Byur!
Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember.
"Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot.
Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang.
Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman.
"Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al."
Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!"
Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?"
"Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya terasa lebih segar.
"Kamu lagi berantem sama Angela?"
Alvaro menggeleng. Dia tidak ingin Mama tahu kalau Angela pulang ke rumah orang tuanya.
Mama menghela napas panjang. Dia tahu kalau Alvaro sedang berbohong. Instingnya mengatakan Alvaro pasti sedang bertengkar dengan Angela. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, Alvaro pergi ke kelab malam nyaris sampai pagi karena bertengkar hebat dengan sang istri.
"Selesai mandi cepat turun ke bawah karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan," ucap Mama sebelum pergi meninggalkan kamar Alvaro.
"Hmm ...." Alvaro hanya bergumam untuk menanggapi ucapan mamanya lalu menyalakan keran. Dia membiarkan air dingin itu jatuh membasahi tubuhnya. Seolah-olah air itu mampu melarutkan semua kegundahan yang tengah dia rasakan.
Alvaro benar-benar bingung karena Mama hanya memberi waktu satu tahun untuk memberi cucu. Namun, Angela tidak mau hamil karena karir modelnya sedang berada di atas puncak. Jika dia tidak bisa memberi cucu, Mama akan menyerahkan Dinata Group pada sang paman. Dia tidak akan membiarkan perusahaan yang dirintis susah payah oleh sang ayah jatuh ke tangan orang yang salah karena pamannya itu gila uang dan kekuasaan.
Alvaro tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Perusahaan Dinata harus ada di bawah tangannya. Namun, bagaimana mungkin dia memberi Mama cucu kalau Angela tidak mau hamil. Haruskah dia menuruti keinginan sang istri untuk menikah lagi demi memberi Mama cucu?
Alvaro mengusap wajah kasar. Sedikit pun dia tidak pernah membayangkan akan tidur dengan perempun lagi selain Angela. Apa lagi sampai menikah lagi dan mempunyai dua istri.
Ah, semua ini benar-benar membuatnya frustrasi.
Bibir Alvaro terlihat membiru. Tubuhnya mulai menggigil dan giginya terdengar bergemelatuk. Alvaro pun cepat-cepat mematikan keran lalu keluar dari kamar mandi jika tidak ingin mati konyol karena kedinginan.
***
Alvaro menuruni tangga sambil memasang kancing di lengan kemejanya. Aroma laut berpadu kayu manis menguar jelas dari tubuhnya. Alvaro terlihat jauh lebih segar setelah mandi. Dia segera beranjak ke ruang makan karena Mama sudah menunggu di sana. Di atas meja makan sudah tersedia banyak sekali makanan. Semangkuk sop daging campur tahu, sepiring omelete, dan segelas smooties pisang.
Alvaro memilih omlete dan smooties pisang karena makanan itu bisa menghilangkan pengar setelah mabuk.
Mama geleng-geleng kepala melihat Alvaro yang makan begitu lahap. Putranya itu seperti tidak pernah makan berhari-hari. Alvaro sangat merindukan masakan rumahan karena setiap hari yang dia makan hanya makanan siap saji atau pesan antar. Maklum saja karena Angela tidak bisa memasak.
"Pelan-pelan kalau makan, Al."
"Hmm ...." Alvaro hanya mengangguk karena mulutnya sibuk mengunyah makanan.
Mama menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya karena sudah selesai sarapan. Tidak lama kemudian Alvaro ikut meletakkan sendoknya karena sepiring omlete yang dia santap sudah berpindah ke perutnya.
"Mama mau ngomong apa?" tanya Alvaro sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.
"Apa sudah ada kemajuan?" Alih-alih menjawab, Mama malah balik bertanya pada Alvaro.
Alis Alvaro terangkat sebelah. "Maksud, Mama?"
Mama menyatukan kedua tangannya di atas meja. Kedua matanya menatap Alvaro lekat. "Waktumu tinggal sebelas bulan lagi, Alvaro. Apa Angela sudah hamil?"
Alvaro terdiam. Angela sengaja memasang alat pencegah kehamilan sebelum menikah. Istrinya tidak akan bisa hamil meskipun dia sudah mengeluarkan spermanya di dalam rahim wanita itu.
"Kenapa kamu diam saja, Alvaro? Apa Angela belum hamil?"
"Belum." Alvaro menghindari tatapan Mama. Membuat Angela hamil sebenarnya bukan hal yang sulit. Hanya saja wanita itu tidak mau mengandung anaknya.
Mama menyandarkan punggung ke kursi lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ingat, waktu kamu cuma satu tahun. Kalau kamu belum bisa memberi Mama cucu, Mama akan berikan Dinata Group ke pamanmu," tandas Mama terdengar serius.
***
"Kok, berhenti di sini, Neng?"
Cara pun cepat-cepat turun dari atas motor. "Saya mau belanja sayur dulu, Pak. Terima kasih sudah mengantar saya pulang. Ini ongkosnya." Dia memberikan satu lembar uang lima puluh ribuan ke tukang ojek tersebut.
"Wah, besar banget uangnya. Saya belum ada kembalian, Neng."
"Kembaliannya buat Bapak saja."
Kedua mata lelaki paruh baya itu sontak berbinar. "Serius, Neng?"
"Iya, Pak."
"Terima kasih banyak ya, Neng."
Cara mengangguk, lalu segera belanja di pedagang sayur keliling yang biasanya lewat di depan rumahnya. Gadis itu belanja sedikit banyak pagi ini. Dia membeli ayam, telur, tahu, dan beberapa sayuran hijau karena ingin membuat makanan spesial untuk Ibu. Lagi pula hari dia mendapat sedikit rezeki.
"Totalnya berapa, Pak?"
"Tujuh puluh lima ribu, Neng."
Cara mengangguk lalu memberi pedagang sayur tersebut satu lembar uang seratus ribuan.
"Duit dari mana tuh, pasti hasil jual diri."
"Atau mungkin nemenin om-om."
Jantung Cara mencelus. Kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya. Setiap hari para tetangga selalu saja berkata tidak benar tentang dirinya. Padahal dia tidak pernah menjual diri walaupun bekerja di kelab malam.
Namun, para tetangga selalu saja menuduhnya wanita jalang, pelacur, bahkan simpanan om-om. Awalnya Cara tidak peduli dan berusaha sabar mendengar ucapan mereka. Akan tetapi jika dibiarkan mulut mereka malah semakin keterlaluan.
"Pasti ini akibat didikan nggak benar dari orang tuanya."
"Iya, pasti itu," timpal yang lain.
Wajah Cara mengeras. Kedua tangannya mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Mereka boleh menghina dirinya sampai puas, asalkan jangan menghina orang tuanya. Dia tidak terima.
"Anda jangan asal bicara!" desis Cara terdengar tajam. "Asal Anda tahu, Ayah dan Ibu saya selama ini mendidik saya dengan sangat baik. Tolong jaga ucapan, Anda."
Ibu berdaster merah itu malah menyeringai. "Mana ada perempuan baik yang bekerja di kelab malam, Caramell? Kamu pasti sudah menjual diri, kan?"
"Tidak!" Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Cara. Apa perempuan yang bekerja di kelab malam seperti dirinya terlihat begitu hina di mata mereka?
Mereka malah tertawa. "Ah, sudahlah. Mana ada maling yang mau ngaku? Ya, nggak Ibu-Ibu?"
"Ibu-Ibu, sudah. Jangan gosip terus." Pedagang sayur tersebut menengahi. "Ini kembaliannya, Neng."
Cara cepat-cepat mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu menerima uang kembalian dari tukang sayur. "Terima kasih, Pak," ucapnya sambil beranjak pulang.
"Huu, dasar jalang!" Mereka terus mencibir.
Cara berjalan dengan cepat menuju rumahnya yang berada di ujung jalan. "Abaikan ucapan mereka, Cara!" gumamnya.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dada sebelum membuka pintu kayu yang ada di hadapan. Dia harus terlihat baik-baik saja di depan sang ibu.
"Ibu, Cara pul--" Tubuh Cara menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dua kantong belanja di tangannya terlepas begitu saja. Dia begitu terkejut melihat Ibu tergeletak tidak sadarkan diri di depan pintu.
"Ibu ...."
***
[ Bersambung ]
Cara terus menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya. Air mata turun semakin deras membasahi pipinya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan sang ibu. Semakin hari penyakit kanker darah yang diderita ibunya semakin parah. Padahal Ibu sudah menjalani kemoterapi selama enam bulan terakhir. Namun, penyakit itu semakin menang melawan tubuh ibunya. Telapak tangan Cara semakin dingin dan basah. Jantung pun berdetak tidak nyaman. Gadis itu merasa takut, bingung, dan cemas. Cara takut Ibu tidak selamat karena hanya wanita itu yang dia miliki di dunia ini. "Tuhan, aku mohon selamatkan Ibu ...." gumamnya dengan suara gemetar. Dia benar-benar takut kehilangan sang ibu untuk selamanya. "Caramell." Cara sontak menghampiri lelaki berjas putih yang baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Dia, Aditya Kafka. Dokter muda yang telah merawat ibunya selama ini.
Cara tanpa sadar meremas secarik kertas yang berada di genggaman. Kertas berwarna kuning tersebut berisi nomor telepon wanita yang memberi tawaran Elish untuk melahirkan anaknya. Namun, Elish malah memberikan tawaran tersebut pada dirinya karena sahabatnya itu tahu jika dia sekarang lebih membutuhkan uang.Cara meremas kertas tersebut semakin erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Gadis itu mendadak sangat bimbang sekarang.Apakah yang dia lakukan ini benar?Bagaimana jika sang ibu tahu dia akan melahirkan anak untuk orang lain.Cara yakin sekali Ibu pasti akan sangat kecewa jika tahu. Namun, dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat."Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi? Semoga ini
"Mmhh..." Tubuh Angela meremang hebat. Wajahnya semakin memerah ketika suara ciuman mereka tertangkap oleh indera pendengarannya. Wanita itu ingin segera dipuaskan oleh lelaki yang kini sedang menindih tubuhnya.Suara lenguhan Angela yang tertelan dalam ciuman membuat suasana semakin terasa panas. Bahkan Alvaro tidak bisa lagi menahan tangannya untuk memberikan sentuhan lembut pada paha mulus Angela yang tidak tertutupi gaun."Erngh ...." Alvaro melepas pagutan bibirnya saat mendegar erangan keluar dari bibir Angela. Memberi kesempatan pada wanita itu untuk mengambil napas.Angela segera menarik napas sebanyak mungkin karena Alvaro tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. "Seharusnya malam ini kamu tidur di kamar Caramell, Al," ucapnya dengan napas terengah.Wajah Alvaro
Tidak terasa sudah hampir satu bulan Cara tinggal di rumah Alvaro. Setiap hari gadis itu harus mengurus rumah, selain itu mengurus Alvaro karena Angela tidak becus mengurus suami. Yang bisa dilakukan wanita itu hanya bermalas-malasan dan menghabiskan uang Alvaro. Cara selalu bangun sebelum matahari terbit, setelah itu memasak, kemudian mencuci baju dan membereskan rumah. Benar-benar melelahkan karena dia mengerjakannya seorang diri. Alvaro pun tidak berubah. Lelaki itu masih suka marah dan bersikap kasar pada dirinya. Sejak awal dia memang tidak menyukai ide gila Angela untuk menikahi Cara demi memberi Mama cucu. Alvaro bisa langsung marah jika Cara berbuat salah, sekecil apa pun itu. Cara dulu selalu diam saat Alvaro menghina dan merendahkan dirinya. Dia menelan semua ucapan Alvaro yang terasa pahit seperti obat. Namun, dia sekarang mulai b
Cara kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. Ucapan Alvaro tadi benar-benar melukai hatinya. Jika Alvaro menganggapnya perempuan murahan, maka dia akan bertingkah seperti jalang.Cara membuka lemarinya dengan kasar. Di dalam tergantung lingeri dengan berbagi model yang dia dapatkan dari Angela. Dia mengambil satu buah lingeri secara asal lalu memakainya. Cara sebenarnya jijik memakai pakaian kurang bahan tersebut. Namun, dia harus memakainya untuk menggoda Alvaro."Akan aku buktikan pada Tuan Alvaro kalau aku bukan jalang!"***Alvaro menghela napas panjang. Sepertinya Angela benar-benar sudah gila, pikirnya. Bagaimana mungkin wanita itu menyuruhnya untuk segera menghamili Cara? Apa Angela tidak tahu kalau dia tidak ingin melak
Alvaro merasa menjadi lelaki paling berengsek yang pernah Tuhan ciptakan setelah penyatuan mereka semalam. Selama ini dia selalu menganggap Cara jalang. Namun, gadis itu ternyata berhasil membuktikan jika dirinya bukanlah jalang seperti yang dia pikirkan. Cara ternyata masih perawan meskipun pernah bekerja di kelab malam.Jujur, Alvaro merasa sangat beruntung dan bahagia menjadi lelaki pertama bagi Cara. Dia juga begitu menikmatinya semalam. Dia bahkan menginginkan gadis itu lagi.Cara mengerjabkan mata perlahan saat cahaya matahari jatuh mengenai wajah cantiknya. Gadis itu merasa ada sesuatu yang berat sedang menindih perutnya. Cara pun berusaha membuka mata walaupun masih terasa berat. Kedua alis gadis itu menyatu saat melihat dada bidang seorang pria.Kedua mata Cara sontak membelalak lebar. "Aa ... hhft ...."Alvaro segera membekap mulut Cara sebelum gadis itu berteriak. "Kau
Cara menatap pantulan dirinya di depan cermin. Banyak bekas kemerah-merahan di leher juga dadanya, hasil perbuatan Alvaro semalam. Wajah Cara tiba-tiba dijalari rasa panas, meninggalkan semburat merah di kedua pipinya. Semalam adalah pengalaman pertama bagi Cara, menyerahkan kesuciannya. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bercinta rasanya sangat nikmat. Dia bahkan terus menyebut nama Alvaro saat lelaki itu bergerak di dalamnya. "Aduh, kenapa aku jadi mesum gini, sih?" Cara tanpa sadar memukul kepalanya sendiri. Entah kenapa kejadian semalam begitu membekas di ingatannya. Lebih baik dia segera memakai baju dan menyiapkan sarapan untuk Alvaro. Cara mengobrak-abrik isi lemari pakaiannya. Gadis itu ingin mencari baju model turtle neck untuk menutupi lehernya yang terdapat kiss mark Alvaro. Namun, Cara lupa jika dia tidak mempunyai pakaian model tersebut. Semua pakaiannya hanya kaus berukuran longgar, itu pun warnanya sud
Alvaro gelagapan. Dia menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Angela barusan. Bagaimana mungkin Angela tahu jika dirinya tengah membayangkan sedang bercinta dengan Cara? Apa istrinya itu seorang cenayang?"Em, ti-tidak," jawabnya terbata-bata.Tatapan Angela sangat lekat, membuat jantung Alvaro seketika berdetak tidak nyaman. Dia takut Angela tahu apa yang ada di pikirannya. "Aku menyuruhmu menikahi Cara untuk memberi Mama cucu, Al. Jangan sampai kamu jatuh hati pada istri keduamu itu."Alvaro tersenyum mendengar ucapan Angela barusan. Ternyata istri pertamanya itu takut dia jatuh hati pada Cara. "Aku tidak mungkin mencintai wanita lain karena yang aku cintai cuma kamu, Sayang," ucapnya sambil menangkup kedua pipi Angela dengan lembut."Sungguh?"Alvaro mengangguk."Kamu tidak bohong, kan?""Iya, Sayang." Alvaro mengecup bibir Angela sekilas. Dia te