Share

Episode 9

“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.

“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.

Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.

“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.

Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.

“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.

Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.

“Kalau begitu kita sarapan saja” celetuk si bibi mengalihkan dua bocah kecil. Di anggukan oleh keduanya dengan semangat. Bungsu Anthea beranjak, bergegas mendekati kakaknya, Ayanna. Diikuti perempuan cantik yang menjadi ibu sementara ini bagi si kembar.

Arum terlihat senang memerankan karakter ibu bagi putri Adnan, tangannya tak jarang mencubit pipi Anthea dan mengusap kepala Ayanna. Juga si kembar cepat dekat dan akrab padanya. Merupakan nilai plus bagi Arum.

“Papa.”

“Papa.” Panggil gadis mungil bergantian. Semua orang di meja makan serentak menoleh. Adnan datang bersama wajah murungnya, pula rambut tak tentu arah. Mata dingin kemarin seolah hilang, Arum melihat jelas perbedaan itu.

Dua putri manis rumah itu segera turun dari kursi, Adnan berjongkok menunggu putri kesayangannya menghampiri. Si kembar memeluk erat. Pria yang berstatus suami bagi Arum tidak bisa menahan kesedihan. Dirinya terisak kecil. Sementara Arum dan bibi tidak berkata apapun - menyaksikan ayah dan anak di sana melepas rindu.

“Sayang. Papa buru-buru, kalian baik-baik ya sama bibi.” Ia lupa bahwasanya ada penghuni baru di rumah. Pernikahan tiga hari lalu seperti mimpi. Pikirannya terfokus pada kesehatan Hana. Bahkan pekerjaannya pun terbengkalai. Beberapa pasien yang membutuhkan jasanya terpaksa diganti oleh dokter lain.

Adnan mengharuskan Ayanna dan Anthea melepas pautan dari tubuhnya, melangkah menuju kamar. Tak ayal putri kembar di sini kebingungan.

“Ayo sarapannya di habiskan.” Kali ini Arum yang meminta sekaligus memapah mereka.

Di hadapan bibi, nyonya barunya juga turut membisu. Terlihat sendok di tangan hanya untuk mengaduk makanan, belum sampai menyuapkan nasi pada sang tuan.

“Masakan bibi tidak enak, ya?” bibi sengaja menganggu Arum. Apapun yang dipikir istri ke-dua Adnan ini biarlah, namun bibi akan memperlakukannya dengan baik.

“Bu-bukan, bi. Saya khawatir kondisi mbak Hana.”

‘Rupanya dia memikirkan ibu Hana’ bibi salah mengira.

“Mmm… bi. Bisakah tanya ke papa-nya mereka kondisi mbak Hana?” Arum bertanya lagi. Dirinya belum tahu memanggil apa terhadap Adnan. Tidak sopan jika hanya memanggil nama. Tetapi, menggunakan embel-embel lainnya masih begitu canggung. Mereka tidak sedekat itu.

Di jawab anggukan dari si bibi.

“Bi. Saya titip anak-a-” ucapan Adnan terpotong setelah melirik Arum. Juga langkahnya yang melambat diakhir anak tangga.

‘Astaga. Aku hampir melupakannya.’

Sekilas pandangan Adnan dan Arum bertemu, dengan cepat Arum memutuskan. Ia berpura-pura memberikan lauk pada Ayanna.

“Maaf, pak. Kondisi ibu bagaimana?” sela bibi selepas membaca situasi berbeda disini. Sangat kentara ada batas antara Adnan dan Arum.

“Aku belum bisa memberitahu, bibi. Tolong do’a kan Hana cepat sembuh.”

“Oh iya, tolong rawat anak-anak ya, bi.” Tambahnya.

Laki-laki itu kembali melangkah, tepat di depan Arum ia berhenti, memaksakan seulas senyuman.

“Tolong jaga Ayanna dan Anthea ya, Rum.” ternyata Adnan tidak lupa menghargai perempuan cantik itu. Arum mengangguk dengan senyuman juga, membalas apa yang pria itu berikan.

Penampilan ayah si kembar tidak sekusut ketika pulang, tas tangan lumayan besar yang dia bawa menjadi jawaban bagi Arum. Wadah untuk membawa keperluan-keperluan Hana atau pun Adnan di rumah sakit nanti.

Bibi sangat bersyukur, hingga sore tiba Ayanna dan adiknya tidak rewel. Mereka menjalani hari seperti biasa, seolah tak ada yang dikhawatirkan. Mungkin ada Arum di sana, setidaknya dia bisa mengisi kekosongan dari sosok Hana.

.

.

Hana mendapatkan suntikan kemoterapi pertama semenjak diputuskan oleh Suryo untuk rawat inap. Barulah ia dipindahkan ke ruangan isolasi, bertujuan menghindari penularan penyakit lain dari luar.

Dari dinding kaca Hana bisa melihat jelas laki-laki tampan dibalik masker berjalan. Membuka pintu menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Adnan. Ia tampak senang Adnan datang dengan penampilan menyegarkan.

Laki-laki yang lengkap dengan perlindungan sesuai standar kesehatan rumah sakit duduk disamping Hana. Sayang sekali, Hana tidak bisa melihat senyum terbaik dari suaminya, masker tersebut menjadi penghalang utama.

“Bagaimana Arum?” celetuk perempuan diatas hospital bed, setengah bersandar. Jangan lupakan infus yang menggelayut dengan selangnya tertancap di tangan Hana. Entah kapan benda itu dilepaskan.

“Baik. Seperti biasa.” Ia menjawab asal untuk tidak menambah pikiran istrinya saja. keadaan sebenarnya Arum seperti apa ia tidak tahu pasti.

Adnan mendapat angin segar, kondisi Hana dirasakan membaik semenjak dipindahkan ke ruangan khusus ini. Hana bercerita, mengatakan hal-hal tentang suaminya. Tak jarang kebiasaan Adnan ia masukkan dalam kisah tersebut. Termasuk lupa menaruh kunci mobil. Padahal dia lah yang menaruh di sembarang tempat.

“Ya-ya aku ceroboh” dengus ayah si kembar. Hana terkekeh jadinya. Pria di depan sangat menggemaskan. Sangat mirip Anthea kalau sedang merengut.

Tangan Adnan tidak pernah melepaskan pegangannya untuk Hana, layaknya kaitan inersia (sifat yang cenderung mempertahankan posisinya). Menatap seksama wajah pucat sang istri. Dalam setiap do’a ia selalu meminta kesembuhan untuk perempuan itu.

“Mau sampai kapan meninggalkan pasien-pasien yang membutuhkan peranmu?” Hana bertanya kemudian. Sontak membuat Adnan mengangkat pandangan.

Seminggu lamanya, mulai dari persiapan pernikahan hingga Hana dirawat, Adnan belum pernah kembali ke ruangan operasi, menugaskan kembali pisau-pisau bedah sesuai fungsinya.

“Tidak usah pikirkan yang lain. Pikirkan kesembuhan kamu dulu, ya.”

Hana membalas cepat “Aku baik-baik saja.” Artian sebenarnya, dia tidak ingin Adnan melihat ketika dirinya merasa sakit, atau pun menggigil.

“Tidak sampai kamu benar-benar pulih dan pulang ke rumah” Adnan bersikekeh. “Istriku lebih penting.” Tambahnya.

“Setidaknya lakukan tugasmu, Mas. Bagi mereka peran dokter sepertimu sangat penting.” Perempuan itu berkata lembut, Adnan tak tega menatap langsung wajah Hana yang masih cantik baginya.

Laki-laki di depan Hana terdiam.

“Kamu kan masih bisa melihatku di sini. Aku tidak akan kemana-mana. Aku di sini masih memililki paman Suryo, dia pasti rutin mengecek kondisiku. Paman kan dokter terbaik.” Hana berkata seperti anak kecil kepada ayahnya, cukup membuat Adnan terhibur. Dia begitu pandai membujuk Adnan.

“Baiklah, Aku akan mengoperasi lagi.”

“Tidak ada yang harus aku tangani sampai besok. Dika menggantikanku sampai lusa.” Dika teman sejawat selama bekerja di rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status