"Iya ... saya tidur."
Devan menyeringai licik.
"Pintar! Cepat tidur, besok pagi temani saya bertemu klien."
Di balik wajah yang tertutup oleh tangannya, Cecil terlihat sedikit mengintip. "Nyuruh tidur, tapi diajak bicara. Gak jelas banget!"
"Tidur!" galak Devan sambil menenggelamkan wajah Cecil di dada bidangnya.
***
Hangat mentari mulai menyapa, menimbulkan deretan jingga yang menyilaukan mata. Cecil pun terbangun karena tak nyaman dengan silau sang surya yang menembus jendela kaca itu.
Cecil menggeliat dengan mata yang sayup-sayup mulai terbuka. Entah mengapa, tidur kali ini terasa begitu nyenyak. Cecil merasa bagai tertidur di atas sutra, hangat dan nyaman.
Saat ingin beranjak, Cecil menyadari sesuatu berat menindih perutnya. Kakinya pun terasa sulit digerakkan.
"Ada yang aneh?" ujarnya pada diri sendiri.
Cecil mulai merambah bagian perutnya yang terasa janggal. "Ada tangan?"
Gadis itu mengernyit bingung, lalu detik berikutnya ia berteriak kecang. "Aaaahhh!!!"
Suara menggelegar milik Cecil membuat Devan terbangun. Kepalanya berdenyut sakit lantaran dikagetkan oleh teriakan gadis itu.
Detik berikutnya, Devan membalik tubuh Cecil hingga wajah mereka saling berhadapan.
"Astaga! Cecilia!" Dengan suara berat, laki-laki itu memijat pelipisnya sambil sesekali menatap sekretarisnya dengan garang.
Cecil pun langsung bangun dan menarik tubuhnya dari pelukan Devan. Ia duduk di tepi ranjang dengan ekspresi yang masih ketakutan. "Bapak ngapain peluk-peluk saya? Pak Devan gak macam-macam, kan?"
Cecil terlihat sangat paranoid. Ia takut jika harta berharganya sudah di renggut. Kalau itu memang benar terjadi, pastinya gadis itu akan sangat kecewa dengan diri sendiri karena tidak bisa menjaga dengan baik hartanya yang paling berharga.
Devan tertawa melihat ekspresi Cecil yang menurutnya sangat lucu. Ia pun berniat menjahili perempuan itu. "Hahaha ... kamu tidak ingat dengan kejadian semalam? Bahkan kamu sendiri yang meminta berkali-kali."
"Apa?!" Cecil membelalak tak percaya. Kepalanya sekarang terasa berdenyut. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Otaknya tidak bisa bekerja, jika sudah panik seperti ini, gadis itu tidak bisa berpikir positif.
"Kenapa? Mau lagi?" goda Devan sambil memainkan resleting celananya membuat bulu kuduk Cecil merinding. Tidak akan lagi ia mengulangi kesalahannya yang menjijikkan itu.
"Ap -- apa semalam saya mabuk?" tanya Cecil dengan mulut bergetar. Ia masih belum bisa menerima ini semua.
Devan menggidikkan bahunya. "Menurut kamu?"
Dengan mata menatap langit-langit, Cecil berusaha mengingat kejadian semalam. Benarkah ia semurah itu hingga dengan mudahnya terjerat bujuk rayu Devan?
Setelah berusaha mengingat, Cecil menggeleng pelan. "Gak, gak, Pak Devan pasti bohong! Seingat saya, semalam Bapak minta saya jadi guling, terus Pak Devan maksa saya buat tidur, setelahnya ... saya nggak ingat lagi. Huaaa!!!"
Cecil mulai merengek dengan linangan air mata. Wajahnya pun tampak kecewa. Ia tidak sanggup lagi membayangkan masa depannya nanti.
"Sebejat itukah saya di mata kamu?" ujar Devan dingin. Lelaki itu menatap datar perempuan yang masih terisak ditempatnya.
Cecil sendiri seketika tercengang. Matanya memicing menatap Devan salah tingkah. Ia jadi merasa tidak enak karena sudah menuduh bosnya sembarangan."J--jadi Bapak bohongin saya? Pak Devan gak macam-macam, kan?"
Ekspresi Devan menjadi kaku. Air wajahnya pun mendadak keruh dan masam. Laki-laki itu menatap tajam pada Cecil yang masih termangu menunggu jawaban darinya. "Memang, kamu mikirnya apa? Ngarep banget saya apa-apain!"
Cecil membulatkan matanya. Gadis itu tidak terima jika dituding ingin diapa-apakan bosnya. "Ya, wajarlah kalau saya mikir yang aneh-aneh! Orang Pak Devan tidur sambil peluk-peluk saya. 'kan saya jadi takut Bapak macam-macam. Saya ini masih gadis, kalau ada apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab? Hidup saya pasti hancur!"
Sambil beranjak dari duduknya, cecil mulai berdiri tanpa berniat melangkah sedikit pun.
"Ssttt ... Kamu diam! Lagian, siapa juga yang mau sama perempuan bar-bar seperti kamu? Kalau saya berniat seperti itu, mending saya sewa perempuan yang lebih cantik dari kamu, paham?!"
Mata Cecil menutup sempurna. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Seperti mati kutu, Cecil hanya bisa berdiri mematung di tempatnya.
"Hufttt! Saya sumpahin Bapak bucin sama saya! Biar tahu seperti apa rasanya mengemis cinta perempuan bar-bar ini."
Dengan perasaan kesal, gadis itu berlalu ke kamar mandi dan meninggalkan Devan untuk bersiap-siap ke kantor.
Devan termangu di tempat. Laki-laki itu menatap kepergian sang gadis bar-bar dengan langkah kakinya yang mulai menjauh dan perlahan menghilang di balik pintu.
Tok ... tok ...
Tiba-tiba saja terdengar bunyi ketukan pintu. Devan pun beranjak dari tempatnya lalu menyambut hangat seseorang yang baru saja memasuki ruangan.
Devan tersenyum ramah dengan laki-laki berjas rapi yang sudah sangat dikenalnya. Lelaki itu menatap Devan yang terlihat berantakan. Bahkan, masih ada sisa belek yang belum sempat dibersihkan.
"Pak Devan baru bangun?" tanyanya tanpa rasa sungkan.
"Eh, enggak kok, saya sudah bangun sejak tadi. Sekalian nunggu kamu antar barang-barang yang saya pesan kemarin." dusta Devan. Ia tidak mau reputasinya hancur karena dicap pemalas.
"Itu, beleknya masih nempel, Pak. Gak mau dibersihkan dulu?" ledek sang asisten membuat Devan tak berkutik. Asisten sekaligus teman masa kecilnya ini memang paling suka menjatuhkan harga dirinya.
Devan pun meninju pelan laki-laki itu. "Sudahlah Zak, jangan sampai sepatuku ini melayang di wajahmu. Jangan panggil Bapak di luar kantor!"
Laki-laki yang diketahui bernama Zaki itu terbahak-bahak. Sangat mudah sekali memancing emosi Devan. "Ayolah, kawan. Masih pagi sudah emosi saja. Ini barang yang kamu pesan semalam."
Zaki menyerahkan dua buah kantong belanjaan yang masing-masing berisi baju Devan dan juga sepatu high heels untuk Cecil dengan ukuran yang pas di kakinya.
"Heelsnya nggak lupa, kan?" Devan bertanya, memastikan.
"Sudah kubelikan. Itu yang limited edition dan yang paling mahal di tokonya. Jadi, pastinya sangat nyaman dan gak bakalan bikin lecet.
"Memang cuman kamu teman sekaligus asisten yang paling bisa diandalkan." Devan memberikan pujiannya. Tak lupa, ia mengajak Zaki untuk duduk di atas sofa.
"Emmm ... ngomong-ngomong itu siapa yang sakit? Perasaan, bukan keluargamu?" tunjuk Zaki dengan jarinya. Alisnya sedikit bertaut lantaran bingung melihat Devan yang sampai rela tidur di rumah sakit, hanya untuk menjaga perempuan paruh baya itu.
Devan mengarahkan pandangannya pada seseorang yang Zaki tunjuk. Di sana, terlihat wanita paruh baya tengah berbaring dengan oksigen dan beberapa alat penunjang kehidupan. "Dia ... ibu dari sekertaris yang mau kujadikan istri bayaran."
"What?!" Zaki tercengang hebat, suaranya yang nyaring sampai terdengar dari arah kamar mandi.
"Ada orang ya?!" tanya Cecil dengan suara tak kalah nyaring. Ia merasa terganggu dengan suara yang menyita perhatiannya.
"Teman saya!" jawab Devan dengan teriakan. Cecil pun tidak ingin mengetahui lebih lanjut dan mengabaikan suara berisik dari luar.
Zaki menatap Devan tajam. Matanya menelisik ke dalam manik hitam kecoklatan itu, siapa tahu, di sana ia bisa menemukan kebohongan dari sang pemilik perusahaan. "Kamu serius, mau jadiin dia istri bayaran? Perempuan itu, sekretaris bar-bar yang sering kamu ceritain itu, 'kan? Yang sering bikin ulah dan berani ngebantah?"
Devan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia meringis kecut dengan wajah pasrahnya. "Ya, mau gimana lagi? Dia butuh biaya buat ibunya yang mau operasi dan aku juga butuh istri bayaran. Ya sudah, sama-sama menguntungkan."
Zaki menghembuskan napasnya. Apa jadinya pernikahan itu nanti? "Kenapa gak beli perempuan sewaan yang lebih cantik dan penurut dari dia? Kenapa harus perempuan itu?"
"Karena cuman dia yang tidak tertarik dengan pesona dan uangku," jawab Devan tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Kalau gak ngincar uangmu, dia gak akan mau jadi istri bayaran! Punya bos otaknya kebalik ya begini!"
Devan hampir melayangkan tinjunya, tapi ia berhasil menahan tangan kekar itu. "Punya mulut dijaga! Enak aja bilang otak kebalik. Otakmu itu yang kebalik! Aku yakin, dia gadis yang berbeda. Gadis itu terpaksa menjadi istri bayaran hanya untuk menyelamatkan nyawa ibunya, bukan untuk bersenang-senang. Jadi aman lah. Cukup menguntungkan, karena dia gak akan tertarik dengan pesona maupun hartaku."
Zaki terkekeh meremehkan. "Seperinya, dia anak yang berbakti. Tapi beda cerita kalau kamu yang tertarik sama gadis itu."
Bola mata diputar ke atas. Devan lalu menatap Zaki dengan sorotannya yang tajam. "Mana mungkin aku tertarik sama gadis bar-bar kayak gitu? Mending bayar perempuan yang lebih menarik!"
Mata Zaki seperti tak percaya. Ia pun membuang muka ke arah lain. "Yakin? Kita lihat saja nanti!"
Tanpa menggubris ucapan Zaki, Devan menatap Cecil yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia terlihat lebih segar dengan balutan tank top hitam yang dipadukan dengan blazer berwana abu dan juga celana panjang berwana senada. Tapi sayangnya, kaki jenjangnya harus menyeker lantaran tidak ada alas kaki untuk ia kenakan.
"Sudah selesai?" tanya Devan sambil memperhatikan penampilan Cecil dari atas sampai bawah. Cukup menarik!
Cecil membalas dengan sekali anggukan. Ia kemudian beralih menatap laki-laki yang tengah duduk di sebelah Devan. Seketika dirinya termangu dengan alis bertaut.
Gadis itu tampak berpikir, ia merasa jika wajah itu tidak asing menurutnya. Di manakah dirinya bertemu sosok itu?
"Kamu kenapa?" lamunan gadis itu buyar seketika. Sapaan Devan membuatnya tersadar dari lamunan.
"Eng--gak papa," ujarnya tergagap.
"Dia asisten saya. Namanya Zaki."
Cecil menyeret langkahnya, mendekat lalu ikut bergabung di sana. Setelahnya, gadis itu mengulurkan tangan pada Zaki dan berniat memperkenalkan diri. "Cecil."
Seulas senyum terlontar dari bibir Zaki. Laki-laki itu menyambut uluran tangan Cecil dengan hangat. "Zaki."
Cecil pun duduk disebelah Devan, lalu menyuruh laki-laki itu agar segera bersiap. "Sana siap-siap."
Devan menatap Cecil dengan ekspresi datar. Sikap gadis itu langsung berubah. Ketika berbicara dengannya, sikapnya dingin dan jutek, berbeda dengan sikapnya pada Zaki tadi.
"Pakai ini!" Sambil menyerahkan satu bingkisan yang ada di sebelahnya, Devan memperhatikan kaki Cecil yang tidak beralas.
"Apa ini?" tanya gadis bar-bar itu dengan kerutan di dahinya.
"Itu sepatu buat kamu. Masa sekretaris dari seorang Devano Nicolas ke kantor nyeker? Cih! Memalukan."
Seketika wajah Cecil berubah masam. Gadis itu mencebikkan bibir tipisnya lalu memukul lengan Devan penuh kekuatan. "Resek banget sih!"
"Cepetan ambil! Saya siap-siap dulu." Devan pun berdiri sambil menyerahkan bingkisan itu pada Cecil, ia pun kemudian berlalu meninggalkan Zaki dan Cecil dalam kecanggungan.
Suasana seketika hening.
"Ekhem ... kamu sudah lama kerja sama Devan?" tanya Zaki memecah keheningan. Ia berusaha untuk akrab dengan gadis yang ada di hadapannya. Menurutnya, Cecil tidak seburuk yang Devan bicarakan selama ini. Gadis itu cukup hangat dan nyaman.
"3 bulan, Pak. Belum terlalu lama," jawab Cecil dengan senyum yang sesekali terlontar manis.
"Panggil Zaki saja, usia kita tidak terlalu jauh."
Cecil mengangguk, ia menghargai laki-laki yang diakui Devan sebagai asistennya itu. "Baik Pa-- eh, Zaki."
Zaki terkekeh melihat tingkah lucu Cecil. "Santai saja. Anggap saja teman sendiri."
Cecil tersenyum kikuk, ia mencoba untuk bersikap biasa. "Emmm ... kamu sendiri sudah lama bekerja dengan Pak Devan?" tanya Cecil untuk mengusir rasa canggungnya.
"Devan itu teman saya dari kecil. Anaknya baik, cuman sedikit angkuh dan suka menang sendiri. Kadang juga ceroboh, meski sebenarnya perfeksionis."
Cecil hampir muntah saat Zaki melontarkan pujian-pujian untuk Devan. "Nggak salah nih? Bos nyebelin kayak gitu dibilang baik? Udah nyebelin, suka ngatur, egois, pokonya banyak minusnya lah! Lambe turah kayak gitu kok dibilang baik! Bisanya cuman ngoceh mulu!"
"Ekhem! Bagus ya? Asisten dan sekretaris kompak gosipin saya di belakang. Lanjutkan bakat kalian!" Entah sejak kapan, Devan tiba-tiba muncul di hadapan mereka
"Pa--Pak Devan?" ujar Cecil gelagapan.
Komennya mana? Biar semangat!
"P-- Pak Devan kok balik lagi?" Cecil bersua dengan langgam yang memelan. Ia tampak grogi melihat Devan berdiri mematung di depannya. Bukan apa-apa, gadis itu hanya tidak enak karena sudah membicarakan bosnya di belakang. "Kalau saya tidak di sini, mungkin saya tidak akan tahu jika sekretaris saya suka gosipin bosnya di belakang. Bagus ya, kamu? Apa saya bayar kamu cuman untuk membicarakan saya di belakang?" Sambil mengambil barangnya yang tertinggal, Devan melirik sinis pada Cecil. Gadis itu terlihat tengah merunduk dalam. Ia merasa tidak enak hati, karena sudah kepergok. "Emmm ... saya minta maaf, Pak," Ragu-ragu, Cecil mulai mengangkat kepalanya, menatap mata Devan yang masih penuh kilatan amarah. Melihat mata teduh milik Cecil entah kenapa hati Devan menjadi tentram. Ia seperti disiram bongkahan es batu yang terasa sangat dingin. "Saya cuman mau ambil baju yang Zaki bawakan. Kamu ... jangan ulangi lagi! Awas saja kalau sekali lagi saya dengar kamu mengatai saya di belakang!" Na
Sesampainya di kantor, Cecil bergegas mengikuti langkah Devan yang berjalan menuju ruang direktur. Gadis itu tampak kewalahan menyeimbangkan langkahnya dan Devan yang cukup panjang. "Pelan-pelan, bisa tidak? Saya capek ngikutin Bapak!" gerutu Cecil dengan napas tersengal. Ia pun berhenti sebentar, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Sementara Devan hanya menatapnya tanpa rasa kasihan dan tetap melanjutkan jalannya. Saat masuk ke dalam lift, sorotan mata rekan kerjanya, semua tertuju pada Cecil. Ia pun merasa kikuk diperhatikan seperti itu. "Pak, saya naik lift sebelah saja ya? Nggak enak, dilihatin yang lainnya," nyali Cecil menciut. Ia tidak ingin mendengar gosip miring tentang dirinya setelah ini. Pasalnya, lift yang dinaikinya adalah lift yang khusus dirancang untuk direkrut. Siapapun tidak ada yang boleh menikmati fasilitas kantor itu selain direktur dan tamu penting. "Ngapain? Buang-buang waktu saya! Sudah, hiraukan saja." Devan mengedarkan pandangannya Karen lift tak kunjung
Mendengar kata anak, Cecil membulatkan matanya. "Ini gak adil!Saya keberatan! Saya gak mau! Enak saja, itu namanya merugikan saya!" protes Cecil tak terima."Merugikan apanya? Orang tinggal kasih. Bikin anak mudah kok." Cecil semakin geram dibuatnya. Bagaimana mungkin, laki-laki itu berujar kalau syarat yang ia kasih dibilang mudah? Sementara ia harus mengorbankan semuanya demi pernikahan itu?"Ya rugi di saya! Pokoknya saya gak mau jadi janda anak satu. Apalagi di usia muda. Hiii, mengerikan." Cecil bergidik, membayangkan apa yang akan menimpanya di masa depan. Laki-laki mana yang akan menerimanya nanti?"Oke. Berhubung kamu tidak mau menuruti syarat dari saya, saya berhak mencabut deposit biaya rumah sakit Ibu Nira. Itu kan yang kamu mau?"Cecil semakin tercengang dibuatnya. Mulutnya tertahan, tak bisa berkata. Tenggorokannya serasa kering tak bertenaga. Kakinya pun terasa lemas hingga menjalar ke sekujur tubuh."J--jangan! Saya butuh uang Bapak. Saya gak mau pengobatan ibu dihent
Cecil tampak gugup ketika dipertemukan dengan keluarga Devan. Gadis itu meremas pelan ujung roknya, dengan netra bergerak gelisah, seperti mengisyaratkan jika dirinya membutuhkan bantuan.Devan yang menyadari kegelisahan Cecil, ia pun berusaha membuat gadis itu tenang. "Jangan gugup, bersikap sopan," bisiknya diselingi rangkulan manja di pinggang ramping milik Cecil.Hanya anggukan pelan yang mampu Cecil berikan. Ia pun tersenyum kikuk di hadapan mama dan papa Devan.Devan menarik kursi, agar Cecil bisa bergabung di meja makan. Namun sebelum itu, ia memperkenalkan Cecil terlebih dahulu."Ma, Pa, kenalin, ini Cecil, calon istri Devan."Mama Devan tampak antusias dengan kedatangan Cecil di rumahnya. "Saya Utari, mamanya Devan dan ini suami saya, namanya Nicolas."Dengan sopan Cecil meraih tangan Nicolas dan Utari. "Saya Cecilia Hutama, Om, Tante.""Hutama?" Nicolas seperti tidak asing dengan nama itu.Cecil mengangguk, perasaannya tidak enak. Apa ada yang salah dengan nama itu?"Nama or
Mata indahnya bergerak gelisah. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. Masalahnya, seminggu bukanlah waktu yang lama untuk melangsungkan pernikahan kontraknya.Cecil menatap nyalang. Devan tahu jika calon istrinya itu ingin protes, tapi semua sudah terlambat. Tidak ada lagi penundaan, semua akan berlangsung minggu depan.Untuk mengusir kecanggungan ini, Devan sengaja mengajak gadis itu pulang. Dengan dalih ingin kembali ke kantor, anak tunggal dari keluarga Nicolas pun pamit."Ma, Pa, Devan harus antar Cecil kembali ke kantor. Sebentar lagi kita ada meeting penting."Devan mengedipkan matanya. Da memberi isyarat agar Cecil mau membantunya kerja sama.Cecil yang paham dengan kode Devan, Dia pun berpura-pura melihat jam yang Dia kenakan. "Oh, sudah jam 1, Ma, Pa, Cecil dan Mas Devan harus kembali ke kantor. Ada meeting dengan klien luar negeri. Lain kali Cecil masakin makanan enak.""Ya sudah, balik gih! Nanti telat,"sahut Utari.Cecil pun berdiri, merangkul Utari dengan sayang, "Ce
Devan menatap pria itu nyalang. Mengisyaratkan untuk tidak main-main dengannya. Atau ia tidak akan segan-segan untuk mematahkan leher pria itu saat ini juga. Pria tak dikenal itu langsung melenggang pergi tanpa pamit. Lantas, Devan berbalik dan mendapati Cecil tengah was-was."Dari mana saja? Kamu yang ajak aku ke sini, kenapa malah ditinggal sendirian? Hampir saja aku dijamah lelaki biadab itu! Dasar egois!" Untung riuh para tamu undangan mendominasi. Suara cempreng milik Cecil tentu saja akan teredam oleh sahutan suara lautan manusia."Yang penting masih utuh. Lagian, aku datang tepat waktu. Ayo, ikut!" Tanpa ingin membalas kemarahan Cecil, Devan menarik tangan Cecil untuk mendekat ke arah pengantin.Diketahui, pengantin itu bernama Alana, sekaligus matan kekasih Devan. Alana terlihat sangat cantik dengan baju pengantin berwarna putih tulang dipadu dengan make up yang membuat wanita itu amatlah menawan malam ini. Tentu saja malam pernikahan yang mewah."Selamat menempuh hidup baru,
Malam kini semakin larut. Entah kenapa, perasaan Cecil mendadak tidak tenang. Seperti ada dorongan keras yang menuntunnya untuk pergi ke rumah sakit, Cecil pun menuruti kata hatinya. Dengan gelisah, Cecil meminta agar Devan segera mengantarnya ke rumah sakit."Mas Devan," panggil Cecil lirih.Devan yang fokus menyetir, sekilas menoleh pada gadis itu. Atensinya beralih, kala melihat perubahan raut di wajah Cecil."Ada apa?" tanyanya dingin.Tanpa beralih pandangan, Cecil berujar, "Malam ini aku mau ke rumah sakit, saja. Tolong antar ke sana."Devan mengangkat bahunya, ia terlihat acuh tak acuh. "Terserah kamu saja."Dalam perjalanan, tiba-tiba seekor kucing berwarna hitam legam disertai warna mata yang menyala melintas begitu saja. Cecil berteriak kala mobil Devan hampir menabraknya."Awas!!!" teriak Cecil panik.Refleks, kaki Devan bergerak menginjak rem. Suara decitan mobil sampai terdengar cukup keras.Cecil memegang jantungnya yang bertalu, ia bernapas lega saat kucing berhasil lew
Cecil memandang Devan dengan tatapan kosongnya. Gadis itu merasa, tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi dalam hidupnya. Ia merasa sangat percuma menerima kontrak nikah itu, sebab jantungnya sudah berhenti berdetak setelah kepergian ibunya. "Mas, gak ada yang perlu dilanjutkan lagi. Gak ada yang bisa kamu harapkan lagi dari aku. Cecil yang kamu kenal udah mati! Sekarang, anggap saja jika yang ada di hadapanmu saat ini hanyalah raga yang kehilangan jiwanya."Setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Cecil kembali terisak kala mengingat nasibnya yang hanya sebatang kara."Kamu bicara apa?! Omongan kamu ngelantur! Sudah, kamu istirahat dulu sana, biar ucapanmu gak ngelantur! Pokoknya, gak ada satu pun orang yang berhak batalin pernikahan ini, termasuk kamu!" Devan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah murung milik Cecil. Laki-laki itu terlihat sangat marah, lalu melenggang pergi begitu saja. Devan tidak ingin emosinya membuat Cecil semakin kacau.Entahlah, Cecil sendiri tidak