Di sisi lain, Windraya baru tiba di rumah tepat jam setengah sembilan malam.
Namun, dia mengernyitkan kening mendapati Ranum sudah berdiri di ruang tamu, seakan menyambut kedatangannya. Seperti biasa, wanita muda berkulit sawo matang itu menyembunyikan paras cantiknya dengan menunduk.
“Kamu sedang apa di sini?”
“Saya menunggu Anda pulang, Pak,” jawab Ranum pelan, tanpa berani menatap langsung suami sirinya.
“Bagaimana mama?”
“Bu Nindira sudah tidur sejak beberapa saat yang lalu. Itulah kenapa saya menunggu Anda di sini,” jawab Ranum lagi. “Apa Anda sudah makan malam?” tanyanya.
“Sudah,” jawab Windraya singkat.
Dia melihat sekeliling.
Pria itu sudah membaca pesan yang dikirimkan Mayla yang katanya ada urusan kantor.
Jadi, tak berharap sang istri datang menyambut kepulangannya. “Aku ingin mandi dulu,” ucap Windraya, seraya berlalu dari hadapan Ranum.
“Biar saya siapkan, Pak!”
Windraya tertegun. “Boleh,” balasnya.
Jujur, dia bahkan tak pernah disiapkan seperti ini oleh istri yang dicintainya.
Dalam diam, dia berjalan diikuti Ranum.
Setibanya di dalam kamar, Windraya langsung masuk ke walk in closet sedangkan Ranum ke kamar mandi.
Wanita muda itu menyiapkan air hangat untuk sang suami. Dia berusaha melakukan tugas dengan baik, meskipun kehadirannya tak berarti apa-apa bagi pengusaha tampan 38 tahun tersebut.
Beberapa saat berlalu, Ranum sudah selesai menyiapkan segala keperluan Windraya. Namun, pria itu tak ada di kamar.
Ketika Ranum hendak keluar dari sana, tiba-tiba pintu terbuka dari luar. Ranum langsung melonjak kaget sambil memegangi dada. “Bapak!”
“Maaf.” Windraya menyunggingkan senyum kecil, melihat ekspresi terkejut yang diperlihatkan Ranum. Namun, pria itu tak banyak bicara. Dia langsung masuk.
“Air dan lain-lain sudah saya siapkan, Pak. Saya permisi dulu,” pamit Ranum, seraya melangkah melewati pintu.
“Tunggu,” cegah Windraya.
Ranum menghentikan langkah, kemudian menoleh. “Anda membutuhkan yang lain, Pak?” tanyanya, tak berani melawan tatapan Windraya terlalu lama.
“Tunggulah di kamarmu,” ucap Windraya, sebelum masuk ke kamar mandi.
Meski bingung, Ranum mengangguk.
Dia melangkah keluar dari sana dengan membawa debaran tak menentu dalam dada. Wanita muda berambut gelap tersebut tiba-tiba merasa begitu gugup, membayangkan Windraya akan masuk ke kamarnya.
“Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” resah Ranum, seraya berjalan mondar-mandir. Belum sempat menetralkan kegelisahan tadi, pintu kamar sudah terbuka. Ranum kembali terperanjat kaget.
“Kenapa?” tanya Windraya heran.
“A-ti-tidak apa-apa,” sahut Ranum gelagapan. “Anda mandi cepat sekali,” celetuknya tanpa sadar.
Windraya menautkan alis, menanggapi sikap aneh istri sirinya.
Pria tampan dengan T-Shirt round neck hijau army tersebut menyunggingkan senyum tipis. “Kenapa belum ganti baju?”
Mendengar pertanyaan demikian, Ranum segera mengangkat wajah. Dia ingin mengatakan sesuatu. Akan tetapi, suaranya seperti tertahan di tenggorokan.
Wanita muda itu hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke kamar mandi.
Benar saja! Di kapstok stainles sudah tergantung rapi sebuah lingerie warna merah, dengan model berbeda dari yang kemarin.
“Ya, ampun. Kenapa Pak Win suka sekali dengan baju tidur seperti ini?” pikir Ranum, polos.
Berhubung Windraya sudah menunggu, Ranum tak berlama-lama di sana. Dia segera berganti pakaian dengan baju tidur satin berenda yang telah disiapkan. Ranum juga merapikan rambut kepangnya. Setelah siap, dia melangkah keluar dari kamar mandi.
Seperti biasa, Ranum menundukkan wajah. Dia tak berani melawan tatapan lekat Windraya, yang terlihat menakutkan. Ranum pun hanya mematung, tak berani mendekat.
“Kemarilah!”
Ranum mengangguk, kemudian melangkah pelan ke dekat tempat tidur di mana Windraya menunggunya. Dia berdiri di hadapan pengusaha tiga puluh delapan tahun tersebut.
“Apa kamu selalu mengepang rambut seperti ini?” tanya Windraya, membuka percakapan.
Lagi-lagi, Ranum hanya mengangguk sambil terus menunduk.
“Buka kepangmu,” suruh Windraya.
Ranum kembali mengangguk.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, dia melepas karet kecil di ujung kepang. Sambil terus menunduk, wanita muda itu membuka jalinan rambut panjangnya hingga ke atas. Tampaklah rambut hitam berkilau tergerai indah, di pundak sebelah kanan Ranum.
“Kamu memiliki rambut seindah ini. Kenapa disembunyikan?” Suara Windraya terdengar begitu menggetarkan kalbu. Membuat Ranum merinding. Terlebih, saat tangan pengusaha tampan tersebut merayap perlahan ke belakang leher.
“Istriku tidak di rumah,” ucap Windraya setengah berbisik.
“Tadi, saya berpapasan dengan Bu Mayla.”
“Apa dia melakukan sesuatu padamu?” tanya Windraya dengan nada bicara seperti tadi, sambil mengusap-usap lembut tengkuk Ranum, yang entah mengapa begitu menggoda.
Menahan geli, Ranum menggeleng pelan.
“Syukurlah. Kupastikan dia tidak akan berani bertindak kasar padamu. Namun, sebisa mungkin hindari saja dulu,” saran Windraya.
Hanya saja, Ranum tidak menyangka jika suaminya itu tiba-tib meremas pelan rambut panjang Ranum, lalu menariknya perlahan hingga wajah sang istri siri terangkat.
Empphh!
Tanpa aba-aba, Windraya menikmati bibir Ranum.
Awalnya hanya berupa sentuhan biasa. Makin lama, pertautan itu makin dalam.
Lumatan demi lumatan mesra penuh gairah, membakar hasrat keduanya.
Ranum yang masih polos tak kuasa menahan gejolak dalam dada, ketika merasakan permainan lidah Windraya yang sudah sangat berpengalaman.
Wanita itu sedikit terengah karena Windraya tak membiarkannya bernapas leluasa.
Tak ada jalan lain bagi Ranum, selain menggigit pelan bibir bawah suami sirinya.
“Ah ….” Windraya meringis kecil, setelah melepaskan pertautan.
“Ma-maafkan saya, Pak.” Ranum merasa tak enak karena telah menyakiti Windraya. Dia takut pria itu marah dan memberinya hukuman. Ranum segera menundukkan wajah.
Akan tetapi, yang terjadi justru di luar dugaan.
Windraya justru tersenyum, seraya mengangkat dagu Ranum. “Kenapa harus meminta maaf? Digigit saat berciuman adalah salah satu hal yang membuat adegan itu jadi makin menyenangkan.”
Bisikan pria itu di telinga Ranum membuatnya meremang. “Tapi, Anda kesakitan, Pak,” ujar Ranum, berusaha fokus.
“Satu gigitan kecil seperti itu, tak sebanding dengan apa yang akan kudapatkan.”
Ranum menatap bingung Windraya yang tiba-tiba saja menelusupkan tangannya ke balik lingerie yang Ranum kenakan.
!!!
Ranum tersentak dan berusaha menjauh. Namun, suaminya itu menahannya.
“Ah, Pak ….” Ranum terkejut, merasakan tangan Windraya di salah satu payudaranya.
“Berapa banyak pria yang sudah memegang ini?” tanya Windraya, sambil terus meremas pelan payudara Ranum.
Pria itu terlihat sangat berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Kali ini, dia begitu nakal dan lebih menakutkan.
“Ti--tidak ada,” jawabnya. “Bapak yang pertama menyentuh saya,” ucap wanita muda itu, tak berani melawan tatapan Windraya.
“Begitukah?”
Ranum mengangguk, disertai lenguhan pelan.
Dia menggigit bibir bawah karena tak kuasa menahan gejolak kenikmatan yang menyerang kian dahsyat, merasakan sentuhan Windraya yang terus membelah tubuhnya.
Terlebih, ketika pria itu kembali melumat bibir, sambil merebahkan tubuh Ranum ke tempat tidur ...
"Kalau ini, apakah aku yang pertama juga?"
Deg!
Ranum menutup matanya. Namun, dia dapat merasakan Windraya menyentuh inti tubuhnya dan bergerak semakin liar...!
“Ah, Pak ….” Ranum mendesah pelan, sambil menggelinjangkan tubuh. Dia membuka mata perlahan, menatap Windraya yang tengah memandang dengan sorot aneh. “Lebat sekali,” bisik Windraya, diiringi seringai kecil. “Jangan, Pak ….” desah Ranum lirih. “Kenapa? Aku hanya menyentuhmu seperti ini. Apa kamu takut?” Windraya tak juga menyingkirkan tangan dari area sensitif Ranum yang mulai basah. “Kamu mudah sekali terangsang,” bisik putra sulung Nindira tersebut. Ranum begitu malu. Dia merasa risi atas perlakuan nakal Windraya. Wanita muda berkulit sawo matang tersebut tak bisa berkata-kata. Dia hanya berharap Windraya tak melanjutkan itu. “Aku ingin kamu melakukan perawatan,” ucap Windraya lagi, seraya menarik tangan dari dalam segitiga pengaman Ranum. Dia memainkan telunjuk dan jari tengahnya, yang basah serta lengket selama beberapa saat. Setelah itu, pria tampan tersebut bangkit. Akhirnya, Ranum dapat bernapas lega karena Windr
“Aku harus bagaimana, Mas? Apa menurutmu aku punya pilihan lain?” Kali ini, Mayla membalikkan badan, jadi menghadap sang suami. “Tujuan utama pernikahan kalian adalah demi mendapat keturunan untuk penerus Keluarga Sasmitha. Itu artinya kalian harus tidur bersama. Iya, kan?” Windraya tidak menjawab. Dia hanya menyentuh pangkal hidung, demi menepiskan kegundahan. “Jangan khawatir, Mas. Aku tidak apa-apa,” ucap Mayla, seraya menyentuh lengan Windraya. “Semoga kamu tak lupa dengan perjanjian pernikahan yang sudah disepakati.” “Tentu saja tidak. Surat perjanjian itu sudah disahkan oleh pengacaraku.” “Baguslah. Dengan begitu, aku tak harus takut kamu akan tergoda olehnya atau …. Ah, sudahlah.” Mayla menarik selimut, lalu memejamkan mata. Namun, wanita itu kembali terjaga, setelah mendengar ucapan Windraya. “Aku ingin kamu menemani Ranum, melakuka
Windraya mengembuskan napas pelan, lalu menoleh sekilas pada Mayla. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun tersebut justru kembali mengarahkan perhatian pada Ranum, yang tampil berbeda dengan rambut tergerai indah.“Mulai sekarang, aku ingin kamu rutin melakukan perawatan kecantikan. Mayla akan menemanimu.”Mayla langsung membelalakan mata, seakan hendak melakukan protes terhadap sang suami. Namun, wanita cantik bertubuh sintal itu sebisa mungkin menahan diri. Dia tak ingin terpancing, meskipun dalam hati teramat kesal.“I-iya, Pak,” sahut Ranum, pelan. “Saya harus melihat keadaan Bu Nindira. Permisi.” Wanita muda itu mengangguk sopan, sebelum berlalu dari hadapan Windraya dan Mayla.
Ranum terdiam merasakan sentuhan lembut di sekujur tubuh. Meskipun malam-malam sebelumnya pernah mendapat perlakuan serupa, tapi tak begitu mengesankan seperti sekarang. Pasalnya, kali ini dia benar-benar telanjang bulat. Ranum dapat merasakan hangat kulit Windraya, yang bergesekan dengan kulitnya.“Pak …,” desah Ranum lirih, bahkan agak parau. Dia tak menyangka Windraya ternyata memiliki hasrat yang begitu besar terhadapnya.“Aku menginginkanmu malam ini,” bisik Windraya, di sela cumbuan mesra yang tak henti dilancarkan terhadap Ranum.“Menginginkan seperti apa?” tanya Ranum, seraya terus memejamkan mata. Sesekali wanita cantik berkulit sawo matang itu melenguh manja, ketika merasakan janggut Windraya yang menggelitik bagian-bagian tertentu tubuhnya. 
Windraya bangkit dari duduk, lalu menghampiri Ranum. “Apa mama mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya.“Tentang apa?” Ranum balik bertanya. Malu-malu, dia mengenakan celana dalam di depan Windraya.“Tentang kehamilanmu,” jawab Windraya, singkat.Ranum merapikan pakaian dalam yang sudah dikenakan, lalu meraih piyama. “Bu Nindira hanya bertanya mengenai … um … mengenai yang kita lakukan tadi ….” Ranum tertunduk malu.“Astaga.” Windraya mengeluh pelan. “Kenapa mamaku senang sekali ikut campur, bahkan untuk urusan seperti itu?” Pengusaha tampan tersebut tak habis pikir.Ranum menanggapi dengan senyuman lembut. &ldquo
Mayla terpaku beberapa saat, menyaksikan sang suami yang tengah asyik berciuman dengan istri sirinya. Wanita cantik bertubuh sintal itu memicingkan mata. Dia heran karena ada sesuatu yang aneh dari seorang Windraya. Dulu, Windraya tak suka mengumbar kemesraan di luar. Dia hanya akan mencium Mayla di kamar. Tempat di mana tak ada yang melihat mereka. Namun, kini Windraya berani mencium Ranum di halaman belakang. Bukan tak mungkin ada orang lain yang menyaksikan, selain Mayla. Merasa tak nyaman karena menyaksikan adegan yang tak kunjung berhenti, Mayla memutuskan mendekati mereka. Dia berdehem pelan. Menyadari kehadiran Mayla, Ranum langsung menjauhkan wajah dari Windraya yang justru masih ingin menikmati bibirnya. Ranum menunduk, merasa tak enak terhadap Mayla. Terlebih, istri sah Windraya tersebut menatap dengan sorot aneh. “Sayang?” Windraya menoleh, sambil menyentuh sudut bibir. “Aku mencarimu, Mas. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan,” ucap Mayla, menahan rasa tak nyaman dal
“Apa kabar, Ran?” Windraya balas menyapa Rania, yang tersenyum manis. “Sangat baik, tapi aku bosan. Jadi, kuputuskan mengajak Mayla berbisnis. Kudengar, kamu sudah memberinya izin.” Tatapan Rania terus tertuju pada Windraya. “Selama itu bersifat positif. Aku akan selalu memberikan dukungan moril serta materil.” “Ah … sungguh mengesankan. Aku akan mencari suami sepertimu, yang sangat pengertian terhadap istri.” Rania tertawa renyah "Asal jangan mengambil suamiku," celetuk Mayla, enteng. Wanita cantik itu melirik sang suami, yang melayangkan tatapan protes padanya. Namun, Mayla bersikap tak peduli. Lagi-lagi, Rania tertawa. “Andai saja kamu mau berbagi,” candanya, yang langsung berbalas tepukan di lengan dari Mayla sebagai tanda protes. Sementara Windraya hanya tersenyum simpul. Dia sadar Mayla masih kesal. Oleh karena itu, Windraya tak menanggapi candaan dua wanita tadi. Terlebih karena dirinya melihat Ranum melintas.
Mayla berdiri dekat tanaman hias cukup tinggi, yang berhasil menyamarkan keberadaannya dalam pencahayaan temaram. Dia mengepalkan tangan, melihat langkah tegap Windraya menuju kamar Ranum. Setelah memberi jarak aman agar tidak ketahuan, Mayla keluar dari tempat persembunyian tadi. Dia mengendap-endap, mengikuti sang suami hingga tiba di depan kamar Ranum. Dari jarak beberapa meter, wanita bertubuh sintal itu terus mengawasi. “Ya, Tuhan. Ini sudah keterlaluan!” gerutu Mayla, pelan tapi penuh penekanan. Dia terus berdiri di sana, menunggu Windraya keluar. Akan tetapi, setelah setengah jam berlalu, pria itu tak kunjung muncul. Pikiran Mayla makin tak karuan. Mayla menghentakkan kaki, sebelum berlalu dari sana. Dia kembali ke kamar, membawa rasa jengkel luar biasa. Mayla terus menggerutu, melampiaskan segala kekesalan atas perlakuan Windraya terhadap dirinya. Hingga malam berlalu dan berganti pagi, Windraya tak juga kembali ke kamar Mayla. Pri