Share

Setelah Kepergian Abi

Suatu ketika kehidupan dan kematian bertemu satu sama lain, lantas mereka mengobrol. “Kenapa orang-orang itu menyukaimu, tapi membenci aku?” tanya kematian kepada kehidupan. Kehidupan menjawab sambil tersenyum, “Orang-orang menyukaiku karena aku adalah dusta yang indah, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah kebenaran yang menyakitkan.”

Qiana termenung di kamarnya saat mengingat percakapan antara kehidupan dan kematian karya penulis terkenal Tere Liye yang waktu itu pernah dia baca. Pemakaman Ustad Risman sudah dilangsungkan satu jam yang lalu dan Qiana serta umi dan yang lainnya kembali ke rumah mereka.

“Manusia terlena akan kehidupan yang hanya sementara. Tanpa mereka sadar telah melupakan kenyataan bahwa kehidupan tengah dijalani tidaklah bersifat tetap, suatu saat kita akan kembali kepada-nya. Hanya menunggu waktu untuk mencabut roh dari raganya.” Ates membelai lembut pucuk kepala Qiana. Meski mereka baru kenal dan menikah karena terpaksa, tapi Ates merasa berkewajiban untuk menenangkan istrinya itu. “Tidak ada yang menginginkan kedatangannya, tapi kita tidak pernah bisa lari darinya. Karena setiap yang hidup pasti akan mati.”

Ates memegang pipi Qiana dengan kedua telapak tangannya. “Aku tidak melarangmu untuk bersedih, karena memang sudah sewajarnya kamu merasa sedih atas kepergian Abi. Hanya saja aku tidak ingin kamu larut dalam kesedihanmu itu.”

Perkataan Ates yang lembut membuat Qiana kembali terisak. Bagaimana bisa dia mengendalikan hatinya saat ini? Setelah semua kesalahan yang dia lakukan hingga membuat sang Abi pergi untuk selama-lamanya. Rasa sesal memenuhi hati Qiana.

Ia baru sadar, tingkah dan perilakunya selama ini tidak pernah membuat Abi dan Umi bahagia. Qiana selalu membantah dan tidak ingin dikekang oleh aturan yang diterapkan oleh abinya. Ia ingin seperti anak-anak yang lain, memiliki kebebasan tanpa melihat agama di dalam setiap langkahnya.

Betapa durhakanya ia. Kini, ia selalu berharap Allah mengembalikan abinya lagi. Sungguh ia akan berbakti dan mendengarkan setiap perkataan kedua orang tuanya bila hal itu benar terjadi. Namun, itu sangat mustahil.

“Kamu harus tahu, Qiana. Apa yang Allah ambil dan berikan, semuanya adalah milik-Nya. Di balik itu ada hikmah yang bisa kita petik dari setiap kejadian dan masalah yang datang. Kamu harus ingat pesan Abi, menjadi anak dan ibu yang baik untuk calon anak kita. Aku akan membimbingmu ke jalan yang Allah ridhoi. Tak akan pernah aku tinggalkan dirimu sendiri meski dalam keadaan apa pun. Kamu harus percaya hal itu.”

Abinya tidak pernah salah menilai orang. Ates benar-benar lelaki yang baik. Mereka memang sudah dijodohkan jauh sebelum Qiana dan Ates beranjak remaja. Perilaku dan sopan santun yang Ates tunjukkan sangat membuat Ustad Risman tersentuh dan meminta Ustad Hanan untuk menjodohkan anak mereka.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk Abi, Mas? Selama ini tidak ada satu pun kebaikan yang aku lakukan untuk Abi. Hanya melawan dan membangkang atas peraturan yang Abi terapkan.”

“Senantiasalah berdoa untuk Abi dan jangan putus tali silaturahmi dengan umi serta Uwak dan bibi. Kamu juga harus bertobat, memohon ampun kepada-Nya atas kemaksiatan yang telah kamu lakukan itu

Qiana mengangguk. Demi abinya, ia akan berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan Ates dan bertobat agar semua doa-doanya diterima oleh Allah SWT.

“Mas, apa benar ketika kita menghafal Al-Qur’an, maka Allah akan memberikan mahkota dan jubah emas untuk kedua orang tua kita di akhirat kelak?” Qiana bertanya dengan suara lirih. Isak tangis masih sesekali lolos dari bibirnya yang tipis.

Ates mengangguk. “Allah berjanji melalui lisan rasul-Nya. Siapa yang menghafal Al-Qur’an, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian, kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian yang indah ini? Lalu disampaikan kepadanya, “Itu karena anakmu telah mengamalkan Al-Qur’an,” terangnya, membuat hati Qiana diliput rasa bahagia. Dia merasa lega mendengar perkataan Ates barusan.

“Mas..., maukah kamu membantuku untuk menghafal Al-Qur’an? Tuntun aku menuju surga-Nya Allah. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk Abi, selain menjadi anak yang Abi inginkan selama ini. Aku juga ingin menjadi istri yang berbakti kepada suaminya. Tapi, saat ini aku merasa diriku belum pantas untuk menjadi istrimu atas dosa yang aku lakukan di masa lalu. Aku tahu pernikahan kita juga memberatkan dirimu, Mas. Maka dari itu beri aku kesempatan agar bisa menjadi istri yang baik untukmu.”

Ates senang mendengar apa yang barusan Qiana katakan. Memang pernikahan mereka mendadak dan Ates yang baru saja lulus kuliah itu tidak menyangka akan menikah muda. Ia juga tidak menyangka jika sang istri pada akhirnya mau bertobat dan menghafal Al-Qur’an.

“Tentu, Qiana. Aku akan membantumu untuk menghafalnya. Semoga Allah mempermudah jalanmu untuk kembali ke jalan yang benar.”

Qiana mengamini doa sang suami. Iya, ia berharap Allah memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

***

Perlahan Qiana mulai dapat menerima kepergian abinya. Tidak ada pertanyaan atau pun penyesalan yang selalu ia ajukan saat mengadukan segala keluh kesahnya kepada Sang Illahi.

Kenapa Engkau secepat itu mengambil Abi dariku di saat aku belum melakukan sedikit kebaikan dan berbakti kepada Abi? Kenapa Engkau tidak memberikan kesempatan kepadaku agar bisa menjadi anak yang baik untuk Abi dan Umi? Aku ingin waktu kembali lagi agar bisa menuruti semua kemauan Abi. Tapi, aku tahu itu semua tidak mungkin terjadi lagi.

Kini, Qiana sangat menyesali beberapa pertanyaan itu karena pada kenyataannya ia sudah tahu jawabannya. Allah melakukan itu agar ia tersadar atas kesalahan yang telah ia lakukan dulu.

Selepas salat magrib, Qiana membantu uminya yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam bagi keluarga lainnya. Meski sikap sang umi masih sama seperti saat sebelumnya, tak membuat Qiana menyerah dan pergi dari dapur. Ia tengah serius mengaduk sup yang baru setengah matang, tiba-tiba uwaknya datang bersama bibinya.

“Masih ada muka untuk muncul di depan keluargaku?”

Qiana mendengus kesal. Perkataan uwaknya benar-benar mengganggunya saat ini. “Jangan mengatakan hal itu, Uwak. Ini keluarga Qiana juga, dari kecil Qiana sudah tumbuh di tengah-tengah keluarga ini. Qiana juga bagian dari keluarga Uwak,” ujar Qiana tanpa menoleh dan menatap wajah uwaknya itu.

“Jika kamu menyadari hal itu, kenapa kamu tidak pernah sekalipun menuruti perkataan mereka? Kamu selalu membantah dan melakukan sesuka hati tanpa memikirkan perasaan kakakku dan juga istrinya. Sekarang kamu nggak perlu menunjukkan kepadaku wajah pura-pura sedih itu. Karena memang ini yang kamu inginkan, bukan?”

Qiana menarik napas panjang. Dia tidak mau membalas perkataan menyakitkan itu lagi. Ia sadar diri telah melakukan kesalahan besar, wajar saja jika uwaknya sangat marah. Sebagai seorang anak, sudah seharusnya ia mendengarkan dan menuruti perkataan orang tuanya, tidak melawan dan bertindak sesuka hati saja. Tapi, Qiana sama sekali tidak melakukan hal itu.

“Qiana, mana Ates?” tanya bibi Qiana yang berdiri tepat di samping uwaknya.

“Mas Ates tadi pergi ke masjid, Bi,” jawab Qiana.

“Ya sudah, sebaiknya kamu menyiapkan makan malam untuk suamimu juga. Karena ini hari pertama kalian berstatus sebagai suami istri.”

“Baik, Bi.”

“Jangan digabung makanan kalian dengan makanan kami! Karena aku tidak mau satu meja makan dengan wanita pendosa seperti dirimu.”

Lagi-lagi Qiana hanya bisa mengelus dadanya. Ia tak ingin berdebat dengan uwaknya. Qiana tak mau abinya sedih melihat pertengkaran itu nantinya. Biarlah ia yang mengalah, agar semua orang bisa hidup dengan damai.

“Mas sudah pulang? Qiana sudah membuat makanan kesukaan Abi, siapa tahu Mas Ates juga suka.” Qiana langsung menyambut suaminya yang baru pulang dari mesjid.

Ates tertegun sejenak, melihat senyum Qiana yang terlihat sangat manis. Dia baru menyadari bahwa gadis yang dijodohkan dengannya itu memiliki sisi lembut dan juga bisa menghargai sebuah hubungan.

“Kenapa makanannya dibawa ke kamar? Keluarga yang lain sedang makan di bawah, sebaiknya kita turun dan bergabung dengan mereka,” ucap Ates.

Qiana langsung menyanggah. “Kita makannya di sini saja, Mas. Qiana nggak mau keluarga yang lain menjadi terganggu karena kita.”

“Apa terjadi sesuatu tadi?”

Qiana langsung menggeleng. “Tidak, Mas. Tidak ada yang terjadi. Hanya saja Uwak tidak ingin melihat wajah Qiana saat makan malam. Qiana tahu dan mengerti perasaan beliau, makanya Qiana mengalah dan sebaiknya kita makan di kamar saja.”

Ates mengangguk sembari tersenyum. “Baiklah, jika itu yang istriku mau. Mas juga ingin melihat yang lainnya hidup dengan damai dan bahagia. Kalau Uwak tidak menyukai kita, sebaiknya kita pindah ke pesantren. Agar nanti kamu bisa belajar ilmu agama di sana.”

“Qiana setuju, Mas. Tapi, Qiana bicara dulu sama umi dan minta izin beliau untuk pindah.”

“Besok pagi kita akan temui umi.”

Ketika Qiana sedang bersedih setelah kepergian abinya, Ates selalu ada untuk dirinya. Bukan hanya parasnya yang tampan, tingkah laku dan perkataan Ates juga terdengar indah di telinga. Qiana bisa melupakan tentang Leo, ayah dari calon bayi yang akan lahir dari rahimnya. Bersama Ates, Qiana berani memimpikan indahnya rumah tangga dan menjadi istri serta ibu yang baik untuk calon anaknya nanti.

“Qiana, apa kamu sudah tidur?”

Suara umi terdengar mengetuk pintu di luar sana ketika Qiana dan Ates sedang menikmati makan malam. Keduanya lantas berdiri dan membukakan pintu untuk sang umi.

“Umi, ada apa? Apa Umi merasakan sesuatu?” tanya Qiana senang karena uminya sudah mau berbicara lagi dengannya.

“Umi mau bicara sama kalian berdua, ini menyangkut pesan Abi,” ujar beliau.

“Abi? Memangnya apa yang Abi katakan pada Umi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status