Share

Bab 4. Rasa Yang Sama

Emily keluar dari balik pohon setelah mobil Sean pergi. Dia menatap lajuan mobil itu.

Air mata itu tak bisa dia tahan. Bayangan perjuangannya selama enam tahun terulas jelas di benaknya. Dia hampir meregang nyawa kala itu. Untung saja, temannya datang tepat waktu. Emily sempat koma satu bulan, yang sangat dia syukuri adalah, kandungannya sangat kuat.

Kala itu, dia hampir tertabrak truk. Namun, Emily membanting setir dan menabrak pohon di pinggir jurang. Untung Emily sudah menghubungi temannya dan ponselnya terus dalam keadaan on, jadi dia ditemukan di saat yang tepat. Setelah dia dikeluarkan dari mobil itu, sengaja temannya mendorong mobil Emily ke jurang untuk menghilangkan jejak.

Menjadi ibu tunggal tidak mudah baginya. Apalagi, dengan membawa endapan rasa sakit hati yang sangat dalam. Rasa sakit dan sisa cinta pada Sean terus bergelut dalam jiwanya. Dan hingga saat ini, dalam keyakinan Emily, Sean-lah yang mengatur kecelakaan untuknya. Ya, Emily masih ingat, siapa yang menyuruhnya mengemudi mobil Sean kala itu.

"Axel!" Emily teringat anaknya. Dia menyeka air matanya dan cepat berlari ke tengah.

"Axel sayang. Maafkan mama datang terlambat. Kamu boleh marah karena hal ini."

"Mama, lihat! The winner." Axel memperlihatkan piala dan hadiah.

Emily membelalak. "Kenapa bisa, dengan siapa kamu melakukannya tadi?"

Axel tersenyum bangga. "Apa mama meremehkan anakmu yang pintar ini? Aku tahu, jika mama akan terlambat. Jadi aku mencari pria dewasa yang mau membantuku. Dia lumayan hebat dan tampan."

Perasaan Emily semakin gelisah. "Apa kamu bisa mengatakan ciri-ciri pria dewasa itu, Sayang?"

"Dia mirip denganku, semua temanku juga mengatakan hal sama. Tadi, aku sudah memberinya upah. Cake bekal buatan mama. Jadi, aku tidak berutang budi padanya."

Emily tersentak. Sean, dugaanya tidak salah lagi, jika Sean-lah pria dewasa yang Axel maksud. Wanita itu menoleh ke sembarang arah. Dia langsung menggendong anaknya.

"Kita pulang!"

"Acara belum selesai, Ma. Sebentar lagi," protes Axel.

"Mama kurang enak badan. Kita kembali sekarang." Emily pulang lebih awal dari anak lainnya.

Sedang dalam lajuan mobil.

Sean membuka kotak bekal itu. Dia tersenyum lebar mengingat tingkah anak itu.

"Dario, apa memang ada wajah yang mirip di dunia ini?" Dario adalah asisten Sean.

"Ada, Tuan. Bisa sampai 7 orang orang yang mirip dengan kita di dunia ini."

"Sifatnya juga sepertiku." Sean terkekeh.

Sepotong red velvet cake. Wajah Sean menjadi pias. Dia kembali teringat sosok Emily yang sering membuatkannya kue semacam itu. Sean langsung memakannya. Dia kembali tersentak, rasa itu ... sangat persis dengan buatan Emily. Dadanya sesak.

"Dario, putar balik. Kita kembali ke taman itu!" seru Sean.

Dengan kecepatan tinggi, Sean bisa cepat kembali ke taman itu. Namun, setelah menyibak keramaian di sana, dia sudah tidak menemukan keberadaan Axel.

"Aku mau data soal anak yang tadi memaksaku bermain. Segera!"

Sedang Emily dan Axel sudah tiba di restoran. Emily membawa masuk anaknya cepat.

"Apa yang terjadi, Ma? Kenapa dari tadi Mama terlihat gelisah dan ketakutan. Apa ada pria dewasa yang menyakiti Mama lagi, siapa? katakan padaku!" Axel menatap tajam ibunya.

Emily tersenyum kaku, Axel selalu bisa menebak perasaannya. "Tidak ada, Sayang. Hanya sedikit pusing, kita masuk ke ruangan mama."

"Aku tidak suka Mama berbohong." Axel memicing raut wajah ibunya seolah menangkap ketidakjujuran di wajah itu.

"Hai, Jagoan. Bagaimana soal perlombaan, aku yakin kali ini kamu kalah karena Mamamu terlambat." Dayana mencegat keduanya.

"Jangan terlalu yakin dulu, Tante. Aku terlalu pintar untuk kalah. Lihatlah! The winner." Axel tersenyum bangga.

"Wow, apa mamamu sudah pintar berlari sekarang?"

"Berlari? Dia membawa mobil saja terlambat datang. Untung saja aku berhasil mencari pria tampan untuk menjadi ayah palsuku sebentar." Axel mendesis.

"What! Ayah palsu? Apa maksudnya, Emily?" Mata Dayana melebar.

"Axel, kamu masuk dan bermain di dalam. Mama mau bicara dengan Tante Dayana dulu."

"Oke." Axel mengangkat jempolnya.

"Tunggu, Axel. Apa maksud ayah palsu itu? Jelaskan dulu padaku!"

"Malas!" Axel berlari masuk ke ruangan ibunya. Di dalam, dia biasa bermain puzzle atau lego.

Sedang Emily menyeret Dayana ke ruangan lain.

"Sean. Dia ada di sini. Tadi, Axel sempat bertemu dengannya." Mata Emily berkaca.

"Apa? Kenapa bisa. Lantas, apa yang Sean lakukan pada Axel? Apa dia menyakiti anak kandungnya?" cecar Danaya, dia memegang tangan Emily.

Emily menggeleng. "Tidak. Mereka tidak menyadari hubungan darah itu. Sean, adalah pria dewasa yang membantu Axel menang tadi."

"Dia? Takdir tidak bisa kita tebak. Tapi syukurlah, Sean tidak menyadari siapa Axel. Apa kamu bertemu dengannya?"

Emily kembali menggeleng. "Aku bersembunyi. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, Dayana."

"Jangan sampai kamu lupa saat dia ingin menyingkirkanmu dulu. Dan bagaimana jika itu terjadi pada Axel?"

"Tidak, Dayana. Axel tidak boleh bertemu dengan Sean."

"Tenangkan dirimu. Aku yakin Sean tidak akan tahu soal Axel. Dia sudah menganggapmu mati enam tahun yang lalu."

"Aku berharap begitu. Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan baru ini. Saat ini, aku hanya ingin Axel tumbuh dengan baik. Jika dia masuk pada kehidupan ayah kandungnya, aku tidak yakin dia akan hidup tenang."

"Apalagi yang kamu butuhkan saat ini? Kamu sudah punya restoran besar. Jika butuh pria, yang lebih baik dari Sean sudah mengantri. Jangan sia-siakan sisa hidupmu dengan kembali pada pria brengsek itu."

"Terima kasih. Waktu itu kamu dan David datang tepat waktu."

Dayana membusungkan dada sembari tersenyum bangga. "Pacarku memang luar biasa."

"Benar, dia juga mengajariku mengurus restoran."

Emily memulai karir dari membuat catering. Menjadi restoran kecil, karena kegigihan dan kepintarannya, dia kini memiliki restoran besar itu.

"Ma, lihat! Akhirnya aku menyelesaikan puzzle rumit ini. Sungguh aku tidak percaya dengan kepintaranku yang luar biasa ini." Axel berdiri dengan sedekap. Dia menatap hasil karyanya itu. Puzzle ukuran lumayan besar dengan potongan kecil-kecil.

Emily tersenyum, dia memeluk putranya. "Anak Mama memang yang terbaik."

"Wow, otakmu memang level seratus, Tampan." Mulut Dayana terbuka melihat hasil kerja otak Axel.

"Bagaimana kalau kita makan ice cream? Sepertinya, kali ini aku ingin makan rasa vanila." Axel mengecup pipi ibunya.

"Hanya itu?"

"Red velvet, kenapa aku tidak bisa bosan dengan cake buatan Mama yang itu. Sayang sekali tadi aku berikan pada pria dewasa itu."

"Mama akan siapkan." Mata Emily sedikit berkaca. Bahkan cake buatannya menjadi kesukaan dua pria itu. Sean dan Axel.

Waktu berputar. Saat Emily dan Axel menikmati kebersamaan. Dayana masuk.

"Emily, ada tamu vvip yang ingin bertemu dengan pemilik restoran ini."

"Bisakah kamu gantikan? Paling juga seperti biasa. Mereka komplain atau rewel soal makanan. Aku sedang malas hari ini."

"It's ok. Nikmati harimu, jangan berpikir terlalu berat."

"Tunggu! Biar aku saja, kamu jaga Axel. Aku harus profesional."

Emily pergi ke private room. Sampai di ambang pintu, baru sedikit dia membuka pintu itu, matanya membulat. Pria yang ingin bertemu dengannya adalah ... Sean.

"Aku ingin bertemu pemilik restoran ini. Panggil dia!"

Emily kaget, dia berjingkat mundur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status