Share

Sesuatu yang terlupakan

Tiba di parkiran aku segera masuk ke mobil, dan menyalakan lampu. Begitu lampu menyala aku tersentak saat tiba-tiba melihat seseorang duduk di kursi belakang kemudi.

"S-siapa kamu?" Aku bertanya tergagap, sembari memundurkan badan.

"Apaan sih, Mas kamu?" jawabnya. Aku kenal suara itu. "Almira? Ngapain kamu disitu?" tanyaku langsung dengan nada kesal. Sementara jantungku rasanya mau copot, dan tengah memompa lebih cepat dari biasanya gara-gara kaget.

"Ya nungguin, Mas lah. Ayo pulang!" jawabnya santai.

"Maksudku kenapa kamu bisa masuk, bukannya kunci mobilnya ada diaku?" tanyaku.

"Sepertinya tadi Mas lupa ngunci mobilnya, makanya aku bisa masuk."

Dahiku langsung berkerut mendengar jawabannya. Masa iya aku lupa ngunci mobilnya? Ah, sudahlah mungkin juga apa yang dikatakannya benar.

"Eum ... Terus ngapain kamu masih duduk di situ? Cepat pindah! Kamu pikir aku supirmu?" tanyaku dengan nada ketus.

Almira tidak menjawab tidak juga membantah, biasanya mendengar bentakan ku ia akan segera menurut. Seperti saat ini ia pun langsung turun dan pindah duduk di sampingku. Enak saja dia mau duduk di belakang, dia pikir aku supirnya?

Akhirnya kami pun pulang, sepanjang perjalanan Almira lebih banyak diam tidak seperti biasanya, entah mengapa? Tapi, baguslah setidaknya kupingku tidak harus mendengar ocehan yang tidak penting.

Begitu sampai Almira langsung turun, dan membukakan pintu gerbang. Kami memang tidak memiliki pembantu juga security. Menurutku komplek ini cukup aman dengan penjagaan di pos depan. Sementara pekerjaan rumah Almira bisa melakukan semuanya.

Soal bersih-bersih dan memasak kuakui Almira memang pandai. Masakannya selalu pas dilidah apalagi kalau dia masak malbi kesukaanku. Itulah kenapa aku jarang makan di luar selain menghemat pengeluaran, makanan yang dimasak Almira tidak kalah dengan hotel berbintang lima.

Begitu pintu gerbang terbuka aku kembali melajukan kendaraan menuju garasi, sementara Almira kulihat kembali menutup gerbangnya.

***

Mejelang subuh speaker masjid sudah mulai terdengar untuk membangunkan orang-orang yang masih terlelap dalam mimpi, agar subuhnya tidak kesingan.

Kulihat Almira juga sudah tidak ada lagi disebelahku, sepertinya ia sudah bangun sejak tadi, dan tengah bersiap untuk melaksanakan shalat subuh. Karena, terdengar gemericik air dari arah kamar mandi. Sementara aku memilih kembali menarik selimut.

Baru saja masuk ke alam mimpi, badanku terasa ada yang menggoyang.

"Mas, ayo bangun! Sudah hampir subuh."

Aku menggeliat, malas sekali rasanya."Eum ... Jam berapa sih?" tanyaku ogah-ogahan dengan mata masih terpejam.

"Sudah hampir setengah lima, bentar lagi azan, ayo bangun!" 

"Khem, kamu duluan aja. Nanti aku nyusul," jawabku, dan kembali meringkuk. Udara pagi membuatku benar-benar malas untuk bangun.

"Nanti kamu kesiangan, Mas!" 

"Udah sana, nanti aku bisa bangun sendiri."

Akhirnya Almira mengalah, dan kulihat ia berjalan ke arah sejadah yang sudah di bentangnya.

Aku pun melanjutkan tidur, dan merasa lebih baik jika Almira tidak mengganggu.

Aku terlonjak kaget mana kala jam di atas nakas berdering dengan nyaring, dan membuat langsung terbangun. Bisa-bisanya Almira menghidupkan alarm, kenapa gak bangunin langsung aja sih? Sepertinya ia sengaja ingin membuat jantungan. Aku melirik ke atas nakas, pukul 05 lebih tiga puluh.

"Ah, aku pikir sudah jam tujuh?" gerutuku yang akhirnya memilih untuk bangkit. Lalu, berjalan menuju kamar mandi, dan berwudu untuk melaksanakan salat Subuh.

Usai salat, aku melangkah keluar menuju dapur. Kulihat, Almira tengah sibuk memasak. Tangannya terlihat begitu cekatan. Ia begitu lincah mengambil benda satu dan lainnya, nampaknya berat badannya sama sekali tidak menghalangi pergerakannya. Heran, apa tidak berat bawa badan sebesar itu?

"Eum ak ___," Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku. Almira sudah menjawab pertanyaanku.

Kenapa dia tahu apa yang ingin kukatakan, apa dia seperti cenayang yang bisa membaca pikiran orang?

"Airnya sudah aku siapkan, dan kutaruh di kamar mandi," ucapnya sembari terus sibuk memasak.

Perasaan tadi aku tidak melihat, ada air panas untuk mandi? Apa akunya saja yang tidak melihat? Ah, entahlah.

Ya anggap saja mungkin aku tidak melihat karena tadi buru-buru. Tapi, selain butuh mandi air panas aku juga butuh di siapkan baju untuk ke kantor dan peralatan lainnya, harusnya dia juga sudah siapkan.

"Eum ...."

"Baju, celana dan lainnya sudah aku siapkan di atas kasur. Kaos kaki ada di lemari bagian bawah," jelasnya sembari masih sibuk dengan masakannya.

Apa dia benar-benar bisa membaca pikiran orang? Kenapa dia bisa tahu semua apa yang ingin kutanyakan? Aku pun akhirnya memilih kembali ke kamar, begitu sampai benar saja setelan baju kerja sudah tertata rapi di atas tempat tidur. Bahkan sepatu juga sudah tersedia.

Aku pun langsung menuju kamar mandi, kulihat air panas memang sudah tersedia hanya tinggal menambahkan air dinginnya saja. Entah sudah berapa lama Almira menyiapkan semuanya. Almira memang istri pengertian. Tapi, sayang ia tak bisa merawat diri.

Usai mandi dan berganti pakaian, aku pun langsung menuju meja makan nasi goreng kambing sudah terhidang di atas meja, aromanya sungguh menggugah selera. Aku pun lekas duduk untuk menikmati sarapannya, tak lupa dengan segelas teh panas yang juga sudah tersedia.

Almira pun muncul dari arah dapur, dengan satu porsi penuh nasi goreng dan semangkuk sup daging kemarin. Astaga pantas saja badannya semakin hari semakin subur.

"Buat siapa?" tanyaku, rasanya tidak mungkin ia akan menghabiskannya sendirian.

"Ya buat akulah, Mas." jawabnya tanpa rasa bersalah dengan berat badannya yang semakin hari semakin bertambah.

Seketika selera makanku berkurang. Antara kesal dan juga mau marah, pagi-pagi sudah dibikin bad mood.

"Gimana mau langsing kalau tiap hari kamu makannya kayak gitu?" ucapku.

Almira hanya diam, tidak menjawab. Aku sudah hafal pasti ia memilih diam.

Tak ada gunanya berdebat dengannya, bisa-bisa merusak awal hariku. Lebih baik aku segera menyelesaikan sarapanku dan berangkat ke kantor.

"Aku berangkat," ucapku setelah menghabiskan sarapannya.

Seperti biasa Almira langsung bangkit dan menyambut tanganku. Lalu, mengambil tas kerja, dan mengantarku ke depan.

"Fiamanillah, Mas!" ucapnya sembari menyerahkan tas kerja saat aku akan masuk ke mobil. Mendengar kata itu aku langsung berhenti, dan menoleh ke arahnya. Karena, teringat kejadian semalam saat kalimat itu juga di ucapkannya untuk orang lain.

"Kenapa kamu ucapkan lagi untukku, bukannya sekarang kamu juga bilang begitu ke lelaki lain?" tanyaku dengan nada menyindir.

Dahi Almira nampak berkerut, mungkin pertanyaanku terdengar aneh.

"Kenapa, sepertinya Mas keberatan aku juga mengucapkannya untuk orang lain, Mas cemburu aku juga mendoaka orang lain?" tanyanya balik.

"Ce-cemburu? Siapa juga yang cemburu, tidak ada dalam kamus seorang, Hans Al-Farabi untuk cemburu," jawabku dengan tegas. Aku cuma tidak suka saja Almira melakukan hal yang sama ke orang lain. Eh, tapi tadi apa dia bilang doa? Berarti dia juga mendoakan yang sama untuk laki-laki itu, Ha kenapa di juga punya harapan yang sama dengan laki-laki itu? Jangan-jangan ...

"Ya kalau begitu, kenapa Mas Hans sangat mempermasalahkan itu?"

"Siapa juga yang mempermasalahkan itu? Udahlah, gak perlu dibahas. Nanti aku telat," ketuasku. Lalu, masuk ke mobil, dan menyalakan mesinnya.

Tanpa di suruh Almira langsung membukakan pintu gerbangnya.

Gara-gara ucapan Almira tadi, aku jadi teringat sesuatu, dan melupakan sesuatu.

Astaga kenapa aku bisa melewatkan hal sepenting itu?

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Juliana Titi Manuain
Hans ingin isteri yang sempurna padahal perhatian dan kesetiaan yang lebih penting dalam hidup berumahtangga.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status