Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Kebaya merah melekat ke kulit langsat yang bersih. Lampu temaram yang sudah meredup membuat drama semakin seru, dada naik turun Ratih membuatnya Prapto tahu kalau gadis kecil itu sangat gugup. “Kamu ...” ucapannya terus menggantung karena sorot mata tak kunjung lega.“Ingat, Mas Prapto. Setelah kamu memiliki anak dariku, maka lepaskanlah aku.” Ucapan itu sangat menyakitkan untuk Ratih, tapi dia juga tak ingin terus mendekam dalam sangkar emas ini.“Aku tidak akan membiarkan perceraian hadir dalam hidupku.” tolak Prapto tegas.“Aku di sini hanya untuk membayar hutangku, tidak lebih, tak ada perasaan apa pun, berbeda dengan ke tiga istrimu, Iis yang kau ajak bercanda di taman tadi—““Apa kamu cemburu?” tukas Prapto.Ratih menahan amarahnya, tombak ucapan Prapto menancap tepat di dadanya.“Meski semua kata sengaja kamu katakan untuk menggagalkan malam ini, aku akan tetap melakukan apa yang seharusnya, Ratih.” Prapto membuka kancing surjan yang dia kenakan, “Kalau kamu memang menganggap s
Sudah terlalu siang. Semua orang di rumah besar sarapan terlambat hari ini karena Prapto ke luar tak tepat waktu. “Sumi belum pulang?” tanya Prapto di sela makan.“Belum, Kakang.” jawab Iis, “Semalam hujan di daerah sana, bukankah rumah yatim itu tempatnya hampir sama dengan tempat bazar? Aku yakin mbak Sumi terjebak hujan. Kalau sudah begitu mungkin nanti malam baru sampai.” imbuhnya lagi.“Maaf, Mas. Aku ke belakang dulu.” Ratih baru saja selesai makan, dia segera berpamit dan pergi setelah Prapto mengangguk.Fitri mengerutkan kening, “Bukankah selama ini Kakang tidak pernah suka saat melihat kami pergi lebih dulu sebelum Kakang selesai makan? Kenapa dengan Ratih tidak? Bocah ingusan itu melanggar adat di rumah ini.” ketusnya.Prapto terkekeh, “Habiskan saja makananmu, aku akan berangkat ke pasar sekarang.” Prapto mengusap bibirnya dengan sapu tangan, bersiap untuk berdiri dan pergi.Iis malah tertawa meski menutupi bibirnya dengan sebelah tangan, “Itu karena Kakang Prapto baru saja
“Ah ....” Prapto menyimpan botol jamunya lagi.“Tumben minum jamu? Katamu tidak suka minuman seperti itu? Lebih suka kelapa muda?” tanya teman blantik Prapto.Prapto terkekeh, “Dibuatkan istriku.”“O ...anak tukang jamu dari kampungku?” tanyanya.Prapto mengerutkan kening, “Aku sampai lupa kalau kamu dari sana,” terkekeh, “aku juga tidak menyangka kalau akan menikahi gadis dari sana, semua sudah diatur mungkin.” Tertawa setelah mengatakan itu.Teman Prapto malah mencebikkan bibir, “Kau menikahinya sampai membuat bapaknya semakin merana.”“Maksudmu?” tanya Prapto bingung.“Bapak istrimu itu, sehari setelah kamu membawa putrinya, ibunya datang ke rumahku, minta tolong agar diantar ke kota karena suaminya kejang-kejang, untung saja tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.” tuturnya.“Kenapa aku tidak mendengarnya? Bisa saja kan ibunya Ratih datang dan memberi kabar itu?” Prapto jadi merasa tidak enak.Teman Prapto terkekeh, “Bukankah kamu sudah membeli putri mereka? Mereka tidak berani m
‘Bukankah kita menikah karena kamu yang memintaku ke romoku dulu? Katamu kamu mencintaiku bagaimana pun keadaanku, dengan atau tanpa anak, kita sempat membahasnya dulu, kenapa setelah ada Ratih kamu seolah melupakanku?’Prapto menghela napas, ucapan Sumi masih terngiang hingga sekarang, padahal dia baru saja selesai mandi. Segera menyemprotkan minyak wangi ke surjan biru yang dikenakan, dan ke luar dari kamarnya, saat ini sudah waktunya makan siang. Ruang makan sudah lengkap, Prapto ke tempat biasa dan memberikan piringnya ke Sumi, segera menoleh ke Iis dan Ratih yang bersebelahan. “Aku akan pergi setelah ini, apa Fitri sudah berangkat?” tanyanya.“Baru saja, katanya ingin segera bertemu dengan biyungnya, ada apa, Kakang?” sahut Iis.Prapto tersenyum sambil menggeleng, menerima makanan dari Sumi, dan mulai melahapnya. Ruang makan kembali sepi, hanya denting sendok yang beradu dengan garpu, dan Prapto berdehem untuk memecah kecanggungan. “Aku sudah selesai, aku akan ke teras samping ru