Aku pasrahkan sepenuhnya diriku pada Baskara. Energiku belum sepenuhnya pulih. Badan yang terasa dibanting berkali-kali dengan tulangku yang serasa patah satu persatu.
Mau memberontak dengan kalimatpun aku tak sanggup lagi.
“Bunuh aku saja!” Pintaku untuk terakhir kali.
“Apa?” Baskara terkejut.
“Aku ingin penderitaanku selesai.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“Ah, di mana seninya hidup, Andini, iika aku harus menghabisimu sekarang? Aku lebih menikmati dirimu sebagai mainanku yang bisa mengobati rasa bosan kapanpun aku mau.”
Gumamnya tanpa merasa ada yang salah dari kalimatnya sedikitpun.
Ingin sekali aku berteriak dan memakinya, namun diriku hanya sanggup menyaring kalimat itu sehingga tetap terjebak di dalam hati.
“Andini…” Ibu jarinya meraba pipiku. Sungguh di luar dugaan.
“Baskara, tolong… aku ingin semuanya selesai.” Bisikku.
“Sssst… apa maksudmu? Kamu ingin segera menjadi Nyonya Baskara juga seperti Laura? Ck, ck, ck…”
Aku menggeleng.“Lalu, apa maumu?” Dia bertanya lagi. Makin meradang karena dugaannya salah.
“Bebaskan aku!” Sisa kekuatanku hanya mampu mengatakan itu.
Tiba-tiba Baskara meletakkan kepalanya di pundakku. Ekspresinya terlihat lelah dan tidak lagi mood untuk bertengkar atau berkelahi.
“Hibur aku malam ini saja, Andini!”
Di luar dugaan, Baskara mengiba kepadaku. Seorang Baskara yang biasanya angkuh, sombong, suka memerintah orang lain dan tidak peka pada perasaan siapapun! Dia mengiba padaku.
Apa aku tidak salah dengar?
“Baskara?” Seketika aku bangkit dan seolah mendapatkan energi untuk melakukan sesuatu.
“Kumohon… Hibur aku!” Pintanya sekali lagi. Kedua matanya memelas.
Dengan gemetar, kedua tanganku memeluknya. Aku tak bertanya apa-apa lagi. Kupikir ini yang bisa aku lakukan sekarang, setidaknya satu di antara kami nanti akan menyesal setelah pagi datang.
Baskarapun tersungkur dalam pelukanku.Sejenak aku hentikan peperangan dan permusuhanku. Kuletakkan egoku dan rasa keinginanku untuk balas dendam.
Aku melihat Baskara sebagai manusia. Manusia biasa yang layak untuk dikasihani dan diberi kesempatan kedua.
**
Keesokan paginya, kurasakan ngilu di tubuhku makin menjadi-jadi. Rupanya kami berdua semalam tertidur di lantai beralaskan karpet.
Aku terduduk dan Baskara meletakkan kepalanya di pundakku.
“E… ehh… aku harus ke kamar mandi.” Bisikku.
Baskara belum ada tanda-tanda sadar atau terbangun dari tidurnya. Meski posisi kami tidak nyaman, badan tertekuk dan bertindihan satu sama lain, ajaibnya dia terlihat tidur lelap dan pulas.
“Baskara… Tuan… bangunlah!” Aku sedikit meninggikan volume suara.
Belum juga ada reaksi. Tangan kananku menggerakkan kepalanya perlahan.
“A-aapa?” Akhirnya dia bersuara dalam keadaan mata masih terpejam. “Oh, maaf.”
Baskara akhirnya bangkit. Suara gemertak sendi-sendinya terdengar karena semalaman dia tidur dengan sedikit menekuk punggung dan kakinya.
Tak bisa menahan rasa malu lebih lama lagi, akupun segera berlari ke kamar mandi. Kunyalakan kran wastafel sehingga aku tak lagi mendengar apapun yang terjadi di luar kamar mandi.
“Celaka! Ini adalah kamar mandi Baskara. Aku harus kembali ke kamarku untuk mandi.”
Secepatnya aku membuka pintu dan melihat Baskara yang masih keheranan.“Aku harus pergi. Aku mau mandi di kamarku saja.”
Mungkin jika dilihat dari sudut pandang orang lain, kami terkesan malu-malu. Tapi memang itulah yang sebenarnya terjadi.**
Saat sarapan, aku mencoba menata hatiku agar bisa bersikap normal. Memang itu sulit aku lakukan setelah apa yang terjadi semalam. Baskara pun sepertinya demikian, hanya saja dia memang lebih lihai dalam menyembunyikan sesuatu.
Mak Ijah menyajikan sarapan secepatnya dan mempersilakan kami menyantapnya.
“Ayo, segera dimakan mumpung masih hangat. Ini kesukaan Tuan Muda semuanya…” Mak Ijah dengan aura keibuan seperti biasanya, mengambilkan piring satu persatu untukku dan Baskara.Kedua jemarinya masih asyik main handphone. Atau itu hanya kilahnya saja agar teralihkan?
Sejujurnya, pagi ini bagiku adalah pagi terindah selama aku beberapa bulan berada di villa. Aku diperlakukan seperti manusia.Dan ada hal lain yang mulai membuatku sedikit tidak nyaman. Perasaan baru yang tumbuh sejak semalam. Apakah aku jatuh cinta pada Baskara?
Atau ini hanya karena aku merasa dibutuhkan saja olehnya semalam?
“Tuan Muda, ayo segera disantap. Mak Ijah mau ke belakang lagi.” Mak Ijah memberikan kode padaku untuk mengambilkan nasi dan lauk-pauk di piring Baskara.
“Mbak Andini, ayo suaminya dilayani…” Mak Ijah seperti akan tertawa namun segera ditahan saat mengatakan itu padaku.
Aku makin kikuk.
Kedua mata Mak Ijah seakan menyeretku untuk melakukan apa yang dia katakan tadi.
“Mak?” aku semakin malu.
“Ayo, buruan. Itu Tuan Baskara menunggu dilayani.”
Kali ini Baskara ikut memperhatikan tingkahku. Dia sengaja membiarkanku mengambilkan nasi dan lauk di piringnya. Karena aku sedikit grogi, kuambilkan saja sekenanya dengan jumlah melimpah.
“Andini?” tanya Baskara saat melihat piring kosong yang kini sudah berubah menjadi gunung nasi.
“Ya?” balasku tanpa melihat ke arahnya sama sekali.
“Kamu ingin aku mati muda karena diabetes? Nasinya kebanyakan itu…” celotehnya.
Kami semua tertawa. Selera humornya memang boleh dibilang sedikit berbeda dariku.
**
Baru pertama kali rasanya, aku menikmati tinggal di villa. Dugaanku, ini adalah awal menuju era perubahan. Meskipun awalnya kami menikah karena sama-sama terpaksa dan bukan karena kehendak sendiri, kupikir hari ini adalah awal yang baik untuk memulai semuanya dari awal.
Baskara sedikit melunak. Sempat aku melihat dia beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Hanya saja aku pura-pura tidak mengetahuinya.
“Tuan Muda, apa mau Mak Ijah bungkuskan makanan kesukaannya? Siapa tahu nanti di perjalanan kelaparan, jadi tidak perlu mampir-mampir lagi.”
Mendengar Mak Ijah menawarinya makanan, Baskara mengangguk dan menyetujuinya. Apakah seperti ini dirinya saat normal? Sisi yang sama sekali berlum pernah aku lihat sebelumnya.
Diam-diam aku mengamatinya saat bercengkerama dengan Mak Ijah dan Pak Gun. Ada tawa renyah dan sesekali aura bahagia juga terpancar dari dirinya.
Dia bukan Baskara yang selama ini aku kenali. Apakah karena semalam itu dia jadi merasa terbuka dan taka da lagi hal yang ditutup-tutupi?
“Mbak Andini, ini Tuan Muda mau pamitan pulang ke kota.” Pak Gun melambaikan tangan saat aku hanya berdiri mematung dari pintu depan ruang tamu.
Nampak mobil Alphard hitam sudah Bersiap parkir di carport depan. Baskara sudah duduk manis di kursi belakang. Sopirnya sesekali mengecek barang apakah mungkin ada yang tertinggal.
“Iya Pak.” Aku sekali lagi harus menata hati.
Apa yang akan aku lakukan dan apa yang seharusnya aku lakukan jika suamiku hendak meninggalkan villa? Haruskah aku cium tangan? Mencium pipi dan mungkin lebih dari itu?
Kudekatkan kakiku menuju mobil. Meskipun ini terasa sedikit aneh karena aku belum pernah melakukannya. Ah, mungkin setelah ini aku akan terbiasa.
“Hati-hati…” pesanku lirih.
Baskara tersenyum dan mengangguk.
Mak Ijah dan aku melambaikan tangan, begitu juga dengan Pak Gun yang bersiap di gerbang depan bersama dengan sekuriti.
“Pak Gun, jangan lupa soal undangannya! Kasih tahu Andini dan Mak Ijah juga ya untuk datang…” kalimat itu yang terdengar jelas sebelum pintu mobil ditutup.
Undangan? Aku teringat pada setumpuk surat undangan yang tergeletak di meja depan tadi. Entah kenapa perasaanku mendadak berubah seketika. Sederet scenario mulai bermain di benakku. Kuharap, semua dugaan-dugaan itu tidak benar.
Dugaanku tidak salah. Hal yang sesungguhnya tidak ingin aku saksikan akan terjadi. Sebuah nama terpampang di kertas undangan mewah berbalut warna emas dan merah. Kedua netraku masih terpaku pada tiap foto hasil jepretan fotografer handal ibukota. Baskara Jayakusuma bersanding dengan nama Laura Wright Danardi. Hatiku pecah berkeping. Baru semalam rasanya rasa cinta itu muncul dan berbunga. Tiba-tiba layu seketika. “Lho, Mbak Andini sudah baca undangannya?” Mak Ijah membangunkanku dari lamunan. Seketika aku letakkan kembali undangan mewah ke atas meja. Air mata sebisanya kutahan. “Eh, anu. Tadi Tuan Baskara berpesan, akhir pekan ini untuk mengajak Mbak Andini juga menghadiri pesta pernikahan Tuan Muda.” Pak Gun menyela. Setelah dia memindahkan beberapa pot bunga keluar ruangan, Pak Gun mendekati kami. “Apa sebaiknya Mbak Andini segera siap-siap saja, siapa tahu ada barang yang dibutuhkan untuk dibeli.” Hanya senyuman yang bisa aku berikan sebagai jawaban kali ini. Kepalaku seper
“Tante, Apakah aku mengganggu?”Wanita berparas ayu itu menyambut kedatangannya dengan pelukan.“Bayu! Kapan kamu datang?”Keduanya berpelukan. Seketika dia melupakan keberadaanku.“Ijah, bawa dia pergi. Akan aku selesaikan urusan ini di lain waktu.” Pesannya.Mak Ijah secepatnya mengajakku keluar.“Kita selamat, Mbak. Untung ada Tuan Bayu.” Nafasnya lega.“Siapa Bayu?” tanyaku sambil berjalan mensejajari Mak Ijah. “Apa dia keponakan ibu Baskara?”Mak Ijah mengangguk. “Dia keponakan kesayangan Nyonya Besar. Anak dari kakak Tuan Haji Agus, ayah Tuan Baskara.“Sepertinya beliau orang baik. Begitu perhatian dengan keponakannya.” Gumamku.“Kita tunggu dulu Pak Gun di sini. Tadi Pak Gun sudah menyiapkan satu kamar untuk Mbak Andini istirahat.”Tak berselang lama, Pak Gun datang membawa sebuah kartu di tangannya.“Mbak Andini, istirahat dulu di sini. Tuan Baskara bilang sebaiknya menginap saja daripada kelelahan. Semua keluarga besar juga di sini menginap di lantai atas.”“Maksudnya?” aku k
ANDINI's Point of View (POV) Mak Ijah tergopoh-gopoh menyusulku ke kamar. Bisa kusaksikan sendiri kalau nafasnya seakan mau putus. Sebetulnya aku kasihan melihatnya. Tapi aku harus tetap bertahan dengan rencana utamaku. Sudah cukup aku diatur-atur oleh Baskara dan keluarganya. “Mak, semua barang sudah saya packing. Sekarang tinggal check out. Pak Gun suruh siapkan mobilnya.” Perintahku dengan nada yang sengaja kubuat agar terkesan marah. “Mbak… Mbak Andini jangan marah ya…” bisiknya sambil mengelus-elus rambutku yang terurai panjang. “Mak, saya sudah tidak tahan di sini. Melihat keluarga Tuan Baskara yang semena-mena…” Mak Ijah melanjutkan packingku memasukkan beberapa barang ke tasnya. “Mau tidak mau, suka atau tidak suka… kita yang sudah dibeli waktunya oleh mereka, tidak boleh banyak mengeluh. Mak Ijah tidak bisa menolong apa-apa. Mak Ijah juga tak punya kuasa.” Mendengar nasehat tulusnya, aku terdiam. Sejuta kalimat yang sudah kurangkai padam. “Ayo, kita segera pulang ke
BASKARA’S POV Jam tangan Rolez melingkar di lengan kiriku telah menunjukkan pukul sebelas malam. Sengaja aku tidak mengganti pakaian setelah acara selesai. Hanya jas yang aku tanggalkan dan telah kugantung di dekat pintu masuk kamar. Kuhela nafas panjang setelah akhirnya kulalui hari ini. Rangkaian acara pesta yang sebenarnya lebih ingin aku skip, namun demi kebahagiaan Laura, aku rela melakukannya. “Sayang…” suara manja istriku, Laura mulai terdengar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Sosok cantik seperti bidadari itu muncul. “Iya, Sayang?” sapaku dan bangkit dari sofa tempatku duduk sejak tadi. “Hmmm… bisakah kamu bantu aku melepas pakaianku? Sejak tadi aku kesulitan…” Entah itu maksudnya menggodaku atau benar-benar ingin meminta bantuanku. Ada sensasi lain saat Laura mengatakan ini sekarang. “Baiklah…” Bagaikan binatang buas yang mendatangi buruannya, aku dalam sepersekian detik sudah ada di belakangnya. Mencoba mencari di mana kait baju dan resleting yan
ANDINI's POVSiapa sangka akhirnya aku mendapatkan ijin untuk menemani ibu ke klinik. Seharian menungguinya dan syukurlah aku berkesempatan untuk makan malam. Hal yang sudah sangat lama aku tidak bisa lakukan bersama semenjak terjadi insiden pernikahan kontrak itu.“Makan yang banyak, Andini… badanmu kurusan…” Ibu menambahkan beberapa sendok daging dan sayuran ke piringku.Aku hanya tersenyum sambil berusaha mengunyah makanan yang telah aku makan. Mungkin ini adalah keajaiban yang terjadi di tengah-tengah peliknya ujian yang menerpaku. Bisa bertemu ibu.“Iya, Kak… makan yang banyak.” Adikku ikut-ikutan menimpali.“Iya, iya… Andini nambah sendiri nanti, Bu.” Jawabku dengan keadaan mulut yang penuh dengan makanan.“Ibu, apa sekarang masih suka pusing?” Prasetia yang tadinya diam, kini ikut nimbrung dengan pembicaraan kami.Ada perasaan kikuk saat kini aku berdekatan dengannya. Mungkin karena beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah bertemu dengannya lagi.Atau… karena aku sudah berstatu
BASKARA's POV Andini seperti sedang melihat hantu saat aku berdiri di depan pintu ruang tamu. Buku yang sedang dibacanya jatuh ke meja. “Surprise!” Ujarku saat melihatnya sedikit ketakutan. Ekspresi Andini terlihat makin terkejut. “Ka…ka… kamu? Kenapa ke sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Andini padaku. Seperti itukah seorang istri menyambut suaminya datang berkunjung? Ah, aku harus meralat. Bukan istri tetapi seorang wanita bayaran. “Andini, kamu benar-benar tidak berterima kasih padaku. Semua keluargamu sudah aku biayai. Uang yang aku keluarkan tidak sedikit. Ketika aku datang, kamu malah menanyaiku kenapa aku ke mari?” Kalimat itu tak bisa kutahan lagi. Lama-lama kesabaranku sudah habis. Andini perlu dididik. “Maaf, Tuan Baskara…” Jelas Andini,”saya tidak tahu Tuan Baskara akan ke sini. Apalagi di masa pengantin baru. Tuan harusnya bersama istri tercinta menikmati kebersamaan…” Aku tidak bisa menebak apakah Andini sedang memberiku ceramah pernikahan atau mengejekku. “Andi
ANDINI’S POV Badanku terkulai lemah kehabisan tenaga. Nafasku serasa hampir putus. Dinginnya suasana malam villa saat hujan, membuatku semakin tak berdaya untuk beranjak dari sisi Baskara. Entah aku sudah mulai terbiasa atau tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kedua tangan Baskara yang kekar masih memelukku erat-erat. Terkadang aku berfikir, mungkin, jika aku dan dia bertemu tidak dalam paksaan… akankah hal-hal yang aku lalui ini menjadi momen terindah? “Andini…” Rupanya Baskara juga belum tertidur. Aku merasa risih saat dirinya memanggilku dari jarak sedekat ini. Seintim ini. “Andini, aku tahu kamu belum tidur.” Bisiknya. Aku tak berkata apapun. Nafaspun akan aku tahan jika aku tak memerlukan oksigen untuk melanjutkan hidup. “Andini…” Baskara mulai mengelus-elus tubuhku, sehingga aku menggeliat. “Kalau kau bergerak satu milimeter saja, aku tak akan segan-segan untuk mencekikmu! Diamlah Andini, jangan bergerak!” Tak ada yang bisa aku lakukan. Terkurung di kamarnya.
BASKARA's POV Sekembalinya ke rumah, Laura sudah Bersiap menyambutku dengan lingerie warna merah. Dia tahu warn aitu adalah favoritku. Rambutnya sudah tergerai panjang. Hm, seperti sedang berhadapan dengan Princess dari Eropa. “Welcome home!” kedua tangannya merangkulku. Pak Gun yang membawakan barang-barangku berhenti di depan pintu langsung undur diri. “Hanya pelukan saja? Katanya kamu kangen semalam.” Godaku. Laura mendaratkan ciumannya bahkan ketika kami masih di depan pintu kamarku. Seorang pembantu yang terdengar lewat terburu-buru menjauh. Tanpa kusadari, Mama datang dari arah berlawanan. Beliau berdehem dan batuk yang aku tahu itu pasti dibuat-buat. “Baskara, aku tahu kau rindu pada istrimu. Tapi tolong, kalian tidak hidup berdua saja di sini. Lakukan itu semuanya atau apapun yang kamu mau di kamar. Dan… tutup pintunya!” Suara hak sepatunya terdengar makin jauh menuruni anak tangga. Masih kudengar suaranya mengeluh. “Anak muda jaman sekarang, masak hal seperti itu mu