” “Oya Mayang, ini teman-teman Ibu yang mau pesan catering sama kamu, mereka berdua ini sudah merasakan rasa masakan kamu, rendang daging sama soto banjar itu bikin kangen kata mereka.” Aku tersenyum mendengarnya.Makanan sedekah jumat yang kubuat untuk pesanan Ibu Trisno setiap minggunya selalu berubah-ubah menunya yang kuolah.
“Kamu sudah siap, Dek?” tanya Mas Didik saat melihatku menata rambut di depan cermin. Setelahnya aku berdandan, sejak hasil jualanku meningkat secara perlahan aku mulai membeli pakaian tidak hanya untuk suami, Arthur dan juga diriku tapi juga membeli kosmetik akhirnya terwujudkan.Semalam suamiku gajian, dengan gajinya nyaris tiga juta per bulan benar-benar sangat kusyukuri. Selama kami pindah rumah, kami benar-benar mendapatkan berkah yang luar biasa. Arthur yang berusia hampir lima bulan juga sudah kubelikan gendongan yang dijual pada pedagang online, tidak lagi menggunakan kain jarik.Alhamdulillah saat akan ke rumah ibu mertuaku, keadaan kami jauh lebih baik ketimbang kami pertama kali meninggalkan rumahnya waktu itu. Sesuai permintaan Mas Didik, di hari minggu kami ke rumah ibu. Lagi pula aku tak berjualan dan Mas Didik juga libur bekerja. Aku juga meminjam sepeda motor adikku, Farida untuk dipakai mengunjungi keluarga suamiku itu. Sebelum sampai di rumah ibunya, kami menyemp
“Ya Allah, Bu. Teganya juga Ibu sampai ngomong begitu. Mereka itu ke sini karena mau silaturahmi sama kita. Lagian ngapain juga mau pinjam uang sama Bapak. Lha wong si Mayang aja usaha jualannya lancar terus Didik juga udah kerja, jadi mereka nggak bakal kekurangan uang sampai-sampai mau pinjam uang.” Terang Bapak Mertuaku dengan sedikit kesal melihat kebiasaan istrinya yang suka ceplas ceplos. Ibu mencebikkan bibirnya. “OOO jadi kamu sudah kerja, Dik. Syukurlah. Berarti cara Ibu menyuruh kamu untuk mandiri itu sudah tepat, coba saja kalau kamu masih ikut menumpang terus di sini, mana ada pikiranmu mau berusaha cari uang sendiri.” Sahut Ibu dengan sedikit jumawa.Ya Allah, sejak kapan ibu mertuaku ini menyuruh kami hidup mandiri, justru kamilah yang dengan terpaksa turun dari rumah karena sudah tidak tahan dengan beda perlakuannya tersebut. Seakan-akan ibu mau menunjukkan bahwa siapa saja yang punya uang di rumah ini maka dia sajalah yang mendapat perhatiannya, kita lihat saja b