Cuaca hari ini begitu terik. Aku hampir kerepotan melayani para pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa.
Sudah satu tahun ini aku membuka usaha bubble drink di sekitaran kampus. "MAY BOBA" aku membuat namanya. Bermodalkan sebuah booth container serta dua buah kursi panjang dan juga meja.
Sebenarnya usahaku lumayan ramai. Posisi stand yang strategis membuat para mahasiswa banyak berdatangan untuk membeli minuman kekinian yang lagi hits.
Namun semua yang kuhasilkan tetap saja tak bisa kunikmati, karena harus terus-terusan membayar hutang Ayahku yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi biaya sekolah Adit. Tak ada niat sedikit pun dari Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab itu. Judi online membuatnya seperti kehilangan kewarasan dan semangat untuk bekerja.
Aku menghampiri Daryan yang baru saja datang dan duduk di kursi yang telah kusediakan di depan booth container.
"Sudah kau bayar hutangmu?" tanyanya dengan tenang.
"Hem."
"Surat rumahnya?"
"Aman."
"Lalu, Ayahmu?"
"Dia bahkan tak bertanya apa pun." Aku berdecih.
"Ayahmu aneh. Orang tua lain mungkin sedang berpikir kalau anaknya sedang menjual diri."
"Kau benar. Tapi untung aku punya teman yang harga jualnya lebih mahal."
"Hei, sudah kubilang itu masih terlalu murah!" Dia terlihat sangat kesal.
Daryan. Aku mengenalnya baru beberapa bulan terakhir. Pria yang aku kenal secara tak sengaja karena kerap membeli produk minumanku. Hampir setiap hari dia duduk di sini. Semula kami hanya mengobrol biasa. Hingga akhirnya kami saling terbuka satu sama lain layaknya sahabat.
Hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku yang sejak kecil hidup sederhana, harus bekerja ke sana kemari sejak masih sekolah. Berbeda dengannya. Bayangkan, di usianya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun, tak pernah sekalipun menghasilkan uang dari hasil jerih payahnya sendiri.
"Keluargaku kaya raya. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan. Karyawan mereka juga mencapai ribuan. Dengan hanya menggunakan kartu-kartu yang diberikan ibuku, aku bisa membeli apa pun yang aku mau. Untuk apa lagi aku susah-susah bekerja?" Selalu begitu alasannya. Meski terkadang ada gurat kekecewaan terlihat di wajahnya.
Ada benarnya juga. Seandainya sedikit saja Ayahku punya pikiran, tentu aku juga tak akan mungkin mau bekerja membanting tulang seperti ini. Hah! Kapan aku jadi anak orang kaya.
*
Jam delapan malam aku sudah selesai mengunci booth container. Kursi dan meja juga sudah aku masukkan ke dalam ruko tempat aku menyewa lapak. Tinggal berjalan kaki beberapa ratus meter, maka aku akan sampai ke kosanku.
Sejak lulus SMA aku memang sudah keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Lelah karena terus-menerus bertengkar dengan Ayah. Aku benci sifat pemalasnya. Hingga setiap percakapan selalu berakhir dengan kata-kata kasar.
Ibuku meninggal sejak tujuh tahun yang lalu. Hingga mau tak mau aku harus menggantikannya sebagai tulang punggung bagi adikku. Membiayai sekolah hingga sampai sekarang ini.
Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku dari arah belakang. Aku berhenti dan melihat siapa yang iseng menggodaku. Wajah itu lagi-lagi tersenyum saat kaca jendela terbuka.
Daryan datang lagi. Mendatangiku bisa seperti minum obat tiga kali sehari. Seperti tak punya teman atau kegiatan yang lain. Seperti hanya aku tujuan satu-satunya saat ini.
Aku kembali berjalan, ikut tersenyum. Mobilnya berjalan pelan mengiringi langkahku. Tempat tinggalku tak lagi jauh. Sebentar saja kami sudah sampai. Seperti biasa Daryan memarkir kendaraan di halaman yang terkadang menjadi sorotan penghuni kos yang lain. Mereka pasti berpikir kalau pria kaya itu adalah pacarku.
Dia langsung merebahkan diri di kasur mungilku. Menganggap layaknya kamar milik sendiri. Anehnya tak ada yang aneh dia lakukan. Sempat aku berpikir bahwa dia sama sekali tak tertarik pada wanita. Semacam, yah... begitulah.
Tapi lambat laun aku menyadari, kurasa aku memang tak menarik di matanya. Benar apa yang ibunya katakan. Anak orang kaya seperti Daryan jelas akan memilih wanita yang sederajat dengannya. Jadi bantuannya selama ini, kuanggap tulus karena dia butuh teman.
"Aku menginap ya, May. Malas pulang." Dia menutup matanya dengan lengan.
Bagiku tak ada masalah. Tempat ini bebas. Semua penghuni rata-rata melakukan hal serupa. Hanya saja hal ini masih tabu bagiku. Ini kali pertama dia mengucapkan kalimat itu.
"Kalau tidak mau pulang, kenapa tak cari hotel saja? Kau bilang kartu ajaibmu bisa memberikan apapun yang kau mau."
"Percuma kalau sendiri. Aku butuh teman."
"Kau bisa mencarinya di tepi jalan. Memangnya berapa limit kartumu itu, sampai-sampai tak sanggup lagi membayar seorang wanita."
"Kau pikir aku laki-laki macam apa?" Dia melempar kasar bantal padaku. Aku meringis kena lemparannya.
"Jadi kau butuh teman untuk apa?"
"Tentu saja untuk mengobrol. Memangnya apa lagi?"
Aku tersenyum tipis. Dia benar. Kalau hanya ingin mencari wanita penghibur, dia tak harus datang ke kamar sempit ini. Ada banyak club yang menyediakan fasilitas lengkap seperti itu.
Aku membeli dua bungkus mie ayam dan juga soda tak jauh dari tempat tinggalku. Daryan makan dengan lahap sambil bercerita apa saja. Tentang masa sekolah, kuliah, bahkan perjalanannya liburan keliling dunia.
Hidupnya terlihat begitu sempurna. Hanya saja peraturan tetaplah peraturan. Ada hal-hal yang tak bisa dia bantah dan mau tak mau harus dia terima. Masalah apa itu, dia hanya diam saat aku bertanya.
Daryan tidur dengan lelap saat aku masih berselancar di dunia maya. Sampai terdengar bunyi dering ponsel dari bawah kakinya. Aku mendekat untuk melihat siapa yang memanggilnya."Yan, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kaki panjang itu."Hem," sahutnya setengah sadar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. "Pulang sana. Ibumu khawatir.""Hem." Dia tak peduli, lalu membalikkan badan memunggungiku."Ponselmu berbunyi. Dari ibumu."Dengan malas dia berusaha untuk duduk. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan itu terlihat menawan. Aku tersenyum tipis. Lalu menepis pikiran yang ada di dalam kepalaku."Cepat pulang!" perintahku. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum."Kau hanya kesal karena tidak kebagian tempat tidur, kan?" Dia berdecak. ~~~"Choco boba satu." Suara itu terdengar dari kursi. Aku yang berada di balik booth container langsung melihat sumber suara. Merasa tak asing dengan suara itu. Aku menarik napas kesal setelah tahu siapa yang datang. Aku segera menuju
Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat."Lupakan!" ucapnya dengan tegas. Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah. "Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu." Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik."Ta-Tante?" Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.Plak!Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat."Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan seka
6Aku menelan ludah. Si brengsek ini benar-benar pintar memanfaatkan keadaan dan mencari kesempatan. Aku melotot, mendongak agar dia tahu aku marah. Namun sayang, pandangannya hanya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku.Dasar licik.Nyonya kaya raya itu berpikir sejenak. Napas dihembus secara perlahan. Lalu tersenyum sinis menatap kami."Begitu lebih baik. Gadis jalanan sepertimu memang pantasnya bersanding dengan preman seperti dia. Kalian sangat cocok. Jadi jangan lagi bermimpi yang bukan-bukan." Tarikan di sudut bibirnya membuat hatiku terasa sakit. Entah kenapa.Wanita itu kembali melirik tajam ke arahku. Lalu pergi begitu saja meninggalkan kami.Leherku sampai memanjang untuk memastikan bahwa mobil Alphard miliknya sudah menjauh, membawanya pergi dan tidak terlihat lagi.Dengan cepat aku melepaskan diri dan mendorong tubuh Ren agar menjauh. Namun tentu saja kaki jenjangnya tak bergeser sedikitpun. Terpaksa aku mengalah dan harus mundur. Aku mengusap bahu dan juga bagian tubuhku
Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya dem
Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali."Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku." Aku bertanya tanpa basa-basi."Kau rindu padaku, ya?" selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area."Mencari siapa?""Kau sendirian?"Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?""Pacarmu?""Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar?" Aku menatap cengeng wajahnya."Memangnya tidak, ya?" Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan."Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Aku kembali berterus terang. Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui
"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan. "Ibumu bilang apa?""Dia bilang kau plin plan.""Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar ke
"Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi," rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki."Tapi kau sengaja memintaku datang.""Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku.""Hish, Daryan!" Aku memukul bahunya. Kesal.Dia kembali terkekeh.*"Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan?" tanyaku serba salah. Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha memint
Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur. Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil."Ada apa?" jawabku, dengan suara khas bangun tidur."Kak." Suaranya terdengar ragu."Apa?""itu....""Katakan saja.""Motorku...."*Ah, shit! Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah. "Mana Ayah?" cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng."Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang,"