Tanisha menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih berhias bunga - bunga berwarna merah sudah terpasang di tubuhnya. Tak lupa jilbab senada yang juga dihiasi karangan bunga di atas kepalanya.
Namun, wajah gadis itu terlihat cemberut, tak ada gurat kebahagiaan di wajahnya yang sudah dipolesi make up. Bahkan, sedari tadi ia justru terus mengomel.
Sungguh, Tanisha tak menyangka akan sampai di hari ini. Ia pikir, ketika dirinya sudah terbangun, tanahlah yang akan ia lihat.
Tanisha memang bisa segila itu.
Sepeninggal tukang rias, gadis itu memilih untuk mengambil laptopnya dan kembali menulis cerita di sana. Harapannya semalam benar-benar terkabul untuk bisa mendapat inspirasi dari mimpinya sendiri. Daripada keburu lupa, lebih baik segera diaplikasikan ke dalam bentuk tulisan bukan?
Tanisha tersenyum-senyum saat mulai mengetikkan kata per kata di keyboard laptopnya. Ingatannya saat membayangkan mimpinya kembali terasa lucu padahal saat baru terbangun gadis itu bercucuran keringat.
Bagaimana tidak?
Ia bermimpi dikejar-kejar psikopat karena tak sengaja memergoki orang itu tengah membunuh seorang anak kecil. Alhasil Tanisha dan psikopat itu bermain kejar-kejaran di dalam hutan. Iya, latar mimpinya itu berada di hutan.
Yang paling mengerikan adalah ketika Tanisha hendak berteriak, suaranya tak muncul sama sekali seolah ada sesuatu di tenggorokannya. Di saat seperti itu, Tanisha dalam mimpi tiba-tiba menjadi berada di sebuah desa yang amat - amat kecil. Masih dengan psikopat itu.
Endingnya, Tanisha terbangun saat si psikopat hendak menangkapnya.
Iya, tahu. Mimpi Tanisha terlalu pasaran. Semua orang pasti mengalami. Akan tetapi, gadis itu tetap menuliskan mimpinya itu ke dalam cerita thriller-nya. Dengan sedikit modifikasi tentunya agar terlihat lebih keren.
Tunggu, apa ini? Bukankah seharusnya chapter ini menceritakan tentang ijab kabul? Sabar, waktu masih panjang.
"Bisa-bisanya kamu malah ngetik cerita di saat orang lain sibuk nyiapin acara ijab kabul," celetuk Afzar hingga membuat Tanisha tersadar setelah beberapa menit lalu tenggelam ke dalam ceritanya.
'Sial, padahal tadi tengah seru-serunya,' batin gadis itu.
"Lagian aku nggak nyuruh mereka sibuk, kok. Mereka aja yang mau," balasnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.
Afzar yang tengah mengenakan jas warna hitamnya hanya bisa tersenyum melihat tanggapan adiknya. Melihat itu, ia menjadi merasa adiknya itu belum cukup dewasa untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Dirinya saja sampai sekarang masih belum siap. Apalagi adiknya.
"Cha, emang kamu udah siap jadi istri dan ibu?" tanya laki - laki itu sambil menatap pantulan dirinya di cermin.
Netra Tanisha berubah lurus. Tanpa Afzar sadari, adiknya itu tersenyum miring seolah ia adalah tokoh antagonis dalam kisah ini.
"Aku nggak pernah siap dan nggak akan pernah siap. Tapi, liat apa yang bisa aku lakuin," jawab gadis itu lalu menoleh menatap Afzar.
Kening laki-laki berjanggut tipis itu mengernyit. Ia kemudian berjalan mendekati meja Tanisha. Satu tangannya ia letakkan di kursi yang diduduki gadis itu.
"Awas kalo bikin masalah pas udah nikah nanti," peringat Afzar dengan tatapan tajam ia layangkan pada adiknya itu.
Tanisha menyengir kuda. Ia tersenyum lebar untuk meyakinkan kakaknya bahwa ia tak akan membuat masalah seperti di masa lalu.
"Nggak, Bang. Bercanda. Serius amat," ujarnya tapi tidak dengan hatinya.
"Acha."
Suara Sa'diyah menyadarkan keduanya. Tanisha buru-buru mematikan lalu menutup laptopnya.
"Keluar, yuk? Pihak mempelai pria sudah datang. Ijab kabul akan segera dimulai," ucap wanita paruh baya itu lembut. Ia pun berjalan menghampiri sang putri lalu menatap wajahnya sambil tersenyum haru.
"Nggak nyangka, ya. Anak Bunda udah mau nikah aja. Bunda terharu tau nggak?" Sa'diyah menyeka air matanya yang tak disangka akan turun.
Tanisha menatap sendu wajah keriput sang ibunda. Ia menjadi tak tega jika harus benar - benar menolak perjodohan ini. Satu tangannya tergerak untuk mengecup punggung tangan Sa'diyah.
"Bunda, jangan nangis, dong. Acha nggak suka liat Bunda nangis," pinta gadis itu dengan suara bergetar.
Sa'diyah menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum di depan putrinya. "Nggak, kok, Sayang. Bunda nggak papa. Insya Allah. Ayo, Bunda antar keluar."
Afzar tersenyum haru melihat interaksi antara ibu dan anak itu. Ia bisa merasakan ketidakrelaan sang Bunda melepas putri bungsunya. Bagaimana tidak? Bahkan dirinya sendiri pun tak rela melepas adik satu-satunya itu.
Afzar mengusap bahu Tanisha seolah hendak menyalurkan kekuatan. Ketiganya pun berjalan keluar menuju altar pernikahan.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Tanisha Azzahra Khalisah binti Fiandra Abdullah dengan mas kawin emas 20 gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai."
"Sah?"
"SAH!"
Air mata Aqlan mendadak turun setelah mendengar kata "sah" menggema di seisi ruangan. Kedua tangannya ia angkat dan mulutnya bergerak merapalkan sebuah doa.
Aqlan tak menyangka, hari ini ia telah menghalalkan seorang perempuan yang merebut hatinya dalam waktu yang bisa dibilang singkat.
Teringat saat ia diberi waktu 3 hari oleh Tanisha untuk memutuskan. Bukan hal yang mudah. Aqlan sampai tak beranjak dari atas sajadah semalaman, hanya untuk berharap diberi jalan oleh sang Mahakuasa mengenai terima atau tidaknya perjodohan ini.
Ternyata, Allah memberikan jalan ini. Aqlan tak tahu apakah ke depannya akan tetap baik-baik saja atau tidak. Yang jelas, ia akan tetap berusaha mencintai takdir Tuhannya bagaimanapun bentuknya.
Sa'diyah mengantar Tanisha menghampiri Aqlan. Tangis haru 2 keluarga menghiasi momen bahagia ini.
Acara berlanjut ke tukar cincin. Aqlan memasangkan cincin di jari manis Tanisha dengan bergetar. Sementara perempuan itu justru ogah-ogahan memasangkan cincin di jari sang suami. Tak ada sedikit pun raut wajah gugup terlihat pada gadis itu. Tak lupa, Aqlan pun membacakan doa untuk istrinya sambil memegang ubun-ubunnya.
Setelah itu, mereka pun berjalan ke kursi pelaminan yang terletak di halaman rumah Tanisha ini.
"Alhamdulillah, kamu udah jadi istri Abang," bisik Aqlan yang langsung mendapat tatapan tajam dari Tanisha.
Kerlingan mata laki-laki itu berikan pada Tanisha. Tangannya pun tergerak untuk memeluk pinggang perempuan itu dari samping.
"Bisa diem nggak?" geram Tanisha yang tak dihiraukan Aqlan. Laki-laki itu justru semakin gencar menggoda sang istri.
'Sial, ini tempat umum. Kalau aja lagi berdua, udah aku tonjok, nih, cowok,' batin Tanisha.
Aqlan tak henti-hentinya menatap sang istri. Wajahnya yang bulat, hidungnya yang tidak mancung alias pesek, tahi lalat di sebelah mata kanannya, senyum tipisnya, cantik sekali di mata Aqlan. Sungguh, menatap kekasih yang sudah halal itu nikmat sekali rasanya.
"Mau honey moon ke mana?" bisik Aqlan, lagi. Senyum menggoda dan alis yang dinaik turunkan ia perlihatkan pada sang istri.
Kedua mata Tanisha sontak membulat. Mendengar pertanyaan seperti itu ... maksudnya dia dan Aqlan .... Ah, memikirkannya saja ia sudah mual.
Tangannya pun tergerak untuk mencubit perut laki-laki itu. Ringisan pun terdengar dari mulutnya.
Bisa-bisanya laki-laki yang baru menjadi suaminya itu bicara seperti itu.
"Awas aja tanya begituan lagi," ancam Tanisha yang sialnya tak membuat Aqlan kapok.
***
Tanisha keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Objek yang pertama ia lihat adalah Aqlan yang sedang memainkan ponselnya sambil duduk di atas sofa.
Perempuan itu duduk di depan meja rias untuk memakai skin care. Tatapannya terus tertuju pada Aqlan meski tangannya sibuk dengan botol-botol skin care di depannya.
Beberapa menit kemudian, ia berdiri lalu berjalan ke arah lemari cokelat miliknya. Ia mengeluarkan sebuah benda lalu berjalan mendekati Aqlan.
"Lagi apa, Sayang?" tanya Aqlan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Nih, tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah map berwarna biru tua ke atas meja, tepat di depan Aqlan.
Aqlan yang sedang fokus memainkan ponselnya pun terkejut lalu beralih menatap wajah perempuan itu. Sorot matanya menggambarkan kebingungan.
"Apa ini?"
Tanisha memutar bola matanya jengah sambil menghela napas pelan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Kedua matanya menatap tajam ke arah laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu. Aqlan hanya diam menunggu jawaban Tanisha.
"Dalam map ini, berisi perjanjian-perjanjian tertulis selama kita menikah. Dan setelah 3 bulan menikah, kita harus segera berpisah. Lebih jelasnya, lihat sendiri di sana."
Sontak kedua bola mata Aqlan membulat. Ia menatap map dan Tanisha bergantian. Ia menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya itu.
Perjanjian dalam pernikahan? Apa maksudnya? Bagaimana mungkin Tanisha nekat melakukannya?
***
"Bentar - bentar, ini maksud kamu apa? Ngapain kamu nyuruh Abang tanda tangan beginian?" tanya Aqlan. Dalam hati ia berharap Tanisha tak melakukan sesuatu yang tak ia harapkan."Tanda tangan aja, apa susahnya, sih? Udah, mending kamu baca semuanya, terus tanda tangan!" Tanisha melempar sebuah pulpen ke atas meja dengan kasar.Aqlan membaca isi map tersebut. Napasnya mulai memburu pertanda ia tengah menahan amarah. Sejurus kemudian, laki-laki itu berdiri lalu melempar map itu ke atas meja."Kamu mau kita menikah kontrak gitu? Nggak, Sha! Abang nggak akan ngelakuin itu. Itu nggak diperbolehkan dalam agama!""Aku nggak bilang kalau ini, tuh, semacam menikah kontrak. Aku lebih suka menyebutnya perjanjian dalam pernikahan," ujar Tanisha diakhiri senyum miring.Aqlan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Wajahnya ia usap dengan kasar. Kalimat istigfar berkali-kali keluar dari mulutnya."Abang nggak mau, Sha," ucapnya pelan.Tanisha duduk di samping Aqlan. Raut wajahnya terlihat kesal.
Pagi hari, mungkin bagi pasangan lain yang baru menikah adalah momen terbaik untuk saling menyapa mesra. Sang istri menyiapkan sarapan untuk sang suami, dan sang suami menunggu sambil minum teh hangat di teras rumah.Atau bisa juga jalan-jalan kecil berdua di sekitar komplek. Lalu dilanjut dengan senam ringan di taman komplek. Setelahnya, sarapan di sebuah kedai kecil sambil berbincang kecil disertai kekehan tawa sesekali.Atau yang paling sederhananya, sekadar berbagi kehangatan di balik selimut tebal. Entah itu sambil mendengarkan musik, menonton televisi, atau bercerita ringan mengenai acara semalam.Sayang sekali, itu hanya menjadi ekspektasi belaka bagi Aqlan yang kini justru tidak dipedulikan oleh Tanisha. Selesai salat Subuh tadi istrinya itu langsung bekerja alias mulai mengetik cerita di laptopnya. Padahal, Aqlan ingin sekali menikmati waktu berdua bersama istrinya.Ya, seharusnya ia sadar, dirinya hanya suami dalam perjanjian yang artinya Tanisha tak p
Sesampainya di rumah, Aqlan dan Tanisha kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanisha dengan kertas beserta laptopnya, dan Aqlan dengan buku catatan serta kitab-kitabnya.1 proyek sudah selesai setelah menghabiskan waktu selama kurang lebih 2 jam dari semenjak bakda Isya. Kini Tanisha melanjutkan tugasnya yang lain yang mungkin kira-kira ada 2 projek lagi.Semua aktifitas Tanisha itu tak lepas dari perhatian Aqlan yang sudah sedari tadi selesai mencatat materi yang akan ia sampaikan pada para santri esok hari. Ia begitu setia menunggu sang istri menyelesaikan pekerjaannya.Aqlan sangat teringin menegur istrinya agar tak terlalu memaksakan dirinya untuk menyelesaikan semua tugasnya. Namun, bayang-bayang map perjanjian selalu membuat laki-laki itu tak berani melakukan hal itu. Padahal, seharusnya ia lebih berkuasa daripada secarik kertas yang bahkan bisa rusak hanya dengan merobeknya sedikit saja.Lagi-lagi Aqlan beristigfar karena ia merasa lemah di hadapan istrinya. Ia sadar,
Dari bakda Subuh tadi, Tanisha sudah sibuk dengan peralatan dapur. Ia memasak banyak makanan untuk Aqlan. Hal itu sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam.Keringat bercucuran di dahi perempuan itu. Kakinya sudah lelah untuk tetap berdiri. Namun, makanan yang belum selesai dimasak membuatnya terpaksa menguatkan diri.Tak berselang lama, terdengar suara Aqlan mengucap salam. Laki-laki itu memasuki rumah dan mendapati Tanisha yang tengah sibuk memasak. Ia melepas pecinya lalu duduk di kursi sambil memandangi istrinya.Ada perasaan heran di hati Aqlan. Mengapa istrinya masak begitu banyak? Hampir seisi meja makan penuh dengan makanan.Kegiatan memasak pun selesai. Tanisha meletakkan sisa makanan yang baru selesai dimasak ke atas meja makan. Perempuan itu mengarahkan pandangannya pada Aqlan sekilas. Kemudian kembali fokus dengan kegiatannya."Kamu kenapa masak sebanyak ini? Ada acara apa?" Tanisha menghela napas pelan lalu meletakkan tangannya di pinggang. Kepalanya ia miringkan
Sepanjang perjalanan, Aqlan dan Tanisha saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tak ada yang berani memulai percakapan walau hanya sekadar untuk memecah keheningan.Tanisha tengah memikirkan pembicaraannya tadi dengan Kalandra. Sementara Aqlan, ia sibuk bertanya - tanya dalam benaknya, saat ia tak sengaja melihat istrinya itu mengobrol dengan sahabatnya sendiri. Pasalnya, cara mereka saling berbicara terlihat seperti sudah sangat mengenal dan akrab.Tanisha memainkan kain gamisnya. Ia benar-benar tak senang kala kembali mengingat kehidupannya di masa lalu dengan seseorang. Ia benar-benar kesal, mengapa ia harus kembali bertemu Kalandra?"Acha ....""Iya?"Aqlan terlihat ragu untuk menanyakan hal tadi kepada perempuan itu. Stir mobil ia ketuk - ketukkan dengan jari. Ia juga mengulum bibirnya pertanda gugup."Nanti aja, deh. Pas di rumah," jawabnya yang seketika mendapat tatapan sinis dari istrinya.Sesampainya di rumah, mereka kembali sibuk dengan urusannya masing
Sedari tadi, Aqlan terus termenung sambil duduk bersila di teras rumah orang tuanya. Matanya menatap lurus ke depan. Walau kelihatannya seperti sedang menatap gerombolan santri yang tengah bermain-main di lapangan, sebenernya matanya itu sedang menatap kosong.Pikirannya tak henti-henti mengilas balik kejadian beberapa waktu lalu, saat ia memergoki istrinya tengah berbicara banyak dengan Kalandra. Ia sangat ingin tahu banyak apa yang sebenarnya mereka berdua bicarakan waktu itu."Aqlan!" panggil Kalandra tiba-tiba hingga membuat Aqlan tersentak.Perasaan laki-laki itu agak tak suka melihat kedatangan Kalandra padanya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain sejenak. Lalu, ia mengucap istighfar beberapa kali. Aqlan sadar, ia tidak boleh mengira yang tidak-tidak pada sahabatnya itu sebelum mengetahui yang sebenarnya."Kenapa? Kok, ngelamun aja? Lagi ada masalah, kah, sama ... istri lo?" tanya Kalandra dengan nada agak ragu di kalimat akhirnya.Aqlan berusaha menampilkan senyumnya pada Kala
"Jadi, kita udah ... pacaran?" tanya Tanisha dengan jari kelingking yang masih bertaut dengan jari kelingking Rezvan."Iya," balas laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis yang baru dipacarinya itu.Tanisha tersenyum simpul. Ada getaran aneh saat dekat dengan laki-laki yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu. Di saat ia baru memasuki dunia putih abu-abu, ia pun pertama kalinya mempunyai seseorang yang dipanggil "pacar".Gadis berseragam acak-acakan itu melepas tautan jarinya dengan Rezvan. Ia kemudian beralih memandang lurus ke depan dengan senyumnya yang tak luntur-luntur. Jantungnya pun sedari tadi berdetak tak karuan.Rezvan memandang sang pacar dari arah samping. Senyumnya pun tak meluntur saat menelisik ukiran indah Tuhan di wajah perempuan itu.Bukan hal yang mudah bagi Rezvan untuk mendapatkan Tanisha. Perempuan yang bisa dibilang baru mengenal yang namanya cinta itu cukup sulit untuk diluluhkan. Wajar saja, saat SMP dulu, Tanisha hanya menghabiskan waktu
Tak terasa, hubungan Rezvan dan Tanisha sudah berlangsung selama 4 bulan. Selama itu juga sifat posesif Rezvan selalu membuat gadis itu seolah tak bisa bernapas dengan bebas.Kekangan yang diberikan laki-laki itu terlalu berlebihan. Pergaulannya mulai dibatasi bahkan dengan teman-teman perempuannya. Waktu dengan keluarga pun semakin terkikis karena Tanisha harus selalu mengikuti apa yang diinginkan Rezvan.Tak jarang, Tanisha seringkali mendapat perlakuan keras dari laki-laki itu jika ia berani membantah atau menolak. Entah itu berupa fisik maupun batin. Fisiknya yang tersiksa, dan batinnya yang begitu tertekan. Sayang sekali, Tanisha tak pernah berani untuk mengadu pada siapa pun dengan alasan takut dan cinta.Apakah cinta harus sebuta ini bagi Tanisha? Mengapa cinta pertama gadis itu harus semenyakitkan ini?"Ikut gue!" Dengan paksa Rezvan menarik lengan Tanisha agar ikut dengannya. Ringisan pelan sesekali terdengar dari mulut gadis itu."Van, santai, dong! Ini sakit tau!"Tepat saa