Agra hanya menatap datar penampakan di hadapannya ini. Masih gadis yang sama, dengan ekspresi yang sama, dan kebisuan yang juga sama.
"Jadi, mau kamu sebenarnya apa? Saya bukan cenayang yang tahu isi kepala kamu."
Bukannya menjawab, gadis itu justru meremas roknya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Astagaaa .... "
Agra meraup wajahnya frustasi. Sebenarnya apa mau gadis ingusan ini di apartemennya? Dan sekarang, gadis ini malah akan menangis seolah Agra mengambil permen miliknya.
"Ok, biar saya tebak. Kamu patah hati? Baru putus cinta? Pacar kamu selingkuh? Atau cinta kamu ditolak?" Agra kembali membungkuk agar mereka setara. Maklum gadis ini tingginya hanya se-bahu Agra.
Agra tersenyum manis menanti jawaban. Menatap dua bola mata cantik, yang entah mengapa rasanya tidak asing bagi Agra. Gadis itu terlihat kikuk ditatap seintens itu oleh Agra, dan tanpa Agra sangka-sangka ternyata respon gadis itu di luar dugaannya.
"Permisi, saya mau masuk!" katanya sinis, mendorong bahu Agra mundur, lalu melenggang masuk begitu saja seolah ini adalah rumahnya sendiri.
Agra ternganga. Wow ... Gadis yang luar biasa aneh.
Gadis itu duduk manis di sofa Agra.
"Saya belum mempersilahkan kamu masuk." Seru Agra setelah sampai di dekat gadis itu. Bukannya menjawab, gadis itu justru menenggak habis air minum sisa Agra yang berada di atas meja.
Agra melotot melihat fenomena ajaib ini. "Itu minuman saya." Protes Agra. Enak saja gadis ini, masuk sembarangan, minum juga sembarangan. Apa dia pikir apartemen Agra adalah rest area?
"Saya haus." Jawabnya, tanpa perlu menoleh ke arah Agra yang berdiri di sampingnya.
"Ya ... Ya ... Ya ... Terserah kamu saja," Agra tidak ingin ambil pusing, dia duduk di sofa depan gadis itu. Terjeda oleh sofa panjang tempat ia tadi merebahkan diri. "jadi, apa kepentingan kamu sama saya?" Agra bersidekap.
"Saya mau nikah." Jawabnya tegas, melihat lurus ke arah Agra.
"Lalu?"
"Ya, saya mau nikah!"
"Iya, saya tahu kamu mau nikah. Maksud saya, kamu mau mengundang saya apa bagaimana? Kayaknya saya enggak kenal sama kamu." Agra menukik alisnya. Dalam hati, pria ini ngedumel sendirian "Anak zaman sekarang masih muda pikirannya nikah mulu, saya yang udah umur dua enam aja masih jomblo."
"Ck .... " Gadis itu berdecak sebal. "Saya, mau Abang nikahin saya."
"HAH?" Agra sampai tersedak liurnya sendiri, lelaki itu menepuk-nepuk dadanya dan terbatuk.
"Gimana-gimana?" Agra memastikan sekali lagi, siapa tahu memang kupingnya yang salah dengar.
"Abang budek? Engga tuli, kan?"
"Jadi benar yang saya danger? Kamu, mau saya nikahin kamu?" mata Agra melotot.
"Perlu, saya bawa toa buat ngomong di kuping Abang?"
"Ckckck .... Kamu anak gadis apa anak singa, sih? Galak banget. Tadi aja bisu, sekalinya bisa ngomong nyakitin hati." Protes Agra.
"Jadi bagaimana, Abang bisa menikahi saya?"
Agra memijit pelipisnya. Ini lelucon macam apa sebenarnya? Ada gadis aneh yang galaknya minta ampun, tiba-tiba datang minta nikah. Belum juga sempat dirinya tidur, kenapa sudah bermimpi absurd seperti ini?
"Bang!"
Agra tidak menjawab, ia justru pergi ke dapur dan kembali dengan dua gelas air putih. Agra mengulurkan satu gelas untuk gadis itu.
"Minum dulu."
Gadis itu menurut. Lalu menenggak satu gelas air itu sampai habis. Lagi dan lagi Agra dibuat geleng kepala. Agra kembali duduk di tempatnya.
"Nama kamu siapa?" tanya Agra dari balik gelasnya.
"Neira."
Agra mengangguk.
"Kamu tahu nama saya?"
"Enggak." Jawab Neira dengan polosnya.
"Lha ... Bagaimana, sih? Kamu tahu nama saya aja enggak, kok bisa minta saya nikahin kamu."
"Ya memang cuma Abang yang seharusnya menikahi saya."
Agra menaikan alisnya. "Alasanya?"
"Kan Abang yang hamilin saya."
Bagai kejatuhan bom atom di siang bolong. Agra langsung menyemburkan air yang sedang dia minum.
"Bhuuahahahahahahhaha ...." Agra tertawa lantang.
"Wah ... Ngaco. Becanda kamu enggak lucu."
"Saya enggak bercanda. Saya serius."
"Ckckk ... Udahlah, kamu pasti disuruh bunda atau ayah buat ngerjain saya, kan?"
Neira diam. Menatap lurus ke arah Agra tanpa tersenyum. Lalu mengeluarkan secarik amplop dari dalam tasnya, dan meletakkan di meja.
Agra terdiam. Bergantian menatap amplop itu dan Neira berulang kali. Sebelum akhirnya mengambil amplop itu dengan jantung yang sudah berdebar.
Selembar amplop dengan logo rumah sakit. Perlahan Agra membukanya, lalu tercekat saat membaca apa isi dari amplop tersebut, lengkap dengan alat tes kehamilan bergaris dua. Agra termenung beberapa saat.
"Ok. Saya percaya kamu hamil."
"Lalu?"
"Ya ... Selamat, sebentar lagi kamu akan jadi ibu, di usia yang masih sangat .... " Agra tidak melanjutkan ucapannya, hanya memberikan kode melalui jari telunjuk dan jempolnya sebagai ganti kata 'kecil'.
"Jadi, kapan kita menikah?"
"Saya enggak bilang kita akan menikah." Jawab Agra santai, ia meletakkan kembali amplop beserta isinya di atas meja. Lalu bersandar nyaman pada sofa empuknya.
Gadis itu kehilangan kata-kata. Wajahnya memerah menahan amarah, giginya bergemeretak. Jari-jari Neira mengepal hingga memutih.
"Saya enggak tahu kenapa kamu menuduh saya menghamili kamu, tapi saya tidak pernah merasa bertemu kamu, apalagi menghamili,"
Agra berdiri, kembali ke dapur untuk mengambil satu botol air mineral. Setelahnya, lelaki itu duduk kembali di sofanya, menuang perlahan air sembari diam-diam mengamati reaksi dari gadis itu.
"Saya memang bukan lelaki baik, tapi saya tidak pernah tidur dengan wanita random. Apalagi masih belia kayak kamu gini. Saya bukan pedofil. Lagi pula, apa buktinya jika saya ayahnya?"
Agra mengamati Neira yang mulai menunduk, terlihat jelas gadis itu sedang berusaha keras untuk tidak menangis. Napasnya naik turun dengan cepat, berulang kali gadis itu menghembuskan napas beratnya.
"Rumah kamu di mana?" pertanyaan Agra disambut kebisuan. Agra membuang napasnya kasar.
"Kamu masih sekolah? Orang tua kamu sudah tahu kamu hamil?"
Lagi, pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Hening menyelimuti keduanya. Agra, masih dengan sabar menunggu gadis itu bereaksi, paling tidak mengucap sepatah kata untuknya.
Detik berlalu, menit berganti. Tidak terasa tiga puluh menit sudah berlalu begitu saja. Agra menyerah, ia bangkit menuju kamarnya. Tak lama, pria itu kembali dengan selembar cek di tangan.
"Ini buat kamu," Agra meletakkan cek itu di atas meja, bersisihan dengan gelas Neira. "Nilainya memang tidak seberapa, tapi hanya itu yang bisa saya kasih ke kamu semoga bisa membantu. Bukan pernikahan, karena kamu enggak punya bukti apapun kalau saya pernah tidur sama kamu."
Dengan tangan yang masih bergetar Neira mengambil cek pemberian Agra. Mengamati nominal yang ada di sana. ____seratus juta____Air mata yang sedari tadi ia tahan, kali ini akhirnya jatuh juga.
"Kamu bisa gunakan itu buat apapun, terserah. Untuk gugurin kandungan? Untuk kabur dari orang tua? Atau untuk biaya saat dia lahir kelak."
Agra berjalan ke arah pintu, sebagai tanda halus pengusiran. Dan Neira sangat paham akan hal itu.
Dengan air mata yang berlinang, gadis itu menahan napasnya. Ia bangkit berdiri, berjalan ke arah pintu untuk keluar. Tapi, langkahnya terhenti sesaat tepat di depan Agra.
"Saya memang miskin, tapi saya bukan perempuan random. Saya mungkin tidak punya bukti saat ini, tapi saat anak ini nanti lahir, saya pastikan darah kamu yang mengalir di tubuhnya."
Gadis itu pergi begitu saja, meninggalkan Agra yang menatap kosong pada lembar cek seratus juga yang masih tergeletak di atas meja.
Entah, tapi Agra merasa ada yang salah pada hatinya. Apakah ada peristiwa yang dia lupakan?
_________________________________________FUNFACT : Dee berzodiak cancer lho. Yang cancer girl mari berpelukan :)Langit menguning, matahari sudah mulai mencumbu tanah. Neira menapaki jalanan taman dengan lesu. Bahunya merosot tajam seolah tak ada lagi semangat hidup.Di bangku besi kosong bawah pohon beringin, akhirnya ia mengistirahatkan diri. Tubuhnya letih, begitupun dengan hatinya. Ia tidak tahu lagi harus pergi ke mana? Apa yang harus ia lakukan esok? Jangankan memikirkan itu semua, malam ini dia bisa tidur di mana? Dia tidak tahu.Ia menerawang pada bangunan tinggi yang tak jauh dari tempatnya duduk, lebih tepatnya bangunan itu adalah apartemen yang baru saja ia tinggalkan. Ia menggeleng kepala perlahan, mengingat cek seratus juta di depan matanya yang sudah ia tolak mentah-mentah. Harusnya dalam kondisi seperti saat ini, cek itu adalah penyelamat bagi hidupnya. Tapi harga dirinya terasa tersakiti jika ia menerima seratus juta itu. Dia bukan pelacur yang setelah dipakai lalu dibayar dan urusan sel
"Pak, beneran engga bisa bantu? Sebentar saja, Pak." Mohon gadis itu kepada satpam di tempat resepsionis."Waduh, Mbak. Bukan tidak mau bantu, tapi ini lagi kosong engga ada orang. Resepsionisnya lagi keluar, makanya saya di sini, tugas saya kan jaga di dapan sana, Mbak."Neira menghembuskan napas kasar. Gadis itu cemberut keluar lobi apartemen. Bisa saja dia pergi begitu saja, berharap ada orang lain yang lewat dan menolong pria itu nantinya. Namun, hati baiknya tidak tega. Terpaksa, ia kembali lagi ke tempat pria itu tergeletak."Nyusahin aja sih." Gerutunya, mencoba memapah pria itu untuk berdiri."Hai, cantik." Sapa pria itu setelah berhasil berdiri, dia tersenyum manis, menoel hidung mancung Neira dengan mata yang masih sayu sulit terbuka. Sontak, Neira menjatuhkan kembali pria itu.
Pagi menyingsing, silau menerobos masuk ke sela-sela kaca jendela yang tak tertutup tirai.Mata lentik yang sedikit bengkak itu terbuka. Pemiliknya menggeliat dengan rasa ngilu yang teramat sangat di sekujur tubuh. Sedetik setelahnya, sadar akan apa yang telah terjadi.Tak ada tangis di mata indah itu, ia hanya menerawang kosong pada langit-langit kamar berwarna hitam galaksi. Rahangnya bergemeretak, marah yang memuncak itu justru membelenggunya dalam kebisuan.Jarinya meremas kuat kain seprai putih yang berada di bawah tubuhnya yang polos, tak terbalut apapun. Ia tidak sudi melihat darah perawannya yang berbekas di sana, ia juga tak sudi melihat pada sosok yang telah merenggutnya.Gadis itu bangkit dengan tubuh yang bergetar, lututnya lemas untuk berdiri. Ia menahan napas, menahan ledakan emosi yang menyumpal dadanya. Dengan sisa tenaga yang tidak seberapa, ia memunguti pakaiannya. Tanpa per
Pagi masih terlalu gelap. Namun, suara isak tangis itu sudah mendayu di kesunyian pemakaman. Ia tergugu di atas gundukan tanah merah yang masih basah.Neira, meraung seperti orang gila pada pusara. Ia mendekap erat nisan putih itu dengan perasaan hancur."Maaf ...,""Maaf ...,""Maaf ...."Hanya kata itu yang terus berulang dari bibirnya."Sudah, Nei. Sabar, ikhlas ..." Bude Sulastri mencoba menenangkan, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.Sulastri mencoba merengkuh Neira dalam pelukannya. Membelai lembut rambut lurus gadis yang tengah dirundung duka itu.
Satu suara salam memaksa tubuh lemahnya untuk bangkit dan menggapai pintu. Suara itu, milik seseorang yang dijadikan Neira sebagai alasan membatalkan aksi bunuh dirinya.Tergesa, gadis itu membuka pintu dan langsung menghambur dalam pelukan."Hai ... Kamu kenapa?"Gadis itu tidak menjawab, justru mempererat pelukannya pada pemuda yang berdiri kaku di depan pintu. Suara tangisnya teredam di dada itu.Agak ragu, pemuda itu melihat ke sekitar. Setelah memastikan tidak ada yang melihat mereka berdua, pemuda itu membalas pelukan Neira dan membelai kepala gadis itu agar tenang."Aku engga bisa hubungi kamu beberapa hari ini, jadi aku hubungi Dera._____teman sebangku Neira_____ Kata Dera, kamu udah engga sekolah empat hari. Makanya aku datang ke sini." Kata pemuda itu dengan lembut. Gadis
Hujan deras mengguyur Jakarta sejak subuh tadi. Hingga saat sore menjelang, hujan itu tak kunjung reda.Prayoga duduk gelisah di ruang keluarga, ada rasa tidak nyaman di hatinya. Pikirannya tertuju pada Neira, entah firasat buruk atau hanya khawatir karena pertengkaran mereka kemarin malam."Kamu kenapa?" tanya Amanda, ibunya. Wanita itu sedang menonton televisi di sebelah Yoga."Kenapa memangnya, Mah?""Gelisah begitu." Ucap Amanda cuek, sembari memasukkan keripik kentang ke mulutnya."Enggak, Yoga biasa aja." Elaknya, tapi yang terlihat justru sebaliknya. Jari tangan kirinya sedari tadi mengetuk acak gagang sofa, sedangkan tangan kanannya sibuk memutar-mutar handphone. Matanya memang mengarah ke televisi, tapi Amanda tahu persis bahwa pikiran anaknya sedang tidak di sini.
Tangan Yoga bergetar hebat saat mengangkat tubuh kekasihnya. Dia linglung,melihat wajah Neira yang sudah memucat seperti mayat, bibir gadis itu sudah membiru.Terseok Prayoga membopong Neira ke mobil, meletakkan gadis itu di kursi belakang bersama Sulastri."Saya ... Saya, tidak sanggup menyetir." Ucapnya terbata, matanya nanar melihat tangannya yang bergetar hebat. Berkali-kali ia mengusap air mata. Ini pertama kali dalam hidupnya melihat langsung korban bunuh diri, apalagi orang tersebut adalah orang yang ia cintai."Biar saya aja yang menyetir, Mas. Saya supir taksi kok." Ucap salah seorang lelaki yang merupakan tetangga Neira. Prayoga hanya mengangguk pasrah, bergegas duduk di kursi depan.Awalnya, mereka membawa Neira ke klinik terdekat, tapi karena kondisi Neira yang kritis membuat Prayoga harus membawanya ke rumah
Tidak semua orang bersenang hati menerima kebaikan orang lain. Entah karena ego, malu, tersinggung, gengsi dan berbagai macam alasan lain. Termasuk Neira yang enggan menerima bantuan Prayoga.Butuh tenaga ekstra bagi Amanda meyakinkan Neira untuk bersedia tinggal bersamanya. Ini salah satu bentuk tukar guling dirinya dan Prayoga. Dan untungnya, setelah diskusi yang alot, gadis itu menyetujuinya. Dan Amanda sangat bersyukur akan hal itu.Tak dapat dipungkiri. Amanda, selalu gagal membujuk Prayoga untuk melanjutkan kuliahnya di Inggris, kelak saat ia lulus. Yoga selalu beralasan tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian, tapi Amanda yakin bukan itu alasan sesungguhnya. Dan semua tebakan Amanda itu terjawab, saat malam tragedi bunuh diri Neira.Amanda masih sangat jelas mengingat peristiwa malam itu, saat Prayoga sendiri yang menawarkan diri untuk berangkat ke Inggri