Sebagai seorang yang pernah bekerja secara profesional, Mutia duduk di meja makan dan mencatat segala sesuatu yang berkenan dengan tugasnya tadi pagi. Setiap titah Diaz tidak ada satupun yang terlewat untuk dicatatnya, kemudian membuat jadwal yang jelas. Karena ternyata bos nya ini tinggal di depan apartemennya tidak akan ada kesulitan untuk melakukan tugas itu. "Kamu nggak jadi ke kantor?" tanya Tasya yang heran melihat Mutia malah duduk di meja makan sambil menulisi buku agendanya. "Nanti siang, sekarang aku harus ke pasar, berbelanja. Masak makan siang, baru ke kantor." "Senangnya pekerjaanmu itu asisten sekretaris atau pembantu rumah tangga, sih?" "Nggak tahu juga. Namanya asisten ya konotasinya tetap pembantu," jawab Mutia acuh. "Duh, downgraded dong? Dari general manager menjadi pembantu rumah tangga. Gimana ceritanya ini?" "Gak usah ditanyakan. Aku saja bingung menjawabnya. Aku hanya mengikuti bagaimana air mengalir, sekarang yang penting aku dapat kerja." "Pad
"Siska, Mama cari-cari eh tahunya malah di sini, sudah dapat susu hamilnya?" "Sudah, Ma. Aku sedang bicara dengan Mbak Mutia, Ma. Sudah lama tidak berjumpa dengannya. "Mutia?" wanita paruh baya itu terkejut mana kala melihat keberadaan Mutia bersama menantu barunya itu "Bu Diana ...," sapa Mutia dengan sedikit mengangguk untuk menghormati wanita itu. Diana membeku mendengar perempuan yang masih menjadi menantunya memanggilnya Bu Diana. Selama ini Mutia selalu memanggilnya Mama, tetapi sekarang sepertinya Mutia sudah mengambil sikap. Dia tidak akan meneruskan untuk menjadi menantunya. Diana menjadi tidak enak, karena hari ini dia berjalan dengan Siska, perempuan yang kemarin mati-matian dia tolak, tetapi hari ini malah tampak begitu akur, di tangannya bahkan Diana tengah memegang minuman nutrisi yang baik untuk ibu hamil. "Selamat ya, Bu Diana. Sebentar lagi menjadi seorang nenek. Saya turut bahagia. Saya permisi dulu, masih banyak yang harus saya beli." Mutia berjalan m
Selalu seperti itu, Diaz memang sangat absurd bagi Mutia. Tetapi sepertinya Mutia sudah biasa mendapatkan sikap-sikap random lelaki itu. Dengan tenang wanita itu menyusun makanan di meja, bahkan wanita itu juga menyediakan piring, sendok dan garpu dari rumah, agar alat makan yang dipakai lelaki ini adalah alat makan yang terbaik. Diaz langsung bangkit dari tempat duduknya, duduk di sofa, dan mencium harumnya masakan yang dibuat wanita ini. Sungguh membuatnya menjadi lebih lapar. "Makan, Pak!" ujar Mutia sambil menyerahkan piring dan sendok. "Ya ambilin, dong!" "Oh, oke." Dengan cekatan Mutia mengambil nasi dan lauk yang sudah dimasaknya, menyerahkan pada lelaki yang terus memperhatikannya. Diaz mengambilnya dan menyiapkan nasi ke mulutnya. "Kamu belum makan, kan?" tanya lelaki itu. "Belum, Pak. Kemarin Bapak kan melarang saya makan duluan." "Oh?" Lelaki itu tersenyum melihat Mutia yang begitu patuh. Matanya juga terus memperhatikan wanita itu yang sedang mengambil m
Di rumah Hilman, tampak lebih semarak dari biasanya. Berbagai macam hidangan disiapkan karena akan menyambut tamu yang sangat istimewa. Bagaimana tidak? Pak Hadi Kusuma, pemilik partai dimana karir politik Hilman bernaung tadi pagi menelponnya. Sudah lama Hadi Kusuma mengincar tanah di Jalan Cokroaminoto untuk membangun gedung convention center. Gedung itu terutama akan digunakan untuk event-event kepartaian yang akan bakalan sering digelar. Dengan memiliki gedung acara sendiri, tentu akan memangkas banyak biaya. Perusahaan DF Konstruksi sudah diserahkan Hadi Kusuma untuk menangani pembelian tanah tersebut dan membangun gedungnya. DF Konstruksi itu sendiri adalah perusahaan yang didirikan oleh Diaz Al Farez . DF itu sendiri adalah inisial nama Diaz. Walaupun terhitung baru di dunia konstruksi, tetapi DF Konstruksi termasuk sangat cepat progres perkembangannya. Hilman sebenarnya sudah lama ingin menjual tanah yang berada di jalan Cokroaminoto itu. hanya saja proses hukum kepemilika
"Aku harus bicara. Ini tentang Nenek. Apa Om tahu kalau nenek sudah sadar?" Ketik orang itu tampak sedikit terkejut, tetapi hanya sebentar sudah itu kembali normal "Oh, jadi dia sudah sadar? baguslah. Segara dia bawa pulang ke rumah kamu," ujar Hilman dengan acuh tak acuh. "Om, Nenek itu masih ibu kandungmu. Perlakuanmu itu benar-benar mencerminkan anak durhaka." "Mutia! Jaga mulutmu itu! bukankah kau sangat menyayangi nenekmu itu? aku memberimu kebebasan untuk merawatnya sepuas hatimu." "Terus di mana tanggung jawab Om Sebagai anaknya? Uang perawatan nenek masih menunggak empat puluh juta sekarang, belum lagi nenek ternyata didiagnosa memiliki penyakit jantung, jadi Om harus bertanggung jawab membiayai nenek sebagai seorang anak." "Apa? ini semua salah kamu sendiri! bukankah Tommy sudah menyanggupi membayar semua biaya perawatan nenekmu? Makanya kamu jangan membuat ulah, demi nenekmu, harusnya kamu bertahan. Bukan malah mengemis-ngemis padaku!" "Ngemis? Aku hanya memin
"Pak, wanita itu seperti Nona Mutia," ujar Rais Diaz hanya mengepalkan tangannya menahan amarah. Kurang ajar, berani-beraninya mereka menghajar wanita kesayangannya? Diaz berusaha menyembunyikan amarahnya, wajah lelaki itu tampak acuh tak acuh ketika Hilman datang menyambut mereka dengan wajah tersenyum ramah, tampak kebahagiaan di wajahnya yang berseri-seri. "Selamat datang, Nak Diaz. Saya sangat senang nak Diaz datang ke kediaman saya," sambut Hilman sambil mengulurkan tangan. Diaz membalas uluran tangan lelaki paruh baya itu dengan acuh tak acuh "Mari silahkan masuk, bagaimana kabar pak Hadi? saya sudah hampir satu bulan tidak bertemu dengan beliau," ujar Hilman sambil berjalan masuk ke rumahnya. "Baik," jawab Diaz singkat. Hilman memaklumi sikap Diaz ini, pasalnya Pak Hadi pernah mengatakan jika anaknya itu tidak terlalu banyak bicara, bicara hanya seperlunya tetapi memiliki analisa dan kepekaan bisnis yang luar biasa. Ketika sampai di ruang tamu, Evita yang melihat
"Kak Diaz, minum dulu. Ini aku bawakan air putih," ujar Evita sambil menyerahkan segelas air putih ditangannya. "Aku tidak minum air seperti itu, aku hanya meminum air mineral dari merk khusus. Jadi tidak usah repot-repot." Perkataan Diaz jelas membuat Evita kecewa. Kenapa tidak ngomong dari tadi kalau maunya air mineral. Tangan Evita yang menggantung itu akhirnya ditarik kembali sambil menghela napas kesal. "Sabar," bisik Reni. Wanita paruh baya tersebut tentu tidak ingin membuang kesempatan untuk memiliki menantu seperti Diaz. Akhirnya Evita tersenyum kembali, selama ini dia memang belum menemukan lelaki setampan dan sehebat Diaz, hanya Diaz yang paling hebat. "Tenang, Ma. Aku akan bersabar." "Bagus." Setelah melihat dokumen telah lengkap, Diaz menaruh berkas tersebut di atas meja. Lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya pada keluarga tersebut. "Baiklah, Pak Hilman. Saya sudah membaca semua berkasnya, berapa pak Hilman akan menjual tanah tersebut?" tanya Diaz
Mobil yang dikendarai supir melaju dengan mulus di jalan aspal, lelaki di sebelah Mutia hanya sibuk menatap iPad nya dan mengutak-atik benda itu. Sementara Mutia menyandarkan kepalanya di pintu mobil sambil memandang keluar jendela. Raut wajahnya masih sedih, sebenarnya memang sedih, dia tak tahu ke mana lagi akan mencari uang buat membayar biaya rumah sakit neneknya. sebenarnya, diam-diam Diaz selalu memperhatikan wanita di sebelahnya, bahkan dia ingin sekali merengkuh tubuh wanita itu hingga kesedihan di wajahnya berkurang. Bagaimana wanita ini hidup selama ini, bersama keluarga yang tidak peduli padanya. Diaz bukannya tidak tahu, dia sudah banyak tahu tentang kehidupan Mutia. Bahkan tanah yang akan dibelinya kini, dulu atas nama siapa lelaki itu juga tahu. "Mau ke mana sekarang, Pak?" tanya Rais. "Langsung pulang!" Mobilpun melaju ke arah apartemen, setelah sampai, mobil berhenti di carport depan lobi, tidak langsung masuk ke basemen. "Turun!" Kata perintah dari Diaz mem