Share

7. Air Terjun Romantis

Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya.

“Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.”

Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing.

Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu?

Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia menanti warna yang muncul dengan senyum sendu.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Tuan Brewok?”

Edmund kembali mengerjap dan menoleh ke samping. Gadis mungil itu kini berdiri menghadapnya, berkedip-kedip.

“Aku sedang mendokumentasikan arah utara di tempat ini.”

“Untuk apa?” Gadis itu memiringkan kepala.

Edmund tersenyum miris. Sambil menyimpan kompas ke dalam saku, ia berkata, “Istriku ingin tahu.”

“Apakah kamu akan memberikan foto itu kepada istrimu?”

Edmund tidak tahu harus menggeleng atau mengangguk. Matanya kembali tertuju pada kertas foto di tangannya itu.

“Aku akan menempelkan ini di buku jurnal perjalanannya.”

“Istrimu juga punya buku jurnal perjalanan?” Mata sang balita berbinar. Saat Edmund mengangguk, decak kagum lolos dari bibirnya.  

“Wah, istrimu sangat keren. Dia tahu apa yang harus dilakukan oleh petualang sejati. Buku jurnal itu adalah sesuatu yang wajib, dan mengoleksi foto kompas di berbagai tempat itu adalah sesuatu yang unik. Dia pasti juga punya tas ransel dan sepatu boot sepertiku.”

Sudut bibir Edmund terangkat sedikit lebih tinggi mengenang sosok Alice. “Ya, dia selalu bepergian dengan sepatu boot dan tas ransel.”

“Apakah dia juga mengenakan pakaian nyaman seperti ini?”

Si gadis mungil merentangkan tangan. Edmund tidak bisa menyangkal bahwa tingkahnya cukup menggemaskan.

“Kau merasa jumpsuit dan hoodie itu nyaman? Pakaian itu hanya membuatmu terlihat seperti pentol korek api.”

Pipi sang balita menggembung. “Aku merasa nyaman meskipun kau menyebutku mirip pentol korek api. Ini melindungiku dari serangga dan sinar matahari. Hanya saja, ini sedikit merepotkan kalau aku mau ke toilet.”

Telunjuk mungilnya bergerak mencubit kancing. “Ini cukup sulit untuk dilepas. Biasanya, aku butuh lima menit untuk membuka satu kancing. Kalau tidak ada Mama yang membantuku, mungkin aku sudah pipis di celana.”

Edmund tanpa sadar mendengus. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia menyimpan kamera ke dalam ransel.

“Oke, karena tujuanmu sudah terpenuhi, ayo kembali ke hotel.”

Mata si bocah misterius sontak membulat. “Secepat ini? Aku bahkan belum melihat air terjun itu secara keseluruhan.”

“Bukankah kamu sedang melihatnya?”

Bibir mungilnya seketika mengerucut. “Aku tidak setinggi kamu, Tuan Brewok. Cobalah berjongkok, kamu akan tahu kalau dari tadi, aku hanya melihat bagian atasnya saja. Selebihnya hanya daun-daun dan ranting pohon. Aku tidak tahu seperti apa airnya ketika mencapai bawah.”

Edmund tanpa sadar menyipitkan mata. “Apakah kau secara tidak langsung memintaku untuk menggendongmu?”

Gadis mungil itu memperlebar senyum, memperlihatkan gigi-giginya.

“Apakah kamu keberatan? Kamu tidak perlu khawatir, Tuan. Aku ini masih kecil. Badanku seringan permen kapas. Kamu tidak akan lelah meskipun menggendongku satu jam.”

Edmund menghela napas. Ia tahu bocah itu tidak akan berhenti mengusiknya sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Kemarilah.”

“Hore!”

Gadis mungil itu cepat-cepat mendekat kepada Edmund. Ketika ia sudah berada dalam gendongannya, mulutnya langsung terbuka lebar.

“Wah! Ini jauh lebih keren yang kubayangkan. Kau lihat itu, Tuan Brewok? Airnya menyatu di pertengahan!”

Sementara bocah itu mengagumi pemandangan, Edmund diam-diam mengamati wajahnya. Gadis cilik itu ternyata memiliki warna mata sehijau miliknya. Dan entah mengapa, Edmund merasa tidak asing melihatnya.

“Sudah puas?” tanya Edmund sekitar setengah menit kemudian.

Gadis mungil itu tertawa lepas. Ia bertepuk tangan, berseru dengan suara manisnya yang menggemaskan.

“Ini betul-betul hari yang indah! Chamarel Falls memang sangat keren! Aku beruntung sekali bisa melihatnya.”

Sedetik kemudian, tangan mungilnya melingkar di leher Edmund. “Terima kasih, Tuan Brewok. Kau sudah membantuku mewujudkan impian. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau sudah membuatku sangat bahagia hari ini.”

Merasakan kehangatan itu, Edmund termenung. Hatinya tergelitik oleh sensasi aneh yang membuat semua sakitnya terabaikan.

Mungkinkah karena ia sudah terlalu lama tidak mendapat pelukan? Tubuhnya salah mengira anak kecil itu sebagai Alice—sosok yang paling ia cinta?

Dengan gerak kaku, Edmund pun menepuk-nepuk punggung sang balita. Tanpa ia sadari, matanya mulai berkaca-kaca.

“Tuan Brewok, bisakah kamu membantuku lagi untuk satu hal?” Si gadis mungil menjauhkan kepalanya dari pundak Edmund dan memasang tampang memelas.

Edmund sontak berkedip-kedip, menyingkirkan keharuan. “Apa?”

“Kulihat kameramu ajaib. Dia bisa mengeluarkan foto dalam satu jepretan. Bagaimana kalau kita berfoto bersama? Kalau aku menyimpan foto itu, aku bisa selalu mengingat wajahmu. Jadi, saat kita bertemu lagi nanti, aku tetap bisa mengenalimu.”

Edmund tertegun mencerna keinginan yang tulus itu. Sambil tersenyum simpul, ia akhirnya mengangguk. Mereka pun berfoto bersama dengan bantuan turis lain sebelum melanjutkan perjalanan ke Chamarel Seven Colored Earth.

“Tuan Brewok!” Si gadis mungil kembali bertepuk tangan saat mereka tiba di hamparan gundukan tanah yang memiliki gradasi samar. Tawanya membuat hari terkesan lebih cerah.

“Bukankah ini sangat keren? Lihat! Bagian situ berwarna merah, itu cokelat, abu-abu, ungu, kuning, kehijauan, dan kebiruan!” Ia terlihat bangga bisa mengabsen semua warna.

Edmund terpaksa mengangguk demi menghindari perdebatan. “Ya, kudengar warnanya akan lebih terlihat jika cuaca sedang berawan. Sayang sekali, hari ini matahari begitu menyilaukan.”

“Itu bukan masalah, Tuan. Kita tinggal menyipitkan mata saja. Warna-warnanya bisa terlihat lebih jelas.”

Si gadis mungil memperagakan apa yang ia katakan. Setelah itu, ia kembali tertawa dan menggamit tangan Edmund.

“Tuan Brewok, sebelum kita bertemu kura-kura raksasa, bagaimana kalau kita beristirahat dan makan? Aku membawa bekal. Kita bisa berbagi kalau kamu tidak keberatan.”

Alis Edmund meninggi mendengar tawaran itu. Belum sempat ia merespons, sang balita sudah lebih dulu menariknya ke sebuah meja di bawah payung jerami raksasa. Diam-diam, ia penasaran bekal apa yang bisa disiapkan oleh bocah berusia empat tahun itu.

“Silakan, Tuan Brewok. Jangan sungkan.”

Edmund nyaris mendenguskan tawa saat sang balita meletakkan cokelat dan permen di atas meja.

“Kau kabur dari hotel dan hanya membawa ini sebagai perbekalan?”

Sambil menarik-narik simpul hoodie di bawah dagunya, sang bocah berkedip lugu.

“Aku juga membawa sebotol air dan susu kemasan. Tapi akan kuminum nanti setelah aku makan cokelat. Aku benar-benar lapar. Tadi pagi, aku tidak bisa makan banyak karena terlalu tegang. Aku takut misiku ke sini gagal. Untung saja, aku bertemu denganmu.”

Melihatnya kesulitan membuka simpul, Edmund tergerak untuk membantu.

“Aku heran dari mana datangnya keberanianmu itu. Lain kali, jangan bepergian seorang diri. Tidak semua orang sebaik diriku. Kau tidak mau organ tubuhmu dijual, kan?”

Sementara gadis cilik itu cemberut, Edmund tersenyum kecut. “Apa? Kau mau membantah?”

Pundak si gadis mungil sedikit turun. “Tidak. Kurasa kamu benar. Lain kali, aku tidak boleh kabur dari Mama dan Papa.”

“Bagus. Sekarang, apakah kau mau hotdog dan kentang goreng? Itu jauh lebih mengenyangkan dari permen dan cokelat.”

Bocah itu terbelalak. “Aku mau, tapi aku tidak membawa banyak uang.”

Ia menepuk-nepuk kantong kecil pada tas ranselnya. Edmund bisa mendengar suara koin saling berbenturan dari dalam sana.

“Kamu tidak perlu membayar. Biar aku traktir. Anggap saja ini upah karena kau sudah menemukan kompas milik istriku.”

Edmund mengedikkan bahunya canggung. Sudah lama ia tidak bersikap sebaik itu kepada orang lain. Kemudian, tanpa basa-basi lagi, ia pergi memesan makanan.

Sembari menunggu, Edmund mengawasi gadis mungil itu dari jauh. Ia diam-diam tersenyum melihatnya kesulitan menarik rambut dari balik hoodie. Namun, ketika balita itu berhasil, Edmund langsung tercengang.

Bocah misterius itu ternyata memiliki rambut ikal berwarna cokelat pekat. Edmund seketika menemukan jawaban tentang mengapa ia merasa wajah bulatnya terlihat familiar. Gadis mungil itu sangat mirip dengan potret Alice sewaktu masih kecil!

Pixie

Jreng jreng jreeng .... Siapakah bocah itu sebenarnya? Tunggu kelanjutannya besok pagi. Thanks for reading.

| Sukai
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Riski Aulia
kenapa sih bukanya harus pakai koin, merepotkan,
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
yaaa ampun.. pasti anaknya si tuan brewokkk deh.. tp emaknya bukan alice
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status