"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan.
"Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri.
"Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.
Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang.
"Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pakaian kotor. Ia memasukkan pakaian gantinya yang kotor ke dalam ransel.
"Kenapa dibawa? Bukannya itu kotor? Biar dicuci saja di sini, Bang. Saya yang cuci," tanya Huri dengan heran. Gadis itu asik menatap suaminya, sambil mengikat tinggi rambutnya yang panjang.
"Biar dicuci di sana saja. Lagian, untuk beberapa hari ke depan, saya tidak akan menginap di sini," ujar Elang yang sudah bersiap untuk keluar dari kamar. Huri menahan tangan suaminya. "Tunggu, lebih baik kita duduk terlebih dahulu, membicarakan aturan main kita sebagai suami istri. Huri tahu, Abang pasti lebih paham soal poligami. Jika seorang lelaki mengambil keputusan untuk berpoligami, terlepas dia terpaksa atau tidak, maka kewajibannya atas kedua istrinya pun sama. Betul begitu?" Huri menarik pergelangan tangan Elang untuk mengikutinya duduk di tepi ranjang. Mau tidak mau, Elang menurut. Dengan wajah terlihat sangat tidak nyaman, Elang menunduk menatap lantai yang dilapisi karpet bulu berwarna biru langit. Warna yang sama dengan tembok kamar dan juga beberapa pajangan di kamar istrinya.
"Jadi, Abang akan memberikan jatah Teh Kiya berapa hari?"
"Enam hari."
"Baik, berarti saya hanya kebagian satu hari. Apa menurut Abang itu adil bagi saya?" Elang bungkam. Bibirnya tidak mampu bergerak untuk mengeluarkan suara. Baik meng-iyakan, atau menyanggah sekalian.
"Oke, diamnya Abang saya anggap jawaban iya, atas pertanyaan saya tadi." Huri dengan cepat menyimpulkan.
"Oke, saya terima. Saya hanya minta, jatah malam jum'at Abang di sini. Bagaimana?" Elang yang tadinya sama sekali tidak mau melihat Huri, akhirnya menoleh ke samping. Keningnya berkerut dalam mendengar penawaran yang diberikan oleh istri mudanya.
"K-kenapa harus malam Jum'at? Ada Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu, Minggu, dan kamu memilih Jumat. Ada apa? Apa ini berkaitan dengan karma yang menimpamu? Tolong, jangan libatkan aku terlalu dalam." Ucapan Elang bagaikan belati yang menembus hati Huri. Suaminya mungkin tengah beranggapan menikahi wanita terkutuk, sehingga kalimat yang keluar dari bibirnya begitu tajam. Huri meremas seprei, mencoba menahan sesak di dadanya.
"Dari yang pernah saya baca, hari Jumat adalah hari paling baik di antara semua hari bagi umat Islam. Karena saya hanya kebagian satu hari, maka saya harus mendapatkan hari terbaik, walau belum tentu juga suami saya memperlakukan saya dengan baik. Abang tenang saja, saya tidak akan mendekat, jika Abang tidak ingin, atau mungkin jijik." Kalimat sarkas yang dilontarkan Huri membuat Elang tak bisa menyanggah. Sungguh di dalam hatinya, tidak bermaksud untuk menyentil hati Huri. Namun ia tetap harus menjaga perasaan Kiya;wanita yang sangat ia sayangi.
"Baiklah, kamis sore, sepulang dari toko, saya akan ke sini," jawab Elang akhirnya. Huri beranjak dari ranjang, lalu berjalan ke arah lemari. Ia membuka laci di dalam sana, lalu mengeluarkan kotak beludru merah hati.
"Ini hadiah untuk Kakak madu saya. Jangan tersinggung, ini bukan sogokan. Ini hanya sebagai ucapan terima kasih saya, karena Teh Kiya dengan ikhlas mau mengijinkan Abang menikahi saya. Terimalah!" Huri menyodorkan kotak beludru yang seukuran telapak tangan.
"Apa ini? Tidak usah Huri, Kiya tidak akan menerimanya." Elang mendorong lembut tangan Huri menjauh.
"Abang akan benar-benar menyakiti hati saya, jika Abang tidak mau menerima. Ini hanya hadiah. Jika tidak suka, mau dibuang juga tidak apa-apa. Saya ikhlas. Ini saya beli dengan uang saya saat menang juara utama event lomba busana di sebuah mal, jadi saya harap Abang mau menerimanya." Tanpa menunggu persetujuan dari Elang, Huri sudah masukkan kotak itu ke dalam ransel.
"Sampaikan salam saya ke Teh Kiya. Sekarang masih hari Senin, berarti kita akan bertemu tiga hari lagi. Hati-hati di jalan ya, Bang." Huri mengambil punggung tangan Elang, lalu menciumnya dengan khidmat.
Elang men-stater motor maticnya. Bersiap untuk berangkat ke toko, tetapi ia akan mampir sebentar ke rumahnya. Huri masih menunggui Elang di depan teras, sambil bersandar di tiang rumah.
"Saya berangkat." Elang tersenyum. Huri pun sama. Gadis itu melambaikan tangan pada suaminya, lalu berjalan di belakang untuk menutup kembali pagar rumahnya.
Sepanjang perjalanan, Elang didera rasa bingung dan juga cemas. Istrinya pasti mengamuk, karena dia telat pulang satu jam. Bisa jadi juga, piring, gelas, dan perabotan dapur ikut terbang menyambut kedatangannya. Motornya masuk ke dalam jalan besar menuju kontrakannya. Semakin dekat, malah terasa semakin horor. Berkali-kali Elang menelan ludah dan berkata dalam hati, jika ia siap menerima apapun yang nanti akan dilakukan Kiya padanya.
"Ahay ... Hawa penganten baru, seger banget dah!" seru Pak Onih yang kebetulan sedang memandikan burung Jalak ya di depan kontrakan.
"Burungnya udah berapa kali mandi dalam semalam, Lang? Ha ha ha ...." timpal Bu Kasino dengan celetukan mesumnya. Elang tidak mau berkomentar, ia hanya tersenyum ramah, lalu menekan kenop pintu.
"Assalamualaikum. Kiya," seru Elang sambil menutup pintu rumahnya dengan pelan. Anak kunci ia putar dua kali, agar tidak ada yang mengganggunya dengan Kiya nanti.
Brak!
Brak!Kiya melemparkan sandal ke arah pintu. Untung saja Elang sempat mengelak, jika tidak, maka sandal tinggi istrinya yang bisa mematikan anak anjing itu, mendarat mulus di kepalanya.
"Eh ... Kenapa?" tanya Elang dengan ekspresi terkejut.
"Abang bohong! Janji pulang jam tujuh, tapi ini sudah jam delapan lebih lima belas menit. Ngapain aja Abang sama cewek kecentilan itu lama-lama? Hah? Burung Abang udah disantet sama si Huri itu ya? Sehingga tidak ingat pulang ke rumah?"
"Astaghfirullah, Kiya!"
Wow ...
Apakah perseteruan ini akan berlanjut??
Ramaikan komentarnya ya gaes. Terima kasih
“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.“Itu tidak benar.”“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya.“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terde
Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa
Jumat pagi, Elang mengatakan pada Kiya akan masuk bekerja hari ini. Ada beberapa pelanggan yang memintanya untuk membetulkan AC dan juga kulkas. Malam panas yang dilewatinya dengan Kiya, tidak serta-merta membuatnya lupa akan janjinya pada Huri. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak mengingat istri mudanya itu mungkin sedang menunggunya. Sarapan mi goreng yang dihidangkan istrinya dimakan dengan lahap, begitu juga dengan segelas air putih hangat.“Abang nanti lembur lagi?” tanya Kiya saat mengantar Elang sampai di depan teras.“Kalau sedang banyak panggilan saja, kalau tidak ya … langsung pulang,” jawab Elang sambil tersenyum. Kiya pun membalas senyuman suaminya dengan hangat, lalu mengambil punggung tangan Elang untuk dikecup.“Abang berangkat ya.” Elang sudah naik ke atas motor. Menyalakan mesin motornya, lalu meluncur di jalanan yang tidak terlalu rata.Jika Kiy
“Mau ke mana?” tanya Elang dengan canggung saat berjalan beriringan dengan Huri di koridor kampus E.“Ke kamar.” Langkah Elang terhenti dengan wajah menegang. Lelaki itu menelan ludahnya kasar, tanpa berani menoleh pada Huri. Sedangkan gadis yang berdiri di sampingnya malah tertawa cekikikan. Inilah yang membuat Huri sangat sedih bila Elang mengabaikannya. Suaminya ini bagai anak perjaka yang selalu digoda janda. Malu-malu tidak jelas.“Saya hanya bercanda. Bagaimana kalau nonton bioskop? Ada film horror yang lagi rame di media sosial. Judulnya ‘Huri Ngesot’.” Elang lagi-lagi terpaksa menghentikan ayunan langkahnya mendengar ucapan Huri yang selalu saja asal sebut. Ingin ia tertawa, tetapi tidak mungkin. Ia harus tetap jaim di depan istri mudanya.“Mana ada judul seperti itu? yang betul ‘Suster Ngesot’,” tukas Elang sambil kembali melangkah menuju parkiran mot
Ketika Elang mengatakan 'ya', bukan main bahagianya hati Huri. Wajahnya menunduk malu dengan detak jantung yang tidak beraturan. Apakah secepat ini? Tangan dan kakinya terasa membeku dan tidak bisa digerakkan. Baru sekedar ucapan, belum sampai jadi nyata.Film suster itu pun kini sudah tidak menarik lagi. Di kepalanya hanya memikirkan bagaimana nanti saat tidur bersama Elang. Apakah dia sudah menggosok daki? Atau apakah dia sudah memakai deodoran tadi? Huri menjadi pusing sendiri memikirkan bagaimana nanti malam pertamanya dengan suaminya.Elang pun ternyata membuktikan ucapannya. Lelaki itu benar-benar tidur bersama Huri di bioskop. Film horor yang sebenarnya tidak terlalu ia suka, karena bisa berdampak padanya saat di rumah, terpaksa harus ia pelototi selama hampir delapan puluh menit. Maka Elang memutuskan memejamkan mata, dengan kepala bersandar di punggung kursi."Bang, eh ... kok tidur? Ayo, filmnya sudah habis," ser
Kiya menunggu suami kembali dari toko. Seperti biasa , Elang akan pulang sebelum Magrib, jika toko sedang tidak terlalu ramai. Nmaun jika ada pekerjaan yang harus diburu, maka bisa saja Elang pulang jam sembilan malam. Kiya baru selesai salat, saat suara motor suaminya memasuki teras rumah. Segera ia bergegas berjalan keluar kamar untuk membukakan pintu. Rumah kontrakan yang mereka tempati memang sedikit berbeda dari kontrakan pada umumnya. Jika di kontrakan Kiya, ada dua kamar dan juga satu ruang tamu, serta dapur berukuran kecil. Kamar mandi juga lumayan kecil, hanya dua kamar saja berukuran cukup besar. Mereka memang mencari kontrakan yang memiliki dua kamar, karena mengira Bu Latifah;ibu dari Elang akan tinggal bersama mereka.“Assalamualaykum,” seru Elang saat melihat Kiya membukakan pintu rumah masih dengan mukenanya. Wanita itu mencium punggung tangan suaminya, lalu meraih ransel Elang untuk digantung di paku yang ada di ruang tengah
Huri menatap langit mendung yang memayungi bumi siang ini. Sudah pukul satu siang dan dia baru saja selesai melaksanakan salat. Masih dengan mukenanya, Huri duduk di dekat jendela sambil membayangkan kehidupan pernikahan yang ia jalani saat ini.Seminggu sudah dari pertemuannya dengan Elang, tetapi lagi-lagi lelaki itu tak ada kabar. Huri tidak tahu harus menghubungi ke mana, karena sepertinya nomornya sudah diblokir Kiya. Tidak mungkin Huri menanyakan suaminya pada mertuanya, pasti nanti Elang ditegur oleh ibunya.Huri semakin bimbang. Apakah dia harus pergi melihat ke toko Elang? Apakah nanti di sana dia tidak akan bertemu dengan Kiya? Dapat dipastikan ia tidak akan bisa terlelap malam ini jika tidak menemui suaminya. Percaya atau tidak, walau Elang cenderung abai dengannya, tetapi ia tidak masalah dan hal itu membuatnya semakin penasaran.Langit malah semakin gelap, dengan bunyi p
Khusus Dewasa dan setengah tua ya.Dua orang orang wanita paruh baya tengah memasang baik-baik telinganya di daun pintu kamar Huri. Mereka adalah Bu Rima dan Bu Latifah. Dua orang tua yang berharap rencana mereka kali ini berjalan dengan lancar. Keduanya saling pandang saat dari dalam kamar Huri tidak menangkap sinyal apapun. Baik erangan, atau rintihan nikmat belum terdengar sama sekali.“Mbak yakin yang dikasih bukan obat tidur?” tanya Bu Latifah pada besannya dengan berbisik.“Iya, Mbak, saya yakin udah kasih obat perangsang, bukan obat tidur, tapi kenapa sepi sekali? Apa jangan-jangan udah kelar?” tanya Bu Rima balik. Bu Latifah mengangkat bahunya tidak paham. Mereka kembali memasang telinga baik-baik di daun pintu.“Akh … s-sakit … Bang.” Dua wanita tadi terbelalak kaget deng