Share

6. Mandi

Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?"

"Oh, begitu. Ok. Baiklah."

Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari.

"Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya.

"Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang.

"Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping.

"Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika sadar diri.

Wanita itu berdehem sebentar. "Eh, sementara cukup, rasanya."

"Nanti akan kutransfer uangnya. Beritahu saja rinciannya."

"Ok. Siap, Bos."

Kae sedikit bingung dengan percakapan mereka. Apalagi Nina pamit dan mengajak serta Bona. Keduanya pergi sambil membawa tas besar milik mereka beserta sampah-sampah pembungkus lainnya.

Kae melipat mukena sedang Erick merapikan pakaian yang tersisa. Pria itu ternyata cekatan merapikan rak baju dan membereskan kamar yang berantakan. Ia kemudian mendatangi istrinya. "Kamu belum mandi, 'kan?"

"Eh?"

"Ayo, aku mandikan."

"Apa?" Wanita itu langsung menyilang tangan di dada dengan wajah khawatir.

"Kenapa? Ada yang aneh?" Erick terlihat bingung.

"Kau ... mau mesum ya."

"Apa? Kae ... aku suamimu!"

"Iya, tapi aku belum ingin eh ... berhubungan intim denganmu dulu. A-aku belum mengenalmu. Aku eh, katanya aku boleh menganggapmu kakak?"

'Aduh, wanita ini ... siapa juga yang ingin berhubungan intim dengannya? Aku menikah dengannya juga terpaksa karena ingin mengelabui semua orang. Melihat tubuh wanita tanpa sehelai benang pun juga biasa. Tidak ada anehnya!' "Aku bilang "mandi" bukan yang lainnya!" jawab pria ini kesal.

"Tapi aku malu. Masa malu saja tidak boleh!" Kae tak kalah galak dengan wajah memerah. "Aku tidak mengenalmu. Apa aku tidak boleh merasakan takut!" Ia memukul tubuh suaminya dan mulai menangis.

Erick menangkap kedua tangan istrinya dan mulai merasa bersalah. Ia menghela napas. Pria itu duduk di tepi ranjang dan kemudian mendekap Kae dengan lembut. Perlahan tangis istrinya berhenti. Walaupun tadi Kae terlihat senang tapi ternyata ia masih gamang dengan keadaan di sekitar. Ia belum sepenuhnya percaya pada Erick.

"Aku hanya memandikanmu. Tidak akan melakukan hal lain. Percayalah padaku," ucap Erick lembut.

Tidak ada jawaban apa-apa dari mulut Kae. Pria itu melepas pelukan sambil memperhatikan wajahnya. "Kamu apa nyaman gak mandi dari tadi malam, hah?"

Kae menatap sang suami. Biar bagaimanapun, pria ini telah jadi suaminya dan berhak meminta haknya, tapi kini Erick berjanji untuk tidak melakukan selain membantunya mandi. Persis seperti perjanjian dulu di awal akan menikah. Apa setidaknya ia harus mulai belajar percaya padanya? Sebab sejauh ini Erick telah membuktikan kata-katanya. Wanita itu kemudian menghapus sisa-sisa air mata di pipi. "Aku malu, Mas."

"Tidak apa-apa kita mulai pelan-pelan saja ya. Senyamannya." Pria itu mulai melepas kancing baju istrinya dan melucuti pakaian itu satu persatu. Kae pasrah. Setelah itu Erick membuka baju kemejanya.

"Eh, kau mau apa?" Sang istri kembali menyilang tangan di depan dada, curiga.

"Tentu saja aku tak mau basah. Ayo!" Erick menggendong istrinya di kedua tangan dan membawanya ke kamar mandi. Di sana ternyata ada bak mandi panjang hingga Kae bisa didudukkan di dalam.

Sebenarnya wanita itu tak menyadari suaminya hampir menangis ketika sekilas melihat tubuh istrinya. Memori itu kembali datang, Erick hampir tak tahan mengingatnya. Saat mendudukkan istrinya di dalam bak, pria itu akhirnya memeluk leher istrinya erat hingga Kae terkejut.

"Bang?"

Tubuh pria itu bergetar. Air mata pun jatuh. Ia seperti berusaha bertahan tapi tak sanggup.

Kae sampai memegangi tubuh suaminya dan merasakan getarannya. "Bang?" tanyanya lembut.

"Kae, kau jangan ma ti ya, kau jangan ma ti."

Tentu saja wanita itu terkejut mendengar ucapan suaminya. "Bang, kamu kenapa?"

Erick dengan pelan melepas pelukan. Kini Kae bisa melihat air mata yang sudah mengalir di pipi sang suami. Pria itu kini terlihat canggung. "Maaf." Ia menghapus air matanya dengan kasar.

"Abang kenapa?" Kae kini melongo melihat pria yang biasanya terlihat biasa saja, kini menangis tanpa sebab di hadapannya.

"Eh, aku hanya tiba-tiba teringat ibuku. Dia sakit parah. Waktu SMP aku membantu Daddy memandikannya. Kadang bergantian dengan saudaraku yang lain. Eh ... aku hanya tiba-tiba teringat itu."

"Oh." Wanita itu terkejut mendengar cerita itu. Ia tidak tahu suaminya punya kisah pilu di dalam hidupnya. "Kakiku memang lumpuh tapi masih bisa sembuh, kok. Jangan khawatir," ucapnya menyemangati. Ia menepuk-nepuk tangan sang suami.

"Iya, tentu saja." Erick berusaha menepis kesedihannya. Kini ia membersihkan sisa-sisa air matanya dengan cepat. Kemudian ia beralih pada keran yang berselang. Ia meraihnya dan memberikan pada sang istri. "Ini. Kamu bisa basahi tubuhmu, 'kan? Nanti aku sabuni."

Kae menurut. Ternyata mereka bisa bekerjasama sehingga acara mandi untuk wanita itu benar-benar menyenangkan. Setelah itu pria itu menggendong istrinya kembali dan membawanya keluar kamar mandi.

"Mana handuknya?" tanya Kae bingung. Ia masih dalam keadaan basah dibawa keluar kamar mandi.

"Aku lupa. Kau ambil sendiri ya?" Erick mendatangi lemari pakaian dan Kae membukanya. Istrinya mengambil sendiri handuk dari lemari. Ketika ia hendak mengambil pakaian, pria itu menjauhkannya dari lemari dan membaringkan sang istri di ranjang. "Aku saja yang ambil. Nanti bajumu basah. Keringkan dulu badanmu."

"Ck!" Kae terlihat sebal. "Aku mau pakai baju piyama ya."

"Sesiang ini?"

"Aku 'kan hanya di tempat tidur!" kilah wanita itu sedikit cemberut.

"Ok, ok."

Sebentar kemudian, Kae telah berpakaian. Pria itu juga menyisir rambut istrinya. Itu membuat Kae melirik suaminya ketika di sisir. "'Kan aku hanya di tempat tidur?"

"Bukan berarti rambutmu harus berantakan, 'kan?"

Wanita ini merasa suaminya sangat menyayanginya. Melakukan apa pun untuknya, padahal ia belum memberikan apa pun pada sang suami. Bahkan kewajibannya. "Kamu tidak marah kita belum melakukan malam pertama, Bang?"

"Eh, tidak." 'Tidak ada keinginan juga aku melakukan itu.' Namun Erick berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kita makan siang ya. Kamu mau makan siang di sini?" Ia menyentuh rambut istrinya yang lembut.

"'Kan aku susah duduk di kursi keras." Memang keadaan Kae tidak bisa duduk tegak. Ia harus bersandar.

"Ya, sudah."

Keduanya kemudian makan di kamar. Erick menemani istrinya makan karena mungkin butuh bantuan. Seperti mengambilkan gelas minum. Pria itu sangat sabar. Bahkan ketika ia sedang makan, ia akan mengambilkan gelas minum ketika sang istri memintanya. Sungguh, sikap Erick membuat hati sang istri perlahan-lahan luluh. Pria itu juga pelan-pelan mulai menyukai perannya.

'Apa begini rasanya punya istri? Sama sekali tidak buruk. Makan ada yang menemani, tidur juga. Bahkan punya tempat bercerita. Sejatinya punya istri itu tidak harus cantik, yang penting nyaman bersamanya.'

Seusai makan siang, Erick berganti pakaian. Ia dengan santai berganti pakaian di depan sang istri. Kae berdebar-debar melihat otot tubuh suaminya yang memang dipelihara dengan baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status