Share

4. Keputusan Sarah

Baskara datang di waktu yang sangat amat tepat.

Dengan emosinya yang melonjak tinggi, Baskara segera berjalan ke arah Andre yang berada di samping Sarah dan tanpa aba-aba memukul dengan brutal wajah, perut hingga bagian tangan Andre.

Sarah terkejut! Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Baskara akan datang dan menghabisi Andre tepat di wajahnya dan tanpa sadar, air mata Sarah mengalir membasahi wajahnya. Jujur dia—merasa sakit hati dengan perlakuan yang baru saja Andre lakukan kepadanya.

“Keparat! Nggak pantas untuk hidup! Mati saja kamu! “

Sarah hanya bisa diam dan tidak ada keinginan di dalam dirinya untuk memisahkan perkelahian antara Baskara dengan Andre. Sarah terlalu takut juga terkejut dengan apa yang baru saja terjadi kepada dirinya.

“Jangan sekali-sekali sentuh Sarah!” teriak Baskara lantang, kepalan tangannya terus mengeras, menghabisi pria yang telah melecehkan adik iparnya.

Bugh!

Pukulan terakhir menjadi penutup bagi perkelahian keduanya. Kini, Baskara bisa melihat Andre yang terkapar lemah dan tak berdaya dengan wajah babak belur. Seketika, Baskara merasa puas.

Sembari menatap mata yang kini telah bengkak oleh luka, Baskara mendekat ke arah Andre “Anggap itu sebagai hukuman kecil untuk lelaki mesum dan tidak tahu diri sepertimu,” bisik Andre, menampikkan seringai di wajah tampannya.

Baskara tersenyum sinis dan kemudian mulai beralih ke arah Sarah yang sedang berusaha mengusap air matanya.

“Kamu baik-baik saja, kan? Sarah, apakah kamu terluka?” tanya Baskara seraya memegang bahu Sarah untuk menatap ke arahnya. Pria itu kini melepaskan mantel hitamnya untuk menutupi Sarah.

Sarah menggelengkan kepalanya, namun baru saja dia akan membawa Sarah ke dalam pelukannya untuk menenangkan Sarah, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Menandakan ada sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.

Baskara mengurungkan niatnya untuk memeluk Sarah, dan malah beralih untuk membuka ponselnya. Pria itu pun membaca pesan yang baru saja masuk pada ponselnya.

‘Azka masuk rumah sakit, mama harap kamu bisa datang dan bisa cari Sarah. Azka butuh Sarah sekarang!’

Seusai membaca pesan, Baskara pun panik dan bergegas, melupakan Sarah yang masih terduduk di atas ranjang sembari terisak.

Melihat wajah Baskara, Sarah menyentuh pergelangan tangan kakak iparnya, dan mencengkeramnya, “Ada apa, Mas? Kenapa kamu panik?”

“Azka … Azka baru saja masuk rumah sakit. Dia butuh kamu, Sarah.”

Detik itu juga, Sarah merasa detak jantungnya seolah berhenti. Bahkan, dia seolah melupakan apa yang beberapa detik lalu baru saja terjadi padanya. Wanita itu dipenuhi rasa salah, karena dia meninggalkan Azka malam ini demi bertemu dengan pria yang hampir melecehkannya.

Sarah dan Baskara akhirnya sama-sama bergegas. Keduanya merasa panik, mengingat di umur Azka yang masih beberapa minggu, penyakit apa pun bisa saja fatal untuk bayi. Banyak sekali pikiran buruk yang memenuhi pikiran keduanya, namun, mereka berusaha menghiraukannya, dan berlari untuk menemui Azka.

Baskara dan Sarah saling bergandengan tangan, hingga mereka berdua bisa menemukan kedua orang tua mereka yang sedang berbicara dengan seorang dokter yang sepertinya tengah berbicara mengenai keadaan Azka, anaknya.

“Mah, ada apa mah? Ada apa dengan Azka? Apa dia baik-baik saja?” tanya Sarah dan Baskara secara bersamaan.

Tersadar dengan penampilan keduanya yang terlihat berantakan karena panik, Ayu dan Mala berusaha menenangkan mereka berdua dengan mengelus bahu keduanya perlahan.

“Kalian bisa berbicara dengan dokter ya, mama dan papa sudah mengetahui diagnosis Azka. Kini, giliran dokter yang menjelaskan semuanya kepada kalian."

Sesampainya di ruangan, seorang dokter perempuan dengan jas putihnya tersenyum manis dan mulai membuka suaranya, “Begini pak, bu. Dik Azka mengalami alergi yang baru terasa beberapa hari terakhir. Alergi tersebut merupakan alergi yang menyangkut pada kandungan protein yang terdapat dalam tubuh sapi yang menyebabkan diare, dan juga tubuh yang memerah bagi nak Azka.”

“Alergi susu sapi?” tanya Sarah. Memang benar, beberapa hari belakangan, karena tak punya pilihan lain, Azka memang diberikan susu sapi, itu pun atas saran dokter, mengingat keluarganya belum sempat menemukan donor ASI untuk bayi kakaknya itu.

“Iya bu, maka sebisa mungkin disusui langsung oleh ASI ya. Azka sudah sama sekali tak boleh mengonsumsi susu sapi, dan jika dipaksa untuk meminum susu formula, dikhawatirkan kondisi nak Azka justru akan semakin memburuk.”

Penjelasan dari dokter tersebut benar-benar membuat Sarah terdiam. Dia benar-benar terkejut dengan fakta yang menunjukkan bahwa Azka mengalami alergi yang bahkan baru dia ketahui saat ini. Sarah bingung sekarang, bingung dengan apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap adik kakaknya. Dia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Azka.

Tak berapa lama, dokter itu mulai pergi dan meninggalkan keluarga Baskara dan Sarah. Hingga, Baskara mulai membuka suara saat ini.

“Alergi susu sapi? Lantas Azka bagaimana? Donor ASI tak bisa dilakukan terus-menerus.“

“Tidak ada pilihan lain, Baskara. Kamu harus mencari ibu susu untuk Azka. Beberapa hari ke depan Azka akan mendapatkan asi dari pendonor asi di rumah sakit ini. Tapi, untuk jangka panjang rumah sakit tidak bisa menjamin bahwa Azka akan mendapatkan jatah asinya.”

Mendengar penjelasan ibunya sendiri, Baskara dilanda kebingungan, “Tapi—siapa ma? Siapa yang bersedia menjadi ibu susu Azka?”

Ruangan di rumah sakit itu seketika terasa amat hening. Seolah, suara jarum kecil yang terjatuh pun bisa terdengar oleh siapapun.

Merasa semua mata tertuju kepadanya, dan juga rasa bersalah pada Azka yang memenuhi seluruh tubuhnya, Sarah menghela napas panjang dan mengarahkan manik cokelatnya ke Baskara dan juga keluarganya.

“Biarkan Sarah yang menjadi ibu susu untuk Azka, sekaligus istri Mas Bagaskara.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status