Share

BAB 6 TUMBUHNYA RASA

Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu.

Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi.

“Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali.

“Apa?” Baskara terkejut.

“Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.

“Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.”

Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun.

Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati.

“Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan.

“Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku. 

“Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…” 

Aku menggeleng.

“Lalu, apa maumu?” Dia bertanya lagi. Makin meradang karena dugaannya salah.

“Bebaskan aku!” Sisa kekuatanku hanya mampu mengatakan itu.

Tiba-tiba Baskara meletakkan kepalanya di pundakku. Ekspresinya terlihat lelah dan tidak lagi mood untuk bertengkar atau berkelahi.

“Hibur aku malam ini saja, Andini!” 

Di luar dugaan, Baskara mengiba kepadaku. Seorang Baskara yang biasanya angkuh, sombong, suka memerintah orang lain dan tidak peka pada perasaan siapapun! Dia mengiba padaku.

Apa aku tidak salah dengar?

“Baskara?” Seketika aku bangkit dan seolah mendapatkan energi untuk melakukan sesuatu.

“Kumohon… Hibur aku!” Pintanya sekali lagi. Kedua matanya memelas.

Dengan gemetar, kedua tanganku memeluknya. Aku tak bertanya apa-apa lagi. Kupikir ini yang bisa aku lakukan sekarang, setidaknya satu di antara kami nanti akan menyesal setelah pagi datang. 

Baskarapun tersungkur dalam pelukanku.

Sejenak aku hentikan peperangan dan permusuhanku. Kuletakkan egoku dan rasa keinginanku untuk balas dendam.

Aku melihat Baskara sebagai manusia. Manusia biasa yang layak untuk dikasihani dan diberi kesempatan kedua.

**

Keesokan paginya, kurasakan ngilu di tubuhku makin menjadi-jadi. Rupanya kami berdua semalam tertidur di lantai beralaskan karpet.

Aku terduduk dan Baskara meletakkan kepalanya di pundakku. 

“E… ehh… aku harus ke kamar mandi.” Bisikku. 

Baskara belum ada tanda-tanda sadar atau terbangun dari tidurnya. Meski posisi kami tidak nyaman, badan tertekuk dan bertindihan satu sama lain, ajaibnya dia terlihat tidur lelap dan pulas.

“Baskara… Tuan… bangunlah!” Aku sedikit meninggikan volume suara.

Belum juga ada reaksi. Tangan kananku menggerakkan kepalanya perlahan.

“A-aapa?” Akhirnya dia bersuara dalam keadaan mata masih terpejam. “Oh, maaf.”

Baskara akhirnya bangkit. Suara gemertak sendi-sendinya terdengar karena semalaman dia tidur dengan sedikit menekuk punggung dan kakinya.

Tak bisa menahan rasa malu lebih lama lagi, akupun segera berlari ke kamar mandi. Kunyalakan kran wastafel sehingga aku tak lagi mendengar apapun yang terjadi di luar kamar mandi.

“Celaka! Ini adalah kamar mandi Baskara. Aku harus kembali ke kamarku untuk mandi.”

Secepatnya aku membuka pintu dan melihat Baskara yang masih keheranan.

“Aku harus pergi. Aku mau mandi di kamarku saja.”

Mungkin jika dilihat dari sudut pandang orang lain, kami terkesan malu-malu. Tapi memang itulah yang sebenarnya terjadi.

**

Saat sarapan, aku mencoba menata hatiku agar bisa bersikap normal. Memang itu sulit aku lakukan setelah apa yang terjadi semalam. Baskara pun sepertinya demikian, hanya saja dia memang lebih lihai dalam menyembunyikan sesuatu.

Mak Ijah menyajikan sarapan secepatnya dan mempersilakan kami menyantapnya.

“Ayo, segera dimakan mumpung masih hangat. Ini kesukaan Tuan Muda semuanya…” Mak Ijah dengan aura keibuan seperti biasanya, mengambilkan piring satu persatu untukku dan Baskara.

Kedua jemarinya masih asyik main handphone. Atau itu hanya kilahnya saja agar teralihkan?

Sejujurnya, pagi ini bagiku adalah pagi terindah selama aku beberapa bulan berada di villa. Aku diperlakukan seperti manusia.

Dan ada hal lain yang mulai membuatku sedikit tidak nyaman. Perasaan baru yang tumbuh sejak semalam. Apakah aku jatuh cinta pada Baskara?

Atau ini hanya karena aku merasa dibutuhkan saja olehnya semalam? 

“Tuan Muda, ayo segera disantap. Mak Ijah mau ke belakang lagi.” Mak Ijah memberikan kode padaku untuk mengambilkan nasi dan lauk-pauk di piring Baskara.

“Mbak Andini, ayo suaminya dilayani…” Mak Ijah seperti akan tertawa namun segera ditahan saat mengatakan itu padaku.

Aku makin kikuk. 

Kedua mata Mak Ijah seakan menyeretku untuk melakukan apa yang dia katakan tadi.

“Mak?” aku semakin malu.

“Ayo, buruan. Itu Tuan Baskara menunggu dilayani.” 

Kali ini Baskara ikut memperhatikan tingkahku. Dia sengaja membiarkanku mengambilkan nasi dan lauk di piringnya. Karena aku sedikit grogi, kuambilkan saja sekenanya dengan jumlah melimpah.

“Andini?” tanya Baskara saat melihat piring kosong yang kini sudah berubah menjadi gunung nasi.

“Ya?” balasku tanpa melihat ke arahnya sama sekali.

“Kamu ingin aku mati muda karena diabetes? Nasinya kebanyakan itu…” celotehnya.

Kami semua tertawa. Selera humornya memang boleh dibilang sedikit berbeda dariku.

**

Baru pertama kali rasanya, aku menikmati tinggal di villa. Dugaanku, ini adalah awal menuju era perubahan. Meskipun awalnya kami menikah karena sama-sama terpaksa dan bukan karena kehendak sendiri, kupikir hari ini adalah awal yang baik untuk memulai semuanya dari awal.

Baskara sedikit melunak. Sempat aku melihat dia beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Hanya saja aku pura-pura tidak mengetahuinya.

“Tuan Muda, apa mau Mak Ijah bungkuskan makanan kesukaannya? Siapa tahu nanti di perjalanan kelaparan, jadi tidak perlu mampir-mampir lagi.”

Mendengar Mak Ijah menawarinya makanan, Baskara mengangguk dan menyetujuinya. Apakah seperti ini dirinya saat normal? Sisi yang sama sekali berlum pernah aku lihat sebelumnya.

Diam-diam aku mengamatinya saat bercengkerama dengan Mak Ijah dan Pak Gun. Ada tawa renyah dan sesekali aura bahagia juga terpancar dari dirinya. 

Dia bukan Baskara yang selama ini aku kenali. Apakah karena semalam itu dia jadi merasa terbuka dan taka da lagi hal yang ditutup-tutupi?

“Mbak Andini, ini Tuan Muda mau pamitan pulang ke kota.” Pak Gun melambaikan tangan saat aku hanya berdiri mematung dari pintu depan ruang tamu.

Nampak mobil Alphard hitam sudah Bersiap parkir di carport depan. Baskara sudah duduk manis di kursi belakang. Sopirnya sesekali mengecek barang apakah mungkin ada yang tertinggal.

“Iya Pak.” Aku sekali lagi harus menata hati.

Apa yang akan aku lakukan dan apa yang seharusnya aku lakukan jika suamiku hendak meninggalkan villa? Haruskah aku cium tangan? Mencium pipi dan mungkin lebih dari itu?

Kudekatkan kakiku menuju mobil. Meskipun ini terasa sedikit aneh karena aku belum pernah melakukannya. Ah, mungkin setelah ini aku akan terbiasa.

“Hati-hati…” pesanku lirih.

Baskara tersenyum dan mengangguk. 

Mak Ijah dan aku melambaikan tangan, begitu juga dengan Pak Gun yang bersiap di gerbang depan bersama dengan sekuriti.

“Pak Gun, jangan lupa soal undangannya! Kasih tahu Andini dan Mak Ijah juga ya untuk datang…” kalimat itu yang terdengar jelas sebelum pintu mobil ditutup. 

Undangan? Aku teringat pada setumpuk surat undangan yang tergeletak di meja depan tadi. Entah kenapa perasaanku mendadak berubah seketika. Sederet scenario mulai bermain di benakku. Kuharap, semua dugaan-dugaan itu tidak benar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status