Share

3. Diabaikan Karena Si Anak Sulung

"Di mana bajuku?" tanya Naura kala berhasil mengendalikan diri.

"Ada, tapi aku akan memberikan baju itu kalau kamu menyetujui permintaanku."

Naura menghela napas melihat senyum miring di wajah Arkan.

"Permintaan apa?” tanyanya pada pria itu cepat, “Lalu, apa yang kamu lakukan padaku kemarin?"

"Mm ... kemarin?” goda Arkan, “kita hanya bercinta, melewati malam yang begitu menyenangkan."

"Dasar pria mesum, pedofil. Kamu harus bertanggung jawab!"

"Iya, aku akan menikahimu," ucap Arkan santai.

Di luar prediksi, bukannya menolak pria itu malah mau menikahi Naura.

"Ak-aku ...."

Naura kehilangan kata-kata.

Menikah, membayangkannya saja sudah membuat Naura bergidik ngeri!

Bagaimana bisa mimpinya yang selama ini ia perjuangkan seketika runtuh hanya karena pernikahan?

*****

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Lala ragu karena ia yakin sahabatnya itu sedang marah kepadanya. "Minum madu ini, sepertinya kamu sedang lemas."

"Argh ...!"

Naura menjerit meluapkan kegundahan hatinya yang terasa sesak.

Dia pikir hidupnya akan baik-baik saja setelah keluar dari rumahnya. Namun, malah kemalangan yang menimpanya.

"Naura, kamu kenapa. Apa Arkan melakukan sesuatu sama kamu?"

Mendengar nama Arkan, tangisan Naura semakin menggila.

Ia merasakan sakit hati, sekaligus malu karena tubuhnya sudah disentuh pria itu.

Tidak hanya mengambil keperawanannya, Arkan meninggalkan banyak kissmark yang akan bertahan beberapa hari!

"Pr-pria tua itu menodaiku," ucap Naura dengan suara terisak.

Lala terdiam, syok.

Seandainya dia tidak mengikuti Rendy, temannya itu pasti masih utuh.

Sekarang, apa yang harus dia lakukan?

"Maafin aku, Naura,” ucap Lala pada akhirnya, “Aku enggak tau kalau jadinya seperti ini. Maafin aku.”

Naura tampak menangis. “Pria tua gila,” ucapnya sambil terisak.

Lala ikut menangis, sampai tersadar di satu titik.

“Tunggu ... pria tua? Siapa?" bingungnya, "apa dia memberimu uang?!"

Naura sontak mendelik tajam. Bagaimana bisa di saat seperti itu Lala malah membicarakan tentang uang?

"Apa kamu pikir aku pelacur? Setelah si tua Bangka itu menikmati tubuhku lalu aku meminta bayaran!" kesal Naura.

Lala melipat bibirnya, ia tak bisa berkutik karena memang itu pekerjaannya. Sayangnya, Naura tidak paham-paham, sih!

"Ehm ... harusnya kamu mau menerima uang itu, biar tubuhmu enggak sia-sia," ucap Lala ragu.

"Apa kamu seperti itu?" Naura yang kesal, akhirnya asal berbicara.

Sayangnya, bola mata Naura hampir terlepas mendengar ucapan Lala.

“Iya, aku seperti itu,” ucapnya, "Memangnya kenapa kalau pekerjaanku berjualan tubuh, yang penting menghasilkan uang kan?"

"Sejak kapan kamu melakukan pekerjaan itu?"

Lala berpikir sejenak sebelum akhirnya ia menjawab, "Sejak kita masih sekolah."

"Oh my God! Jadi, kamu sudah begitu-begitu sejak lama?" panik Naura.

Lala mengangguk. "Mau bagaimana lagi. Kamu tahu kan orang tuaku terlalu sibuk dengan keluarga masing-masing sampai lupa kalau mereka punya anak bersama?”

“Karena mimpiku ingin hidup nyaman, aku merelakan apa saja yang penting hidupku terjamin," tambah Lala lagi.

Mendengar itu, Naura jadi merasa tak enak.

Selama ini, temannya itu selalu bersedia mendengar curhatan, bahkan membantunya.

Naamun, Naura tak pernah tahu sama sekali kesulitannya.

Segera saja, dipeluknya tubuh Lala erat. "Sorry, aku gak pernah tahu. Makasih sudah bertahan selama ini, La."

Mendengar itu, Lala tersenyum.

Meski ia harus kehilangan sesuatu dalam hidupnya setidaknya ia masih berjuang untuk mempertahankan hidupnya.

"Apa kamu mau bergabung sama aku?" godanya pada Naura yang sontak memutar bola matanya.

"Kalau harus bekerja seperti itu—" Naura menjeda ucapannya ia masih bingung dengan pilihannya.

Drrttt!

Untungnya, ponsel Lala bergetar–menginterupsi kecanggungan antara keduanya.

"Tunggu, pacarku telepon," ujarnya, "Halo, Sayang."

"Lala, apa Naura bersamamu?"

Bukannya sang pacar, Arkan-lah yang berbicara.

Lala sontak melihat layar ponselnya, bingung.

Namun, nama Randy yang ada di sana. Seketika saja, otak Lala bekerja cepat.

Pria tua yang dimaksud Naura itu … Arkan?

"Ehm ... untuk apa kamu menanyakan dia? Setelah apa yang kamu lakukan sama dia, bahkan kamu enggak memberikan uang sepeser pun!" ketusnya langsung.

Dari seberang, Arkan terdengar menghela napas panjang. "Ponsel Naura tertinggal di apartemenku. Lagipula, ada yang ingin aku bicarakan serius dengan dia."

Lala menoleh ke arah Naura yang sedang memakan ayam goreng yang baru mereka pesan. "Masalah uang?"

"Iya. Aku tunggu di Cafe Duri sekarang juga."

Tut!

Tanpa basa-basi, panggilan dimatikan begitu saja, hingga membuat Lala kesal.

"Ini chickennya, aku benar-benar lapar jadi tinggal sisanya. Maaf," ujar Naura tiba-tiba, sambil menyunggingkan senyum.

Namun, Lala ambil pusing.

Saat ini, ia sedang berpikir alasan yang tepat untuk mengajak Naura bertemu dengan Arkan.

"Naura, di mana ponselmu?" tanya Lala pada akhirnya.

"Ponsel …?” panik Naura.

"Apa ponselku tertinggal di apartemen si tua bangka itu," ucapnya lagi.

"Mungkin. Ayo, aku antar ke rumah dia?"

Naura sontak menggeleng. "Enggak, aku enggak mau ketemu lagi sama si tua bangka itu lagi."

"Terus ponselmu? Lebih baik, temui saja dan kita ambil ponselnya," usul Lala mencoba meyakinkan Naura.

"Bukannya kamu kenal dia? Bisakah kamu menolongku untuk ambilkan ponsel atau mungkin dia bisa nyuruh ojek online?”

“Hari ini, aku harus ke kampus,” ucap Naura memberi alasan.

Dia memang tidak ingin bertemu Arkan, tetapi dia tidak berbohong.

Baginya, pendidikan tetap nomor satu.

Sejak kecil, Naura bermimpi menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar, seperti sepupunya yang sering keluar negeri bersama atasannya!

Jadi, di sinilah Naura–melangkahkan kakinya dengan cepat karena ia telat masuk kelas.

Dengan napas terengah-engah, ia masuk ke dalam kelas.

"Maaf, Pak. Saya telat," ucap Naura sembari melangkah masuk.

Seketika semua hening, sampai dosen pengajar itu bersuara, "Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu memutuskan keluar dari kampus, Naura?"

"A–apa?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status