Share

Bab 3 Orang-Orang Berhati Iblis

Rekaman CCTV yang diberikan asisten kepercayaan Wijaya itu membuat Gina bergidik ngeri.

Bagaimana bisa anaknya yang berusia 6 tahun itu diseret paksa oleh Andrea tanpa belas kasihan? Padahal, anaknya itu hanya ingin menemui Gina!

Yang paling mengerikan adalah tindakan Annie–sosok pengacara yang sedang naik daun itu. Dia melotot dan mengancam Sean untuk segera masuk. Berulang kali, wanita itu membentak “anak dari klien pentingnya”. 

Namun, Annie tak berhasil membuat Sean berubah pikiran.

Di satu titik, perempuan itu terlihat begitu marah, hingga melepas tangan Sean mendadak. Anak lelaki itu spontan jatuh ke depan karena tak bisa menjaga keseimbangan. 

Sean berguling maju jatuh dari atas ketinggian tangga di depan rumah besar kediaman Wijaya. Anaknya berguling tak berdaya dan terluka parah!

Dan Wijaya …. 

Meski pria itu marah pada Annie, tetapi itu hanya sebentar saja.

Begitu Annie mengingatkannya tentang poin di surat warisan mengenai kematian Sean, pria itu terdiam. Wijaya langsung panik membayangkan hartanya harus jatuh ke Gina bila Sean meninggal sebelum usia 17 tahun.

Pria mengerikan itu tidak berbuat apa-apa untuk pembunuh anaknya!

“Huek!” 

Gina mual setiap mengingat betapa kejamnya orang-orang yang terlibat dengan kematian Sean.

Dua hari ini, dia bahkan tidak bisa tidur, hingga lingkar matanya menghitam tak terkendali.

Setiap dia memejamkan mata, Gina seakan mendapati senyum Sean yang mengarah jelas padanya. 

Meskipun menangis, air mata Gina telah habis dan hanya menyisakan kepedihan di hatinya.

Dia tidak bisa hidup tanpa Sean. 

Tapi, mati begitu saja dan membiarkan orang-orang yang membunuh Sean bebas hidup bahagia, membuat Gina terusik. 

Setidaknya jika dia ingin mati, dia harus pastikan jika seluruh orang-orang biadab itu menderita!

“Nyonya … “ Emma–asisten Wijaya–tiba-tiba datang menghampiri Gina.

Di luar dugaan, dialah yang membantu Gina untuk bersembunyi.

Emma juga telah menceritakan perihal rencana Annie untuk membunuh Gina, sehingga Gina tak punya tempat aman di rumah keluarganya. 

Oleh sebab itu, Gina harus bersembunyi dan Emma bersedia membantu Gina.

“Kenapa, Em? Kenapa kamu membantuku?” tanya Gina, memeluk tubuhnya di bawah ranjang dengan penampilan menyedihkan.

Emma meletakkan sekotak makanan di meja, kemudian duduk bersimpuh di samping Gina.

“Saya hanya setia pada Nyonya,” jawab Emma, prihatin menatap Gina.

“Tapi, Wijaya amat mempercayaimu.”

Emma menggeleng. “Saya tidak punya pilihan karena dia yang menggaji saya. Tapi, saya bersedia menjadi agen ganda untuk Nyonya Gina.”

“Nyonya … “ Emma menyentuh pelan punggung tangan Gina. “Nyonya harus bangkit. Jangan biarkan orang-orang itu tertawa di atas penderitaan Nyonya.”

“Apa yang harus kulakukan, Em? Hidupku sudah berakhir tanpa Sean,” ucap Gina, nanar.

Dia tidak bohong. Bagi Gina, anaknya adalah segalanya. Ketiadaannya sama dengan vonis mati untuk Gina.

“Sebentar lagi, saya harus pergi  karena dalam dua jam pernikahan Tuan dan Andrea akan dilangsungkan,” pamit Emma, “Saya akan mengirim video pernikahan mereka pada Nyonya.”

“Untuk apa?” tanya Gina bingung.

“Supaya Nyonya mau mempertimbangkan saran saya.”

Emma benar-benar pergi kali ini setelah menunduk hormat dan pamit. 

Dia meninggalkan Gina yang kembali tenggelam dalam kesengsaraannya, hingga tak lama, ponsel Gina bergetar. 

Emma mengirimkan video pernikahan Wijaya dan Andrea. 

Dalam video itu, Gina bisa melihat Andrea yang berjalan menuju altar mengenakan gaun pengantin miliknya. 

Kemudian, Wijaya yang tampak bahagia menyambut sang istri baru, lalu berciuman penuh hasrat.

Tangan Gina gemetar hebat melihat prosesi pernikahan itu. Ulu hatinya nyeri, nafasnya tercekat, setelah tubuhnya mulai dikuasai kemarahan yang makin mendidih di ujung ubun-ubun. Ini tidak bisa dibiarkan. Gina tidak bisa membiarkan mereka semua tenang dan bahagia, sementara anaknya meninggal begitu saja.

“Halo, Em … “ Gina menghubungi Emma, “Bantu aku membalaskan dendam pada mereka semua.” 

*****

Tok, tok, tok!

Pintu kamar hotel tempat Gina bersembunyi tiba-tiba diketuk. 

Gina terkejut setengah mati, tetapi dia berusaha untuk tetap waspada. 

Dia meraih benda keras apapun yang bisa digunakan sebagai pertahanan diri–jaga-jaga jika Wijaya menemukan keberadaannya.

Gina tidak boleh terluka sebelum perang dimulai. 

Tok, tok, tok!

Pintu sekali lagi diketuk karena Gina tidak menyahut atau segera membukakan pintu. 

Gina hanya menempelkan daun telinganya di pintu–berharap bisa mendengar setitik suara untuk memastikan keadaan.

“Nyonya, ini aku, Emma!” Suara Emma terdengar lirih di balik pintu.

Ketegangan Gina seketika luntur. 

Tanpa menunggu lama, dia segera membuka pintu. 

Namun, yang dia temui tidak hanya Emma yang berdiri di sana–melainkan ada kedua orang tuanya yang sedang memandang ke arah Gina dengan mata sembab.

Wajah Leo Duran dan Eli Duran tampak begitu sedih dan tua beberapa tahun dari yang Gina ingat.

Eli, sang ibu bahkan langsung memeluk erat tubuh Gina sambil menangis keras. “Cucuku, Sean … “ isaknya. “Kenapa harus cucuku yang malang?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
dendam seorang ibu karenaa anaknya terbunuh makin membara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status