Part6
"Atagfirullah," pekik Hesti.
Aku pun turut terkejut, melihat perbuatan Ibu yang begitu saja menghamburkan sarapan pagi kami.
"Bu, kenapa harus seperti ini," pekikku.
"Danu! Makanan Hesti tidak enak, Ibu tidak suka. Kamu jangan makan itu lagi, rasanya benar- benar menjijikkan," bentak Ibu padaku.
"Bu, jangan keterlaluan seperti ini, tolong hargai Danu, Bu. Biar bagaimana pun juga, Hesti adalah istri Danu ...."
"Mentang- mentang dia istri kamu, jadi kamu nggak apa- apa gitu, makan makanan buruk begitu?"
"Ya, apapun yang Hesti masak, Danu akan selalu makan. Jika Ibu tidak suka, itu tidak masalah, asal jangan di buang begini semuanya!!"
"Pandai sekali kamu melawan Ibu. Mau jadi anak durhaka kamu?" Ibu marah dan melotot kepadaku.
"Semakin kamu berani melawan Ibu, maka Ibu akan semakin membenci Hesti ...."
Mendengar penuturannya, membuatku kembali merasa tidak berdaya.
Sebagai anak tunggal, aku memang mendapatkan begitu banyak cinta dari Ibu dan Ayah selama ini.
Kasih sayang mereka, kuakui luar biasa. Sebab itulah, sulit bagiku untuk melawan Ibu. Meskipun kadang perasaan ini ikutan sakit, ketika Beliau mencaci maki istriku, Hesti.
Tapi Hesti pernah berjanji, akan selalu berusaha memahami Ibu, dan tidak akan melawannya. Hesti memang wanita terbaikku. Aku selalu berharap, bahwa kelak, Ibu akan berubah dan bisa mencintai Hesti layaknya dia mencintaiku.
********
Tidak terasa pernikahanku dan Hesti, sudah menginjak satu tahun.Ibu datang, dan menanyakan kehamilan istriku yang tidak kunjung datang."Hesti, kapan kamu bisa memberikan keluarga kami cucu? Kamu mandul?" tanyanya. Dengan alis terangkat sebelah.
"Kami sudah berusaha, Bu. Tetapi mungkin Allah belum mengabulkan harapan kami," jawab istriku pelan, sambil menundukkan wajah.
"Berarti kamu mandul?" tuduhnya lagi.
"Insya Allah tidak, Bu. Hesti dan mas Danu sudah cek ke dokter, semua sehat, Bu," jawab Hesti apa adanya.
"Nggak mungkin, kalau sehat, kenapa sampai detik ini kamu tidak hamil? Kalau kamu begini terus bagaimana nasib keturunan keluarga kami?" cecar Ibuku itu pada Hesti. Rasa kasihan sebenarnya, tapi aku tidak mau melawan Ibu terus, yang hanya akan meracik api kebencian pada Hesti semakin besar di hatinya.
"Kamu kan tahu, Danu anak kami satu-satunya. Jika kamu tidak mampu memberikan kami cucu, maka keturunan Bramasta, hanya akan berhenti di Danu saja, itu jelas merugikan kami ...."
Panjang lebar Ibuku berkata. Istriku kembali hanya diam, tidak langsung menyahut ucapan Ibu.
"Sekarang kamu pilih! Danu. Ceraikan Hesti, atau kamu menikah lagi," ucapnya dengan tegas.
"Nggak semudah itu Bu, lagi pula ini baru setahun. Dan kami berdua juga sehat, hanya saja, mungkin Allah belum memberikan kami kepercayaannya."
"Umur nggak ada yang tahu, Nak. Ibu mau segera menimang cucu dari kamu!" tutur Ibu dengan wajah datar.
"Kami berdua sudah berusaha Bu, tolonglah bersabarlah sedikit."
"Sampai kapan Ibu harus bersabar? Sampai Ibu dan Ayah kamu mati?""Astagfirullah, Ibu ..., kenapa harus bicara tentang kematian." Aku cukup syok, mendengar ucapan Ibu, yang seakan memaksakan kehendak, dengan dalih kematian.
"Kamu harus menikah lagi, dan dapatkan keturunan untuk Ibu!!" tegas Ibuku.
"Besok Ibu kenalin kamu, demi generasi penerus kita," lanjutkan dengan yakin.Kami pun hanya terdiam.
Sepulang Ibu dari rumah kami, aku memeluk Hesti dan lagi- lagi aku harus meminta maaf padanya, atas segala perbuatan Ibuku."Maafkan Ibuku ...."
"Sudah biasa," jawabnya dengan wajah yang tidak berdaya, ketika kedua tangan ini kutangkupkan ke wajahnya.
"Aku tahu, kamu pasti sakit hati sama Ibu."
"Iya, pasti."
Jawaban Hesti semakin membuatku merasa sakit hati.
"Ibu begitu membenciku, bahkan nyaris tiap bulan, dia menciptakan luka di hati ini. Entah kapan kebenciannya padaku akan berakhir," lirih Hesti. Aku kembali memeluk tubuh mungil istriku itu.
"Selalu berdoa, sayang. Semoga Allah, melunakkan hati Ibu, dan mau menyayangi kamu ...."
"Aku bukan istri sempurna, dan bukan menantu yang dia suka. Aku hanyalah wanita miskin, yang menjijikan di matanya, Mas."
"Jangan pernah berkata begitu! Kamu berlian bagiku, sayang. Ini hidup kita, yang menjalani juga kita. Kamu jangan pernah menyimpan dendam dan rasa sakit hati sama Ibuku. Biar bagaimana pun juga, dia adalah orang tua kita, kamu dan aku itu satu."
Dan Hesti hanya terdiam, hanya terdengar isakkan pelan. Aku tahu, dia sedang menangis saat ini.
"Maaf, mas tidak berdaya dengan semua ini."
Bab7 Memory lama itu kembali berputar di ingatanku. Dan Ibu benar- benar membawa Naomi ke dalam rumah tangga kami. Naomi, teman masa kecilku, sekaligus tetangga kami dahulu.Semenjak Ayahnya pindah tugas ke kota lain, kami memang tidak pernah bertemu lagi, bahkan berkomunikasi. Tidak kusangka, kami akan bertemu dengan kisah yang berbeda. Jika dulu kami adalah teman baik, kini lain ceritanya. Naomi datang, sebagai calon istri keduaku. "Mas, kenapa sih kamu kaku begini? Lagian aku cuma mau cium kamu ...." suara Naomi seakan menyeretku kembali ke alam sadar, setelah teringat berbagai kejadian- kejadian sebelumnya di hidupku. "Kamu nggak suka sama aku, ya. Kok aku jadi sedih begini. Kalau memang kamu terpaksa sama aku, aku bisa bantu bilang sama Ibu, mungkin dia mau paham," ujar Naomi, yang membuatku menjadi tidak nyaman. "Naomi, kita bukan pasangan halal, aku nggak mau melakukan kontak fisik sama kamu, sebelum kita menjadi pasangan halal, itu bukti aku menghargai kamu." Aku menco
Bab8Disaat otak ini teracuni oleh napsu, tiba- tiba ponsel dicelanaku bergetar. Aku bergegas menjauhkan kuat Naomi dari tubuhku dan aku pun langsung berdiri, menjauh dari tempat tidur wanita itu.Kuambil ponsel disaku celana, dan kulihat panggilan istriku sayang masuk. Aku menjawab panggilan itu, sembari melangkah lebar, meninggalkan kamar Naomi.Wanita itu terus mendesah, seakan masih berusaha menggodaku. Tapi aku tetap berjalan mantap, meninggalkan rumah Naomi."Aku tidak harus mengikuti kemauan Ibu yang satu ini. Ini tidak benar, dan aku tidak bisa," gumamku dalam hati."Hemm, ada apa sayang?" tanyaku pada Hesti, ketika selesai menjawab salam darinya."Aku melihat mobil kamu, Mas. Kamu dimana?" tanya istriku itu."Nih di depan rumah kita," jawabku cepat, karena memang sekarang aku sudah ada di depan rumah kami. Aku meninggalkan Naomi begitu saja, biarlah."Oh baiklah, aku buka pintunya," ucap Hesti, dan panggilan telepon pun berakhir, dengan mengucapkan salam.Setelah dibuka pintu,
Bab9 "Aku hanya butuh ketenangan, apakah kalian semua ingin membuat aku malu?" tanyaku pada Naomi dan juga Ibu secara bergantian. Naomi menunduk. "Maafkan perasaan ini, menjadi sulit terkendali. Aku berharap kamu mengerti, Mas. Aku tulus sayang sama kamu, hingga membuatku menjadi orang bodoh seperti ini," lirihnya. "Andai saja perasaan ini tidak ada, aku juga tidak mungkin mau mempermalukan diri ini, bahkan di rendahkan oleh mbak Hesti, hanya karena ingin sekali bertemu sama kamu," lanjutnya mulai terisak. "Hei sayang, Naomi tidak salah. Jangan menangis cantik, Ibu paham perasaan kamu," ujar Ibuku, yang langsung bereaksi ketika Naomi menangis. "Andai saja wanita itu beradab dan berhati nurani, dia tidak mungkin bersikap kurang ajar sama kamu, entah dukun mana yang sudah dia pakai, sampai- sampai menutup mata hati anak Ibu, kamu yang sabar ya, sayang." Ibu memeluk Naomi, sambil memberikan kata semangat yang penuh sindiran kepada kami. "Lebih baik kita batalkan saja rencana pernik
Part10Saat sampai di depan rumah, ternyata dirumah ada yang datang.Ku putar gagang pintu, aku segera masuk ke dalam."Eh, ada Bi Sari!"sapaku pada Bi Sari yang tengah duduk di ruang tamu sendiri."Danu, gak ngantor?" Tanya Bi Sari padaku.Aku langsung mencium punggung tangannya dan mendaratkan bokong ke sofa yang berhadapan dengan Bi Sari."Hari ini, Danu mau istirahat dulu, Bi. Lelah kerja melulu" ucapku sambil tersenyum padanya.Hesti datang dari arah dapur, membawakan minuman dan cemilan.Tatapannya dingin padaku. Bahkan Dia tidak menyapaku sama sekali."Ini, Bi. Cicipin dulu." Ucapnya ke Bibinya"Sayang, Mas, ko gak di sapa?" Rajukku"Em, Mas, gak ngantor?" Tanyanya datar.Tok..tok..tok.. Siapa lagi yang bertamu jam pagi begini? Gumamku"Biar, Mas, yang buka!"--**--Saat membuka pintu, aku kaget sekali. Ibu datang bersa
Part11"Yasudah, Ibu istirahat dulu, Danu mau keluar sebentar"ucapku menengkannya, Ibu hanya diam.Aku keluar, menemui Hesti dan Bi Sari.Aku bawa mereka pulang ke rumah.Ku telpon bi Iyem dan minta Bi Iyem, asisten rumah tangga Ibu, untuk menemani Ibu di rumah sakit.Sesampainya di rumah.Ku sampaikan maksudku pada Bi Sari dan Hesti, kami bertiga duduk di ruang tamu."Begini, Sayang, Bi Sari, Danu minta maaf. Atas perlakuan Ibu tadi pagi!" Ucapku membuka obrolan."Danu, benarkah kamu mau di nikahkan lagi?"tanya bi Sari tajam."Benar, Bi. Bahkan tadi di rumah sakit, Ibu meminta Saya menikah besok dengan Naomi! Sayang, Hesti. Tolong izinkan, Mas. Sayang!" Aku mencoba menjelaskan ke Bi Sari dan memohon Hesti menerima maksud Ibu, yang ingin segera menimang cucu."Silahkan! Tapi ceraikan aku dulu, Mas." Ucapnya dingin"Mas, Sayang Hesti. Mana mungkin mas sanggup berpisah. Bukan ini yan
Part12Pov HestiSetelah ku jelaskan semua ke Ayah, Ayah pun berjanji akan membantu permasalahan pelik rumah tangga kami."Semoga ada jalan terbaik"ucap batinku.Pagi--* jam 06:05 WIB.Aku dan Bibi sudah bersiap di dapur membuat sarapan untuk kami bertiga."Sayang! Selamat pagi, selamat pagi Bi Sari!" Ucap mas Danu sambil berjalan menuju meja makan.Bi Sari tersenyum tipis. "Selamat pagi juga, Danu." Ucapnya, sedangkan aku hanya terdiam, rasanya masih enggan menjawab sapaannya, masih ada rasa sakit dihati ini, ketika mata ini memandanginya."Bi, Hesti, selesai sarapan, Mas langsung ke rumah sakit, jenguk Ibu. Malam tadi, Ayah telepon, katanya Ayah nemani Ibu di rumah sakit." Ucap mas Danu"Oh, iya silahkan, salam buat Ibumu, semoga segera sehat kembali."ucap bi Sari.*____* Siang hari saat kami bersantai di ruang tengah, sambil menonton televisi.Tokk...tok..tok.... "Ti
Part13Pov Ibu.Sialan.... Ayah datang lagi. Gagal rencanaku kalau begini, harusnya aku bisa maksa si Danu buat nikahin Naomi secepatnya. Biar tau rasa tu Hesti, tapi malah kacau berantakan gini, sandiwara ku hampir saja terbongkar.Haruskah aku pura-pura sakit jantung? Biar mereka semua nurut sama permintaanku. Aku gak mau dong, kalah sama perempuan kampung itu.Tok..tok... Em, itu pasti Ayah, ah rasanya aku ingin sendiri saat ini, mau cari inspirasi buat misahin anakku dari perempuan kampung itu.Tokk..tok.. "aih, Ayah berisik kali, tidur di ruang tamu saja, Ibu lagi pengen sendiri, Ibu kecewa sama Ayah, Ayah, gak sayang sama Ibu lagi." Teriakku dari dalam kamar."Yasudah."jawab Ayah dari luar.Sialan, gak mendapatkan sinyal baik dari, Ayah. Aku harus sabar. Aku pasti menang melawan Hesti dan Bibi nya yang songong itu.***_____*** Sarapan pagi."Pagi, Bu. Ayo sarapan!"ucap Ayah.
Part14POV Hesti"Aku harus kuat, biar bagaimana pun, ini rumah tanggaku, bagiku. Menikah cukup sekali seumur hidup. Mereka terang-terangan ingin merusak kebahagiaanku, maka takkan semudah itu ku biarkan"gerutu ku dalam hati, pikiran melayang-layang mendesakku terus berpikir keras, menyelamatkan bahtera rumah tangga ini.Sudah akhir bulan, aku telad sudah 1 minggu, tapi memang biasa sudah, tamu bulananku itu terlambat.Tak berselang lama, mas Danu datang dari kantor, Dia masuk, ku raih tangannya, ku cium punggung tangan itu, dan dia kecup kening ini. Dia langsung memelukku erat."Sayang, maafin Mas, ya, yang gak bisa bahagiain kamu!" Lirihnya di telingaku."Iya, Mas, maafin, Hesti juga. Gak bisa bahagiain mas dan keluarga." Ucapku sedih."Dek, kamu itu, terlalu baik. Mas sayang sekali padamu," ucapnya sambil mengeratkan pelukan."Oya, Dek. Ibu sakit, Dia minta kita kesana! Semingguan