"Awwww!"
Saking kencangnya, teriakan itu terdengar hingga ke lantai bawah, di mana kamar kedua orang tuanya berada.
Tepat tengah malam, Sagara terbangun oleh mimpi buruk. Keringatnya bercucuran memenuhi seluruh tubuhnya.
Dia memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat.
Dalam mimpi, dia melihat dirinya terlempar ke sebuah jurang. Di jurang itu dia disambut oleh lahar dan binatang-binatang aneh yang mengerikan.
Kenapa mimpi mengerikan ini selalu berulang? hatinya bertanya dalam kegundahannya.
Sungguh, dia belum pernah merasa jiwanya tak tenang seperti yang dialaminya sekarang ini.
Lagi-lagi dia membayangkan dirinya saat menodai Safira. Ternyata beberapa ini dia baru menyadari, itu semua hanya kenikmatan sejenak. Kini, justru dia merasakan berbukit-bukit beban menghantam jiwanya.
Beban-beban itu tak lain karena dosa besar yang telah dilakukannya. Dia sadar dan memang sengaja melakukan perbuatan nista itu. Dia memasukkan obat bius ke dalam minuman semenjak dia mengikuti perjalanan Safira saat menuju Puncak Bogor.
Mungkin setan sekarang sudah menertawaiku, pikir Sagara. Tiba-tiba dia teringat Safira saat dia memaki-maki dirinya dengan sebutan iblis dan setan. Ya, Safira benar. Aku memang layak dipanggil begitu.
Berhari-hari Sagara dihantui kegelisahan. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Dia juga merasa malas untuk pergi ke kampus untuk menuntaskan bimbingan skripsinya.
Ada rasa penyesalan yang memenuhi ruangan hatinya. Mengapa dirinya setega itu telah menyakiti gadis yang selamanya ini dicintainya. Mengapa dirinya telah dikuasai nafsu durjana.
Ya, Tuhan, masih adakah kesempatan bagiku untuk memperbaiki diri? Pertanyaan itu berulang-ulang memenuhi hatinya setiap hari.
Namun nasi sudah jadi bubur. Semuanya sudah terlanjur. Dia sudah terlanjur melakukan sebuah dosa besar.
Pertanyaan yang makin menghujam dadanya, bagaimana kalau Abi dan Umi tahu? Haruskah aku bercerita pada mereka?
Setelah mimpi buruk itu, biasanya Sagara tak bisa tidur sampai jelang Azan Subuh berkumandang. Kepala rasa berat. Namun anehnya, beberapa menit ke waktu salat Subuh matanya malah mengantuk berat.
Kalau saja abinya tidak memaksanya bangun dan dipaksa untuk berangkat shalat berjamaah ke masjid. Karena masih mengantuk berat, Sagara sepulang dari masjid akhirnya tidur lagi.
***
"Semalam abi dengar suara teriakan dari lantai dua, itu suara kamu ya, Nak," ungkap Ustaz Reza siang itu ketika mereka sudah berkumpul di meja makan.
Sagara mengangguk. "Mimpi buruk, Bi..." jawabnya singkat.
"Sa, akhir-akhir ini, abi perhatikan kamu kok kayak aneh. Seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan," ungkap sang ayah di sela-sela makan siang sambil melirik ke arah putra bungsunya.
Sagara menunduk dan menghentikan suapan di sendoknya.
"Enggak, kok. Biasa aja, Bi," balas Sagara melirik abi dan uminya secara bergantian.
Jika abinya sudah berkata seperti itu. Dia sudah takkan bisa mengelak. Dia harus mengumpulkan kekuatan untuk berkata jujur. Tak mungkin berbohong. Berbohong pun pasti akan ketahuan.
"Jangan pernah berbohong di depan abi!" ucap abi tegas.
"Ayo, Nak. Ceritalah..." ungkap umi tetap lembut membujuk Sagara.
Sekalipun di keluarga dia anak bungsu, abinya merasa tak pernah memanjakannya. Namun entah mengapa dia menjadi satu-satunya anak di keluarga Ustaz Reza yang paling aneh. Anak-anak yang lain menurut, tetapi Sagara sering kali membantah.
Hari ini tepat hari libur. Saat libur, mereka biasanya makan siang bersama. Di rumah itu hanya tinggal mereka bertiga. Kakak-kakak Sagara sudah semua berkeluarga dan sudah tinggal di keluarga kecil mereka masing-masing.
Umi dan abi memandangi Sagara, menunggu putranya berbicara. Keringat dingin membasahi tubuh Sagara. Keningnya pun berkeringat. Tubuhnya terasa panas dingin.
Secepat inikah aku harus jujur ceritakan? Hati Sagara belum sepenuh hati untuk terbuka, jujur apa adanya.
"Abi... Umi..." Nada suara Sagara sangat lemah. "Aku... aku... sudah melakukan dosa. Mungkin nanti kalian akan kecewa," Sagara mengawali.
Orang tuanya masih menunggu pengakuan sang anak. Suasana siang makin panas. Terlebih bagi Sagara.
Sagara masih terdiam menunduk. Butuh kekuatan ekstra untuk melanjutkan perkataan dan bercerita dengan jujur.
"Lanjutkan, ayo ceritalah..." kata abi. Sementara umi terlihat gusar, "Apa yang kamu lakukan, Nak?"
"Aku sudah menodai seorang gadis..." ungkap Sagara terbata-bata.
Umi menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Syok bukan main. Sementara abi mematung. Dia menatap putra bungsunya itu tanpa berkedip. Benar-benar tak percaya atas ucapan anaknya barusan.
"Maksud kamu apa? Kamu berzina?" tanya abi dengan nada suara tinggi.
"Aku memperkosa seorang gadis tak berdosa," jawab Sagara, masih terbata-bata.
Umi dan abi mengucapkan istigfar berkali-kali.
Tak kuasa menahan marah yang sudah naik ke puncak, abi spontan berdiri. Dia mengangkat kerah baju anaknya.
Tamparan berkali-kali mengenai seluruh wajah anaknya. Wajah sagara mulai terlihat lebam-lebam. Dari hidungnya mengucur darah. Bahkan perutnya terasa ngilu karena berkali-kali terkena pukulan abi.
"Abi, sudah, tolong hentikan!" pinta umi. Namun ucapan itu sama sekali tak berguna. Ustaz Reza masih mendaratkan pukulan demi pukulan ke tubuh Sagara.
"Kamu sudah dikuasai nafsu dan setan!" abi alias Ustaz Reza nyaris mencekik leher anaknya. Namun dia masih berusaha menahan murka hingga akhirnya melepaskan tubuh anaknya.
"Abi, istigfar, Abi. Tolong hentikan!" umi kembali berucap.
"Abi gagal mendidik kamu..." ucap lelaki itu. "Ke sana kemari abi mengajak jutaan umat untuk taat kepada syariat, tapi darah daging abi sendiri kini yang bermaksiat, melanggar hukum syariat. Apa yang akan abi katakan nanti di hadapan umat?," ucap abi dengan suara pelan sambil menangis tergugu.
"Kamu sudah merusak kemuliaan dan bersihnya silsilah keluarga kita," lanjut abi. "Kamu tidak sadar risiko atas dosa yang kamu perbuat hah? Murka Allah. Abi juga ikut menanggung dosamu. Aku gagal mendidikmu. Bagaimana kalau gadis itu hamil?" abi nyaris membentak Sagara.
Sagara kembali duduk. Wajahnya masih menunduk.
Dalam suasana yang masih panas, Bell tiba-tiba berbunyi.
Sekali dua kali, suara itu diabaikan. Namun ketika bunyi terdengar berkali-kali dan di luar terdengar suara sirene, Ustaz Reza dan isteri segera mengambur ke halaman rumah.
Ketika dibuka, gemuruh suara terdengar. Sekelompok orang berseragam polisi sudah bersiaga.Warga sekitar pun mulai berdatangan.
"Selamat siang, kami ditugaskan untuk menangkap saudara Sagara Biru. Ini suratnya," ucap salah seorang polisi tampak segan. Polisi itu mengenal orang yang menerima surat itu adalah sosok ulama yang ceramahnya biasa viral di media sosial dan sering muncul di televisi.
Ustaz Reza melangkah ke dalam. Tak lama dia menyeret anaknya sendiri dan menyerahkannya kepada polisi.
"Ini, Pak orangnya...." Ustaz Reza sudah pasrah.
Sementara istrinya, bagaimana pun dia seorang ibu. Sejahat apa pun anaknya, tetap dia menyayanginya.
Dia tak kuat menahan syok, malu, dan perih yang mengiris dadanya. Tubuhnya lunglai. Dia pingsan. Ustaz Reza menahan tubuh istrinya. Dia membawa istrinya ke dalam rumah dibantu oleh Sagara.
"Umi, semuanya salahku," kata Sagara. Kelopak matanya memanas. Air mata berderai. "Maafkan aku, Umi maafkan aku karena sudah mengecewakanmu."
"Air matamu sudah tak berguna lagi, percuma," kata Ustaz Reza. "Cepat kamu pergi dari sini. Nikmatilah hidupmu di penjara. Abi tak sudi lagi melihat wajahmu."
Sagara melangkah. Dia keluar menghampiri polisi yang masih menunggu.
Politis itu hendak memasangkan borgol ke pergelangan Sagara. Lelaki itu menepisnya.
"Nggak perlu dipasang!" tolak Sagara. "Aku takkan melarikan diri," lanjutnya.
Tak dinyana, masyarakat di sekitar rumah ulama terkenal itu sudah berkumpul dalam waktu yang singkat. Sebagian ada yang melihatnya dengan simpati, tampak sedih.
Namun sebagian dari mereka ada juga yang nyinyir.
"Tiap hari sibuk ceramah nasihatin orang, eh tak tahunya anak sendiri bikin ulah," celetuk seseorang di antara kerumunan massa.
"Makanya, sebelum nasihatin orang, nasihatin tuh keluarga sendiri," yang lainnya menimpali.
Sagara menatap kerumunan massa sekilas. Dia tak kuat. Dia lebih memilih menundukkan wajahnya.
Baru kali ini dia merasakan dirinya amat terhina. Ya benar-benar terhina karena perbuatannya sendiri.
Mobil polisi yang membawa Sagara pun melaju melewati kerumunan orang yang menatap Sagara. Tatapan itu dirasakan lelaki itu benar-benar sangat menghakimi dirinya.
Bersambung...
Menurutmu, kira-kira kisahnya dilanjutkan? Kasih masukan di komentar ya...
Makasih banyak supportnya ya...
Kenapa ini semua harus menimpa diriku? hati Safira bertanya-tanya. Sejak peristiwa itu, dia sering menangis saat seorang diri.Dalam kesendiriannya, Safira termenung. Sekalipun Sagara kini sudah meringkuk di penjara, namun bagaimanapun luka yang sudah dihujamkan ke dalam jiwanya masih membekas. Jiwanya belum tenang karena kesuciannya takkan bisa kembali lagi.Apa ini semua salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mimpi-mimpi indahku yang sudah kuukir kini berubah menjadi mimpi buruk, lirih Safira.Bagaimana bisa tenang, kesucian yang selama ini dia jaga, hanya dipersembahkan untuk suaminya nanti, malah dirampas begitu saja.Mimpi indah itu telah pergi. Yang menemani ku kini mimpi-mimpi buruk. Aku sudah tak punya masa depan lagi, ungkap hatinya.Ini semua salahku, seharusnya hari itu, aku nggak pergi. Mungkin jika tak pergi, semua ini takkan terjadi, ungkap hatinya lagi, cenderung menyalahkan dirinya sendiri.Safira meraih ponsel pinta
“Fira, ayolah makan,” pinta mama saat mereka sekeluarga saat berkumpul di meja makan.Seperti malam-malam lainnya, makan malam yang dilalui Safira terasa hambar.Mama, Papa, dan Berliana menatap Safira yang dari tadi memain-mainkan sendoknya di atas piring nasi. Sepertinya baru beberapa suap yang masuk. Karena nasi di piring itu tersisa masih sangat banyak.Sementara adik dan kedua orang tuanya sudah dari tadi menuntaskan makan malamnya.Terlalu berat bagiku, menghadapi ini. Aku tak sanggup, ucapnya dalam hati.Dia tak menyadari permintaan mamanya, karena terlalu larut dalam pikirannya.“Fira, Sayang. Ayolah makan. Kamu harus kuat. Kamu harus bisa melanjutkan kehidupan,” ucap Papanya.Nada suara papanya jauh lebih nyaring dibanding mamanya sehingga Safira bisa mendengarnya.“Iya, Pa…” ucap Safira, dia ingin menyenangkan papanya. “Ini aku, makan,” lanjutnya sembari menyuap n
“Kak, tolong buka, Kak!” suara Berliana terdengar lebih tinggi saat mengetuk-ngetuk kamar Safira.Dia sudah berkali-kali mengucapkan kalimat itu, namun tak kunjung ada respon dari kakaknya.Dia mengkhawatirkan kakaknya, sementara untuk bisa masuk ke kamar pintunya terkunci.“Kak, tolong buka, Kak,” ucap Berliana lagi. Dia mulai cemas. Duuh, Kak, moga-moga aja nggak terjadi apa-apa sama kamu, gumam Berliana.Dari dalam sebenarnya Safira dapat mendengar dengan jelas suara adiknya. Namun dia merasa enggan, sama sekali tak berminat membuka pintu kamar dan menampakkan diri. Terlebih dengan kondisi saat ini, penampilan rambutnya sudah tak jelas.Dia memandangi dirinya di depan cermin, dengan potongan rambut yang sudah pendek.Namun suara adiknya di luar juga masih terus terdengar. Adiknya tak menyerah.Safira berhenti memandangi dirinya di cermin. Dia melangkahmendekati pintu. Akhirnya terpaksa, dia membuka kun
“Hubungan rumah tangga harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan,” Safira mengawali. “Aku tahu ini pahit untukku. Tapi aku tidak mau mengecewakanku, sehingga malam ini aku harus berkata apa ada padamu, Ben.”“Ya, aku sepakat,” jawab Benua lugas.“Ben, apa kamu nggak tahu berita viral?” tanya Safira saat dia bersama Benua sudah duduk di kursi halaman rumah. Di samping Safira, Berliana ikut duduk menemani.Kenapa nanya soal berita viral sih, pikir Benua. Nggak ada pertanyaan lain apa? Benua belum memahami alur pembicaraan calon istrinya.“Berita viral apa? Maksud kamu apa?” tanya Benua polos. Dia memang belum paham.Mendengar jawaban seperti itu, Safira menyimpulkan bahwa Benua memang belum mengetahuinya. Mungkin dia belum sempat baca-baca berita di media sosial.Safira menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan.“Ben, sebelumnya aku mau m
Ya Tuhan, mengapa dunia ini tiba-tiba gelap teramat pekat dan mencekam? Padahal jauh-jauh hari aku sudah merencanakan kebahagiaanku bersamanya. Bersama Queenku...Dunia Ben kini menggelap, lebih gelap dari jutaan malam yang telah dilaluinya. Selama ini, segelap apa pun malam yang dijalaninya, tetap saja indah karena di langit hatinya ada satu bintang, yaitu Safira yang selalu ia sayang setulusnya.Malam itu, Benua termenung sendiri di kamarnya yang gelap tanpa nyala lampu. Dua memang sengaja mematikan lampu di kamarnya.Sekalipun hatinya mencoba untuk tenang menghadapi masalah asmaranya ini, namun jiwanya tetap saja muncul gelisah.Ada hitam yang semakin membesar di dadanya. Jika dibiarkan, tentu kegelapan itu akan memakan cahaya hati dan membuat jiwanya terguncang.Dalam kegalauannya dia memainkan gawai yang tergeletak di nakas di samping tempat tidurnya. Dia meraihnya perlahan dengan rasa malas.Sungguh beberapa hari i
Tiba di kantor polisi, Safira dan ayahnya mengisi buku tamu. Tak lama kemudian keduanya menunggu di ruang besuk.Didampingi seorang sipir, Sagara muncul dengan wajah tertunduk. Sama sekali dia tak berani menatap Safira dan ayahnya.Sementara itu, Safira dan ayahnya tak berkedip sedikit pun memandangi Sagara. Amarah ayah Safira bergolak. Terlebih lagi Safira. Ingin sekali dia memukul-mukul lelaki yang telah menodainya sampai habis tak tersisa.Ayah Sagara yang duduk, dia segera bangkit. Dan langkah cepat, dia memburu Sagara.“Anak kurang ajar!” pekik ayah Safira. Dia menampar dan memukul Sagara berkali-kali. Apa yang dilakukan oleh ayah Safira dihalangi oleh sifir. Sayangnya sifir pun hampir kewalahan menahan kekuatan ayah Sagara yang didorong karena amarahnya yang meledak-ledak.Sagara sekuat mungkin dia menahan rasa sakit, tanpa mengelak sedikit pun. Di
“Mohon Bapak tidak salah paham. Dengarkan dulu penjelasan saya,” kata Ustaz Reza.“Tenang, Pa...” ibu Safira meremas jemari suaminya. “Nggak ada salahnya kita dengerin dulu penjelasan Pak Ustaz.”“Silakan, mau menjelaskan apa?” kata ayah Safira.“Saya bisa paham kondisi Bapak saat ini, karena saya punya anak perempuan. Saya pun pasti sedih dan marah bila anak perempuan saya mengalami kondisi yang tidak seharusnya terjadi seperti yang dihadapi Nak Safira saat ini,” kata Ustaz Reza.“Saya saya sangat terpukul manakala yang melakukan kejahatan atas Nak Safira adalah anak saya. Seandainya saya bisa melaksanakan hukuman yang sesuai syariat Islam atas kasus penodaan terhadap perempuan, saya rela dan bersedia untuk menghukum anak saya saya sendiri dengan hukuman mati biar menjadi pelajar bagi yang lain agar tidak lagi merendahkan seorang wanita.”“Dan sebenarnya Bapak sekeluarga
Safira tak menjawab. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, yang ada hanya lelehan air mata. Ibu Safira paham, air mata putrinya sudah cukup menjawab pertanyaan yang barusan dia lontarkan kepada putrinya.“Ini, liat aja sendiri,” kata Safira kemudian seraya menyerahkan tes pack itu kepada ibunya.“Ya Allah… astagfirullah… Ya Alllah...” ibu Safira menangis sejadi-jadinya. Tangisannya jauh lebih menyayat hati dibandingkan tangisan putrinya.Ayah Safira memegangi kepalanya yang pening.Tak lama kemudian, ibu Safira kehilangan keseimbangan. Dia pun pingsan. Tubuhnya yang lunglai tertahan di pangkuan ayah Safira.“Mama...” Lian tiba-tiba datang. Dia terkejut melihat kondisi mamanya.***Sehari kemudian. Belum reda ‘kejutan pahit’ yang menimpa keluarga Safira, mereka kedatangan tamu, yatu dari keluarga Benua.Orang tua Safira yang dalam kondisi sedih tetap harus tena