Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya.
“Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.”
Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing.
Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu?
Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia menanti warna yang muncul dengan senyum sendu.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Tuan Brewok?”
Edmund kembali mengerjap dan menoleh ke samping. Gadis mungil itu kini berdiri menghadapnya, berkedip-kedip.
“Aku sedang mendokumentasikan arah utara di tempat ini.”
“Untuk apa?” Gadis itu memiringkan kepala.
Edmund tersenyum miris. Sambil menyimpan kompas ke dalam saku, ia berkata, “Istriku ingin tahu.”
“Apakah kamu akan memberikan foto itu kepada istrimu?”
Edmund tidak tahu harus menggeleng atau mengangguk. Matanya kembali tertuju pada kertas foto di tangannya itu.
“Aku akan menempelkan ini di buku jurnal perjalanannya.”
“Istrimu juga punya buku jurnal perjalanan?” Mata sang balita berbinar. Saat Edmund mengangguk, decak kagum lolos dari bibirnya.
“Wah, istrimu sangat keren. Dia tahu apa yang harus dilakukan oleh petualang sejati. Buku jurnal itu adalah sesuatu yang wajib, dan mengoleksi foto kompas di berbagai tempat itu adalah sesuatu yang unik. Dia pasti juga punya tas ransel dan sepatu boot sepertiku.”
Sudut bibir Edmund terangkat sedikit lebih tinggi mengenang sosok Alice. “Ya, dia selalu bepergian dengan sepatu boot dan tas ransel.”
“Apakah dia juga mengenakan pakaian nyaman seperti ini?”
Si gadis mungil merentangkan tangan. Edmund tidak bisa menyangkal bahwa tingkahnya cukup menggemaskan.
“Kau merasa jumpsuit dan hoodie itu nyaman? Pakaian itu hanya membuatmu terlihat seperti pentol korek api.”
Pipi sang balita menggembung. “Aku merasa nyaman meskipun kau menyebutku mirip pentol korek api. Ini melindungiku dari serangga dan sinar matahari. Hanya saja, ini sedikit merepotkan kalau aku mau ke toilet.”
Telunjuk mungilnya bergerak mencubit kancing. “Ini cukup sulit untuk dilepas. Biasanya, aku butuh lima menit untuk membuka satu kancing. Kalau tidak ada Mama yang membantuku, mungkin aku sudah pipis di celana.”
Edmund tanpa sadar mendengus. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia menyimpan kamera ke dalam ransel.
“Oke, karena tujuanmu sudah terpenuhi, ayo kembali ke hotel.”
Mata si bocah misterius sontak membulat. “Secepat ini? Aku bahkan belum melihat air terjun itu secara keseluruhan.”
“Bukankah kamu sedang melihatnya?”
Bibir mungilnya seketika mengerucut. “Aku tidak setinggi kamu, Tuan Brewok. Cobalah berjongkok, kamu akan tahu kalau dari tadi, aku hanya melihat bagian atasnya saja. Selebihnya hanya daun-daun dan ranting pohon. Aku tidak tahu seperti apa airnya ketika mencapai bawah.”
Edmund tanpa sadar menyipitkan mata. “Apakah kau secara tidak langsung memintaku untuk menggendongmu?”
Gadis mungil itu memperlebar senyum, memperlihatkan gigi-giginya.
“Apakah kamu keberatan? Kamu tidak perlu khawatir, Tuan. Aku ini masih kecil. Badanku seringan permen kapas. Kamu tidak akan lelah meskipun menggendongku satu jam.”
Edmund menghela napas. Ia tahu bocah itu tidak akan berhenti mengusiknya sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Kemarilah.”
“Hore!”
Gadis mungil itu cepat-cepat mendekat kepada Edmund. Ketika ia sudah berada dalam gendongannya, mulutnya langsung terbuka lebar.
“Wah! Ini jauh lebih keren yang kubayangkan. Kau lihat itu, Tuan Brewok? Airnya menyatu di pertengahan!”
Sementara bocah itu mengagumi pemandangan, Edmund diam-diam mengamati wajahnya. Gadis cilik itu ternyata memiliki warna mata sehijau miliknya. Dan entah mengapa, Edmund merasa tidak asing melihatnya.
“Sudah puas?” tanya Edmund sekitar setengah menit kemudian.
Gadis mungil itu tertawa lepas. Ia bertepuk tangan, berseru dengan suara manisnya yang menggemaskan.
“Ini betul-betul hari yang indah! Chamarel Falls memang sangat keren! Aku beruntung sekali bisa melihatnya.”
Sedetik kemudian, tangan mungilnya melingkar di leher Edmund. “Terima kasih, Tuan Brewok. Kau sudah membantuku mewujudkan impian. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau sudah membuatku sangat bahagia hari ini.”
Merasakan kehangatan itu, Edmund termenung. Hatinya tergelitik oleh sensasi aneh yang membuat semua sakitnya terabaikan.
Mungkinkah karena ia sudah terlalu lama tidak mendapat pelukan? Tubuhnya salah mengira anak kecil itu sebagai Alice—sosok yang paling ia cinta?
Dengan gerak kaku, Edmund pun menepuk-nepuk punggung sang balita. Tanpa ia sadari, matanya mulai berkaca-kaca.
“Tuan Brewok, bisakah kamu membantuku lagi untuk satu hal?” Si gadis mungil menjauhkan kepalanya dari pundak Edmund dan memasang tampang memelas.
Edmund sontak berkedip-kedip, menyingkirkan keharuan. “Apa?”
“Kulihat kameramu ajaib. Dia bisa mengeluarkan foto dalam satu jepretan. Bagaimana kalau kita berfoto bersama? Kalau aku menyimpan foto itu, aku bisa selalu mengingat wajahmu. Jadi, saat kita bertemu lagi nanti, aku tetap bisa mengenalimu.”
Edmund tertegun mencerna keinginan yang tulus itu. Sambil tersenyum simpul, ia akhirnya mengangguk. Mereka pun berfoto bersama dengan bantuan turis lain sebelum melanjutkan perjalanan ke Chamarel Seven Colored Earth.
“Tuan Brewok!” Si gadis mungil kembali bertepuk tangan saat mereka tiba di hamparan gundukan tanah yang memiliki gradasi samar. Tawanya membuat hari terkesan lebih cerah.
“Bukankah ini sangat keren? Lihat! Bagian situ berwarna merah, itu cokelat, abu-abu, ungu, kuning, kehijauan, dan kebiruan!” Ia terlihat bangga bisa mengabsen semua warna.
Edmund terpaksa mengangguk demi menghindari perdebatan. “Ya, kudengar warnanya akan lebih terlihat jika cuaca sedang berawan. Sayang sekali, hari ini matahari begitu menyilaukan.”
“Itu bukan masalah, Tuan. Kita tinggal menyipitkan mata saja. Warna-warnanya bisa terlihat lebih jelas.”
Si gadis mungil memperagakan apa yang ia katakan. Setelah itu, ia kembali tertawa dan menggamit tangan Edmund.
“Tuan Brewok, sebelum kita bertemu kura-kura raksasa, bagaimana kalau kita beristirahat dan makan? Aku membawa bekal. Kita bisa berbagi kalau kamu tidak keberatan.”
Alis Edmund meninggi mendengar tawaran itu. Belum sempat ia merespons, sang balita sudah lebih dulu menariknya ke sebuah meja di bawah payung jerami raksasa. Diam-diam, ia penasaran bekal apa yang bisa disiapkan oleh bocah berusia empat tahun itu.
“Silakan, Tuan Brewok. Jangan sungkan.”
Edmund nyaris mendenguskan tawa saat sang balita meletakkan cokelat dan permen di atas meja.
“Kau kabur dari hotel dan hanya membawa ini sebagai perbekalan?”
Sambil menarik-narik simpul hoodie di bawah dagunya, sang bocah berkedip lugu.
“Aku juga membawa sebotol air dan susu kemasan. Tapi akan kuminum nanti setelah aku makan cokelat. Aku benar-benar lapar. Tadi pagi, aku tidak bisa makan banyak karena terlalu tegang. Aku takut misiku ke sini gagal. Untung saja, aku bertemu denganmu.”
Melihatnya kesulitan membuka simpul, Edmund tergerak untuk membantu.
“Aku heran dari mana datangnya keberanianmu itu. Lain kali, jangan bepergian seorang diri. Tidak semua orang sebaik diriku. Kau tidak mau organ tubuhmu dijual, kan?”
Sementara gadis cilik itu cemberut, Edmund tersenyum kecut. “Apa? Kau mau membantah?”
Pundak si gadis mungil sedikit turun. “Tidak. Kurasa kamu benar. Lain kali, aku tidak boleh kabur dari Mama dan Papa.”
“Bagus. Sekarang, apakah kau mau hotdog dan kentang goreng? Itu jauh lebih mengenyangkan dari permen dan cokelat.”
Bocah itu terbelalak. “Aku mau, tapi aku tidak membawa banyak uang.”
Ia menepuk-nepuk kantong kecil pada tas ranselnya. Edmund bisa mendengar suara koin saling berbenturan dari dalam sana.
“Kamu tidak perlu membayar. Biar aku traktir. Anggap saja ini upah karena kau sudah menemukan kompas milik istriku.”
Edmund mengedikkan bahunya canggung. Sudah lama ia tidak bersikap sebaik itu kepada orang lain. Kemudian, tanpa basa-basi lagi, ia pergi memesan makanan.
Sembari menunggu, Edmund mengawasi gadis mungil itu dari jauh. Ia diam-diam tersenyum melihatnya kesulitan menarik rambut dari balik hoodie. Namun, ketika balita itu berhasil, Edmund langsung tercengang.
Bocah misterius itu ternyata memiliki rambut ikal berwarna cokelat pekat. Edmund seketika menemukan jawaban tentang mengapa ia merasa wajah bulatnya terlihat familiar. Gadis mungil itu sangat mirip dengan potret Alice sewaktu masih kecil!
Jreng jreng jreeng .... Siapakah bocah itu sebenarnya? Tunggu kelanjutannya besok pagi. Thanks for reading.
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu
Jantung Edmund berdebar saat mengetuk pintu bernomor 506. Entah mengapa, ia merasa seperti tersedot ke masa silam, saat ia hendak menjemput Alice berkencan setelah ia menyadari bahwa janji palsunya telah mendatangkan cinta. Begitu pintu terbuka, napasnya sontak tertahan. Melihat wajah Alice yang sama sekali tidak berubah, matanya tanpa sadar berkaca-kaca. “Tuan Edmund?” Edmund berusaha menahan senyum agar tidak terlalu lebar. Tangannya yang disembunyikan di balik pinggang terkepal erat, berusaha menjaga batasan agar tidak menakuti sang wanita. “Selamat malam, Nyonya Rachel.” Ia sengaja tidak mau memanggilnya Nyonya Palmer. Bagi Edmund, Alice akan selalu menjadi Nyonya Hills. “Apakah Sky punya waktu luang? Aku berniat mengajaknya makan malam. Tidak jauh-jauh. Di resto hotel ini saja. Itu pun kalau Anda dan Tuan Palmer mengizinkan.” Sekarang Edmund merasa bahwa ia sedang meminta izin untuk mengencani anak orang. Rachel spontan mengernyitkan dahi. Tangannya enggan beralih dari gag
“Jadi, itu yang kau maksud dengan badut dan terompet tahun baru? Angka 5 dan 6?” gumam Edmund sembari memotong steak untuk Sky. “Ya, bukankah mereka mirip? Yang satu perutnya gendut, sedangkan yang satu lagi seperti pita melengkung. Kalau ditiup, pitanya bisa menjadi lurus dan terlihat lebih panjang!” Edmund terkekeh mendengar itu. “Kau memiliki imajinasi tinggi, Sky, persis seperti ibumu.” Sambil menyangga pipi dengan kedua tangan, Sky memiringkan kepala. “Kenapa kamu berbicara seperti sudah kenal lama dengan Mama? Kamu kan temanku. Kamu seharusnya lebih mengenalku.” Sambil menyodorkan piring ke hadapan Sky, Edmund berusaha untuk tetap tersenyum. “Suatu saat nanti, kau akan mengerti. Sekarang makanlah. Berterimakasihlah kepada sapi ini karena dia sudah memberikan dagingnya kepadamu.” “Sekarang kamu terdengar seperti Mama. Mama juga selalu berkata begitu setiap sebelum makan,” gumam Sky sebelum meraih garpu dan berbisik, “Terima kasih, Sapi. Maaf aku memakanmu.” Hati Edmund ber
Menyadari arah sorot mata Lucas, tubuh Edmund menegang. Cepat-cepat ia menutup telepon dan berjalan menuju meja. Namun, belum sempat ia meraih rambut sampel, Lucas telah lebih dulu mencengkeramnya. “Apa ini? Kau diam-diam mengambil rambut putriku? Apa tujuanmu sebenarnya, hmm? Kau sungguh berniat merebut istri dan anakku rupanya!” hardik Lucas dengan mata terpelotot. Rahang Edmund pun berdenyut-denyut. Ia sebetulnya sudah muak dengan Lucas sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang, setelah gertakan keras itu, kebenciannya berlipat ganda dan tidak lagi tertahankan. “Berani sekali kau menyebut Sky putrimu?” Lucas tersentak mendengar nada dingin Edmund. “Apa maksudmu? Bukankah sudah jelas kalau dia anakku?” Suaranya turun drastis. Sambil mendengus, Edmund tertunduk. “Kurasa kita tidak perlu basa-basi lagi.” Ia duduk di sofa, lalu meletakkan kedua siku di atas lutut. Tatapannya tajam sekaligus redup. “Di mana kau menemukan Alice?” Lucas mengerjap. Urat di lehernya mencuat tertekan ol
“Sayang?” sapa Rachel dengan mata bulat. Sebelah tangannya terkepal di depan dada. “Kau sudah pulang?” Lucas berkedip-kedip bingung. “Kenapa kau seperti melihat hantu begitu? Apakah wajahku menyeramkan?” “Oh, tidak. Hanya saja, pikiranku sempat melayang tadi. Makanya aku terkejut.” Rachel mengedikkan bahunya ringan. Senyumnya terkesan canggung. “Memangnya apa yang kau lamunkan?” tanya Lucas sambil mengelus pinggang sang istri. Senyum tipis mulai menghangatkan wajahnya. Sambil menghela napas, Rachel melirik ke pekarangan belakang. Sky masih mengomel di sana. “Aku takut Sky kecewa kalau laki-laki itu tidak datang. Lihatlah. Ini sudah dua minggu tapi dia masih bersemangat melatih teman-teman hewannya.” Mendengar kata “laki-laki itu”, sebelah alis Lucas terangkat tak senang. “Apakah kau juga berharap dia datang?” “Aku?” Rachel berkedip lugu. “Aku menginginkan yang terbaik untuk Sky. Aku hanya tidak mau putri kita kecewa.” Sambil mendengus, Lucas mengelus lengan Rachel. “Kau tidak
“Laki-laki itu ..., apa yang dia lakukan di sini? Dia donatur yang baik hati itu?” batin Rachel tanpa berkedip. Matanya yang terbuka maksimal telah terpaku pada sosok gagah yang berjalan di sisi Hunter. Ia bisa mengenali sang pria walau tidak ada brewok di wajahnya lagi. Selang satu kedipan, Rachel mulai meringis. Semakin dekat jarak di antara mereka, semakin cepat deru napas dan debar jantungnya. Berdirinya pun jadi tak tenang. “Gawat! Ini gawat. Kalau Lucas tahu ....” Matanya mulai melirik ke kanan dan ke kiri, mencari kesempatan untuk kabur. Namun, mahkota ranting di tangannya mengingatkan untuk tidak ke mana-mana. Bagaimanapun, laki-laki itu adalah sang donatur yang telah mereka nanti-nantikan. “Semuanya, berbaris! Gusi, jangan nakal. Gusi?” Sky terpaksa merapikan barisan para hewan dengan tangannya sendiri. Setelah itu, ia melirik ke belakang sekilas. Melihat tamunya sudah tiba di dekat pagar, ia berdeham dan mulai memberikan aba-aba. “Perhatian, perhatian. Siapa di sini yan