Dada Suri terasa sesak. Ia harus berpegangan pada ujung meja untuk menahan tubuhnya yang oleng sesaat karena tidak siap mendengar pernyataan gila yang diucapkan Adnan.
"Aku... aku benar-benar nggak ngerti apa yang sedang kamu bicarakan, Nan." Getar dalam suaranya menunjukkan emosi campur aduk yang telah ditekan kuat-kuat, tetapi tak lagi bisa wanita itu sembunyikan.
Hanya dalam kurun waktu dua hari, ia dibuat olahraga jantung berkali-kali. Patut diacungi jempol karena Suri masih belum tumbang juga akibat terlalu banyak menerima kejutan. Kemunculan Pram dan pertemuannya dengan Andaru mungkin memang sudah takdir yang tak bisa dihindari lagi. Namun, tentang apa yang dilakukan Adnan... itu sangat di luar dugaan.
Pria itu benar-benar tega karena menambah satu beban pikiran baru di kepala Suri tanpa membiarkannya istirahat sejenak saja.
Sulit menolerir tindakan gila Adnan. Memanipulasi data diri tak hanya miliknya sendiri, tetapi juga milik Suri dan Andaru yang terdaftar di Dukcapil. Bagaimana Adnan bisa melakukannya? Suri benar-benar tidak kuasa membayangkannya.
"Aku tahu, aku salah karena sudah mencuri beberapa berkas milikmu untuk aku gunakan seenaknya." Adnan terdengar sangat menyesal. "Saat aku memutuskan untuk bertindak diam-diam di belakangmu, aku berjanji pada diriku sendiri hanya akan menggunakan itu untuk situasi terdesak, setidaknya sampai Andaru berusia delapan belas tahun—"
"Tunggu sebentar...," Suri menyela karena ada yang mengganjal di pikirannya. "Kalau kamu memegang berkas-berkas yang asli, lalu... bagaimana dengan akta kelahiran Andaru dan kartu keluarga yang aku miliki selama ini?"
Adnan bungkam.
"Semua itu... palsu?" Suri nyaris tak mengeluarkan suara saat mengatakan sebaris tanya itu.
Kepalanya sibuk menggali ingatan.
Saat mengurus kartu keluarga dan akta kelahiran Andaru dulu, Adnan menawarkan bantuan yang tak bisa ditolak Suri. Karena masih perlu banyak beradaptasi dan sangat kerepotan mengurus Andaru, ia menyerahkan urusan administrasi dan segala macamnya kepada Adnan.
Tahun lalu, saat Suri mendaftarkan Andaru ke TK, Adnan bersikeras untuk menggantikan wanita itu menemui kepala sekolah dan menyerahkan berkas pendaftaran milik Andaru.
Sekarang... semuanya menjadi masuk akal. Mengapa Adnan selalu bersikeras membantu Suri setiap kali berurusan dengan administrasi. Tak lain karena Adnan memegang berkas asli milik Suri, yang dimanipulasi pria itu diam-diam.
"Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku, Nan?"
"Suri, aku minta maaf—"
"Jangan! Jangan meminta maaf. Itu nggak akan mengubah keadaan, kan?" tukas Suri.
Permintaan maaf hanya semakin membuat Suri merasa dipecundangi oleh keadaan. Dan mengingatkan kalau dirinya hanya wanita tak berdaya yang menyusahkan, yang terus menggantungkan hidupnya dan Andaru kepada Adnan.
Wanita itu turun dari kursi dan menepis tangan Adnan yang terulur menahannya. Ia perlu menjauh sedikit dari pria yang membuatnya nyaris gila itu, agar otaknya bisa kembali diajak berpikir dengan benar.
"Kamu adalah Danuarta. Punya kemampuan untuk melakukan sesuatu yang mustahil menjadi mudah. Jadi aku nggak akan mempertanyakan apa pun caramu mewujudkan itu." Suri seakan dipaksa menelan pil pahit saat mengatakannya. "Aku... aku hanya nggak habis pikir, kenapa kamu harus mengorbankan hidupmu untuk ini? Aku sama sekali nggak melihat ada untungnya buatmu."
"Nggak ada yang lebih penting dibandingkan kenyamanan dan keamanan Andaru. Dan saat itu aku nggak terpikir cara lain untuk melindunginya."
Suri percaya bahwa cinta yang tulus tak melulu harus berbagi darah daging yang sama. Adnan telah menunjukkan itu selama bertahun-tahun kepada Andaru. Hanya saja, tidak pernah terpikir kalau Adnan bisa bertindak sampai sejauh itu untuk Andaru.
"Lama-lama aku bisa gila menghadapi kamu, Nan," desah Suri.
Keseriusan Adnan luntur saat kekeh kecilnya kembali mewarnai wajah. Ia menopang kepala dengan tangan besarnya yang bertumpu di atas meja. "Aku minta maaf karena mencuri surat-surat penting milikmu, tapi aku nggak menyesal memanipulasi data itu. Karena sekarang kita bisa menggunakannya dengan benar."
"Tapi, Nan, kamu... yakin ini akan berhasil?"
Adnan mengangguk pasti. "Walaupun Pram beberapa kali membuat keputusan ceroboh, aku tahu kalau dia sesungguhnya adalah orang yang teliti saat sudah bisa berpikir jernih. Pram terlihat sangat sakit hati saat aku mengatakan kalau Andaru adalah anakku. Dia juga nggak terima karena kamu sekarang bersamaku, sampai-sampai dia mengira kita berselingkuh. Seperti yang kamu bilang, Pram tidak akan tinggal diam.
"Beberapa jam dari sekarang, Pram pasti sudah akan menemukan data-data kita yang sudah resmi menikah secara hukum. Itu akan mengurangi kecurigaan pria itu. Tapi, Ri, itu semua masih belum cukup."
"Ya Tuhan! Sekarang apa lagi?"
"Pram pasti akan menuntut tes DNA." Adnan sengaja menggantung ucapannya selama beberapa detik. Semakin menambah ketegangan di pantry dengan lampu remang-remang itu. "Dan itu artinya... aku terpaksa harus melanggar hukum, sekali lagi, untuk menggagalkan niat sepupuku itu."
Wah, gawat nih. Adnan mau ngapain coba?😣😣😣
"Aru benar-benar nggak papa diantar Miss Dina dan Om Wirya ke sekolah?" Suri tak bisa berhenti bergerak gusar di tempat duduknya sejak Dina—pengasuh baru yang akan menjaga Andaru—datang sepuluh menit lalu bersama asisten pribadi Adnan yang berpenampilan serba hitam. Bocah laki-laki yang sedang melahap sarapannya dengan tumis brokoli dan sosis itu mengangguk-angguk. "Mama sama Papa Adnan sibuk kerja buat beli mainan yang banyak buat Aru, kan?" Dengan adanya situasi yang memaksa Suri untuk fokus pada masalahnya dengan mantan suaminya, ia tidak punya pilihan selain menyetujui usul Adnan menyewa pengasuh untuk Andaru. Dina adalah yang terbaik di antara enam kandidat yang dipilih oleh Wirya—atas persetujuan Adnan. Selama bertahun-tahun bekerja untuk Adnan, tidak pernah sekalipun Suri mendengar pria itu mengeluh atau menegur Wirya atas hasil pekerjaannya. Itu artinya, Wirya selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Seharusnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, sebagai seorang
Menginjakkan kaki di rumah sakit membuat Suri pusing dan mendadak mual karena terlalu cemas. Sementara itu, kepercayaan diri Adnan yang begitu yakin rencananya berjalan dengan lancar sama sekali tidak membantu Suri untuk bisa tenang. "Harusnya aku nggak makan dulu tadi. Aku rasanya mau muntah," panik Suri mencengkeram tas jinjing di tangan kanannya. Kakinya terasa lemas untuk diajak melangkah, seolah-olah bisa membuatnya jatuh kapan saja. "Kalau kamu nggak makan, kamu udah ambruk dari tadi, Ri." Dan Adnan masih bisa-bisanya bercanda dalam situasi serius seperti sekarang ini. "Seharusnya aku nggak mengizinkanmu merealisasikan rencana gilamu, Nan!" Adnan hanya tertawa dan terus melangkah dengan tenang. Sementara Suri sudah nyaris pingsan karena tekanan emosi yang membuncah di dadanya. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Suri bisa terkena serangan jantung sebelum sempat melihat hasil tes DNA yang dilakukan Adnan, Pram, dan Andaru beberapa ha
"Suri, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan sembari sesekali memperhatikan Suri yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya. Sejak meninggalkan rumah sakit lima belas menit yang lalu, wanita yang tidak mau melepas pandangan dari luar jendela itu lebih banyak diam. "Kalau kamu butuh waktu, kamu nggak perlu ikut aku meeting sekarang. Aku bisa sendiri saja. Aku akan minta Wirya menyusul." Menoleh ke arah Adnan, Suri menampilkan senyum yang agak dipaksakan. "Nggak apa-apa, Nan. Meeting ini penting buat perusahaan. Aku nggak akan melewatkannya." "Tapi, Ri—" "Adnan, tolong!" Suri menyentuh lengan pria yang sedang mengemudi itu dengan lembut. "Jangan sedikit-sedikit menyuruhku untuk bolos kerja cuma karena ada masalah atau karena kamu merasa aku nggak cukup kuat untuk menghadapi masalah." Ada tatap penuh sesal saat Adnan membalas, "Seharusnya kamu nggak perlu ikut ke rumah sakit tadi. Jadi, kamu nggak perlu menghadapi kemarahan Pram. Aku yang ceroboh karena membawamu serta." Suri menggeleng.
"Makan siangmu ada di meja ya, Nan. Udah disiapin sama Pak Budi," kata Suri saat ia dan Adnan tiba di lantai 9. Wanita itu langsung melipir ke meja kerjanya yang berada di sisi kiri pintu masuk ke ruangan Adnan. Adnan mengernyit bingung karena Suri tidak mengekor masuk ke ruang kerjanya seperti biasa. "Kita nggak makan siang bareng?" Mereka baru saja selesai meeting dengan investor baru yang datang langsung dari Bali. Pertemuannya berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan hingga jam makan siang telah lewat lebih dari satu jam. Namun, raut puas dari kedua belah pihak tadi menunjukkan kalau rapat panjang selama berjam-jam itu menghasilkan sebuah kesepakatan yang menguntungkan untuk masing-masing perusahaan. Suri cukup senang dan lega karena kerja kerasnya bersama orang-orang kantor selama berbulan-bulan, untuk membantu Adnan menyiapkan proposal pembangunan sebuah panti wreda di Surabaya, terbayar dengan tuntas saat tercapai kesepakatan dengan investor dari Bali yang terkenal sulit
'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...' "Kenapa nggak aktif sih, argh!" kesal Suri. Sudah belasan menit berlalu sejak dua wanita penggosip tadi pergi dan ia masih belum beranjak dari bilik kamar mandi. Berkali-kali wanita itu mencoba menghubungi nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan ancaman kepadanya itu, tetapi tidak jua tersambung. Ada kemungkinan kalau nomor itu sengaja digunakan satu kali saja untuk menakut-nakuti dirinya, tetapi Suri tetap kembali menekan tombol panggil ke nomor itu. Namun... tetap tidak tersambung hingga percobaan yang ke sekian kalinya. "Pengecut sialan!" Wanita itu mengerang kesal dan menggigiti bibir bawahnya karena cemas berlebih. Ia baru akan mencoba peruntungan sekali lagi, tetapi urung saat ada pesan masuk dari Adnan yang mencari-cari keberadaannya, menyuruhnya segera menyusul ke lobi. Ketika matanya menangkap angka 13.50 di ujung kiri atas di layar ponselnya, ia langsung memekik, "Ya Tuhan, Pak Pandi. Sebentar la
"Hai, Sayang!" Suri melambaikan tangan saat wajah Andaru memenuhi layar ponselnya. "Mama!" Pekikan nyaring itu membuat senyum di bibir Suri tercipta. Setelah itu, beberapa kali tampilan di layar ponselnya sempat goyang karena Andaru sepertinya sedang mencari posisi duduk yang nyaman untuk memegangi ponsel—yang berukuran tiga kali lebih besar dari tangan mungilnya. "Wah, ganteng banget anak Mama! Udah mandi sore sama Miss Dina, ya?" Bocah lelaki yang kedua bola matanya berbinar itu tersenyum lebar. "Aru mandi sendiri tadi, tapi ditemani Om Wirya, Ma. Iya kan, Om?" Mendengar suara Wirya yang mengiyakan pertanyaan Aru, kerutan samar muncul di dahi Suri. "Lho, memangnya Miss Dina tadi ke mana?" "Di dapur, Ma. Lagi bikin susu buat Aru." "Maksud Mama, tadi waktu Aru mandi sama Om Wirya, Miss Dina-nya ke mana? Kenapa nggak sama Miss Dina mandinya?" Wanita itu duduk tegak dan mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas karena Andaru malah memberitahu kegiatan yang dilakukan pengasuhnya
Bukan kemunculan sesosok Pramudya Danuarta yang membuat Suri nyaris pingsan, tetapi kata demi kata yang diucapkan pria itu, meruntuhkan segala harapan dan tanpa bisa dicegah memunculkan ketakutan besar di dalam dirinya. Celah kecil yang ditemukan Pram itu menghancurkan rencana yang telah dipersiapkan dengan sangat matang oleh Adnan. Saat Suri masih mengumpulkan alasan demi alasan yang cukup masuk akal untuk menyangkal kecurigaan Pram, pria itu tiba-tiba tertawa. "Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk menagih jawaban. Jadi kamu nggak usah setegang itu, Ri." Pram bersedekap. Tampak begitu santai, seolah-olah kejadian yang penuh ketegangan pagi tadi tidak pernah ada. Suri menelan ludah. Matanya memicing saat berusaha meneliti ekspresi ganjil di wajah mantan suaminya, yang seperti dirasuki orang lain. 'Ke mana perginya sosok Mas Pram yang dipenuhi amarah dan luka pagi tadi? Mengapa pria itu datang dengan aura yang berbeda?' Ajaibnya, Suri merasa lega karena tak harus bersitatap d
"Jadi, kapan kamu akan berhenti bermain-main dan pulang ke rumah, Anak Nakal?" Setelah menyalakan pelantang suara di ponselnya yang ada di meja, Adnan menyandarkan tubuh di kursi kerjanya dan terkekeh. Sudah delapan tahun lebih pria itu meninggalkan Jakarta untuk hidup mandiri tanpa bayang-bayang nama besar keluarga. Dan pertanyaan itu selalu dilontarkan kepadanya setiap tiga bulan sekali sejak ia pergi. Itu artinya sudah lebih dari 30 kali Adnan mendengar pertanyaan itu karena ia tak kunjung memberi jawaban yang memuaskan. Bosan? Tidak. Pria itu hanya semakin merasa bersalah kepada sesosok di seberang telepon itu, yang tak mau menyerah untuk membujuknya kembali ke Jakarta. Prabu Danuarta. Pria tua yang menyandang status sebagai kakek Adnan dan Pram itu adalah perintis Danuarta Group generasi pertama hingga perusahaan itu bisa berkembang dan tumbuh besar, hingga kini bisa menguasai kerajaan bisnis di tanah air dan mulai melebarkan sayap ke negara-negara di Asia. "Daya ingat Kakek s