Share

Plester Luka

Faryn tidak mengira jika Hakam akan menciumnya. Terlebih lagi setelah mereka berselisih seperti tadi. Dan juga ... mereka tidak saling mengenal. Lalu apa yang saat ini terjadi?

Lumatan itu semakin menekan bibir Faryn kala ia hendak memberontak. Kedua lengannya ditahan demikian erat oleh Hakam, membatasi gerakannya. Karena merasa kalah oleh tenaga Hakam, wanita itu tidak kehabisan akal. Ia gigit bibir bawah pria itu hingga akhirnya tautan bibir mereka terlepas.

Langsung saja, tangan Faryn dengan gemulai melayangkan tamparan pada pipi Hakam. "Kamu pikir saya perempuan apa sampai kamu berhak mencium seenaknya?" bentak Faryn dengan nada tinggi. Tatapannya nyalang, deru napasnya memburu karena amarah yang tidak lagi dapat ditahan.

Hakam tersenyum miring. Ibu jari tangan kanannya mengusap bibir bawahnya yang sedikit terluka. Tatapannya sulit diartikan. Namun, wajahnya memerah. Entah karena marah atau mungkin ... berhasrat.

"Perempuan murahan tentu saja. Memang harus dianggap sebagai apa lagi?" Hakam mendengus geli bercampur mencemooh.

"Sekalipun saya rendahan, Anda tidak memiliki hak apapun untuk mencium saya semau Anda."

Dengan menghentak kaki, Faryn berjalan menuju pintu. Sebelah tangannya mengusap bibirnya yang masih basah. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Begitu banyak perasaan berkecamuk di dalam dadanya saat ini.

Ia sudah melewati pintu kamar mewah di mana Hakam menginap saat sepasang tangan merangkul perutnya kencang dan menariknya kembali ke dalam kamar. Tubuhnya terpelanting ke atas kasur yang empuk. Kepalanya sedikit pusing akibat mengalami pentalan singkat. Saat ia berhasil menyesuaikan keadaan, wajah Hakam yang makin memerah terpampang jelas di hadapannya.

"Anda pikir Anda mau ke mana?" desis Hakam tajam. Tatapannya menusuk tatapan Faryn di bawahnya.

"Saya pikir Anda tidak ingin berdekatan dengan saya. Terlebih lagi sampai menyentuh kulit hina ini," timpal Faryn sama mendesisnya.

"Saya ingin menunjukan betapa hinanya Anda."

Kedua tangan Faryn dihentakan ke sisi kepalanya dan ditahan demikian kuatnya. Faryn terus memberontak. Kepalanya bergerak seiring dengan perlawanannya hingga rambutnya kini berantakan. Tapi Hakam tidak berniat sedikit pun untuk menghentikan aksinya.

"Tidak ada yang tidak bisa diberikan oleh seorang pria untuk seorang wanita seperti Anda. Cari saja pria lain yang sama rendahnya dengan Anda," geram Hakam.

Kemudian tangan Faryn ditarik ke atas kepalanya dan ditahan hanya dengan satu tangan berotot Hakam. Sedangkan tangan satunya, pria itu gunakan untuk membuka pakaian yang dikenakaan Faryn. Wanita itu panik bukan main. Ia tahu ke mana arah tindakan adik Lintang itu.

Dan Faryn tidak mau itu terjadi.

Meski kakinya terus bergerak, Hakam tidak kesulitan menarik rok yang dikenakan oleh Faryn. Lalu dengan sekali hentakan, wanita itu merasa dirinya telah terbagi dua.

Rasa sakitnya berkumpul menjadi satu di satu titik di bawah sana. Ia menjerit tanpa suara. Air matanya mengalir begitu saja melewati ujung mata. Semua perlawanan Faryn berhenti total. Deru napasnya juga berhenti untuk sesaat.

Sedangkan Hakam, ia juga sama. Pria itu berhenti bergerak dan juga berhenti bersuara. Tidak ada kata-kata kasar yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya, tidak ada gerakan memaksa, dan juga tidak ada keinginan untuk meneruskan tindakannya.

Ia ... terkejut. Faryn masih perawan!

Napas Hakam tertahan. Jantungnya mencelos mengetahui hal itu. Bagaimana bisa seorang pelakor seperti Faryn ternyata masih perawan, terlebih lagi wanita ini dan Linggar sering bertemu di hotel?

Dengan perlahan, Hakam menolehkan kepala. Menatap wajah memerah Faryn yang dibasahi oleh air mata. Perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Pria itu tahu dan sangat tahu jika Faryn tengah menahan sakit yang amat sangat di titik penyatuan mereka.

Hakam menelan salivanya. Perasaan bersalah menghinggapi dirinya. Sial, ia baru saja melakukan kesalahan fatal.

Hakam menjauh dari tubuh setengah polos Faryn. Tautan tubuh mereka terlepas perlahan. Meski sudah terlepas, Faryn masih merasakan sakit yang sama seperti sebelumnya. Sedangkan Hakam, ia mulai panik melihat kondisinya. Lalu matanya yang tajam terpaku pada sebuah noda merah di atas sprei.

Ia menyugar rambutnya ke belakang dengan risau. Ia gugup. Ia bingung. Hakam bergerak ke kanan kiri menelaah apa yang sudah ia lakukan. Sementara itu, Faryn meringkuk di atas kasur.

"Kamu ... kamu tunggu sebentar di sini. Aku panggil bantuan," ujar Hakam panik. Dengan segera, ia berlari ke luar kamar meninggalkan Faryn yang masih kesakitan.

Di antara rasa sakitnya, dalam otak Faryn terlintas pertanyaan, 'Memangnya apa yang bisa dilakukan petugas hotel untuk seorang perempuan yang baru saja direnggut keperawanannya di kamar hotel?'

Meski terlihat cerdas dan mengintimidasi, Hakam tidak lebih dari seorang laki-laki yang juga bisa merasakan panik saat menghadapi situasi di luar kendalinya. Baginya, berada di atas ranjang dengan seorang perawan adalah kesalahan besar. Ia belum pernah berhubungan dengan seorang perawan. Tentu saja ia tidak tahu bagaimana cara memperlakukan seorang perawan setelah merenggut 'mahkotanya'.

Ya, Hakam tidak tidur satu ranjanng dengan seorang perawan. Dan Faryn adalah yang pertama dan satu-satunya.

Dengan merintih pelan, Faryn berusaha membenahi pakaiannya yang obrak-abrik dan sobek di bagian bawah. Ia ingin pergi secepatnya dari kamar ini. Menyempatkan diri mematut penampilannya di cermin, setidaknya dia harus terlihat baik-baik saja saat keluar nanti, maniknya menatap jas Hakam yang sempat dilepas.

Dirinya tidak memiliki pilihan lain. Setidaknya dengan mengenekan jas itu, ia bisa menutupi penampilannya yang berantakan. Meski kebesaran dan panjangnya hampir menutupi seuruh rok selutut yang ia kenakan, itu lebih baik dibandingkan menunjukan belahan di samping rok nya yang setinggi pinggul.

Saat lift yang ia masuki membawanya ke lobi, ia bisa melihat Hakam dengan wajah paniknya. Sepertinya ia berusaha menjelaskan sesuatu pada sang resepsionis wanita. Sementara yang dijelaskan tampak mengerutkan kening mencoba memahami. Dengan melangkah tanpa berusara, Faryn bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan.

"Maksud Bapak, ada yang sedang mencoba bunuh diri di kamar yang Bapak pesan, begitu?" tanya sang resepsionis.

Hakam mengusap wajahnya gusar. "Bukan bunuh diri. Saya sudah bilang. Dia berdarah. Hanya berdarah."

Resepsionis itu tersenyum kikuk mendengar suara Hakam yang meninggi. "Kalau boleh tahu, istri Bapak berdarah karna apa?"

Tangan Hakam menggebrak meja resepsionis hingga wanita dengan rambut digelung itu terlonjak kaget. Faryn juga refleks menoleh ke arah mereka.

"Dia bukan istri saya."

"Jadi, Bapak melukai pacar Bapak?"

"Y-Ya. Sedikit melukai," jawabnya gugup.

Sang resepsionis menarik napas dalam dan mulai bisa mencerna apa yang terjadi. Sepertinya sih.

"Baik. Bapak ingin kami panggilkan ambulans?" Resepsionis mengambil gagang telpon dan bersiap memanggil ambulans.

Hakam mengerutkan keningnya. "Dia tidak separah itu sampai harus dibawa dengan ambulans."

Resepsionis itu kembali meletakan gagang telepon di tangannya. "Lalu apa yang bisa kami lakukan untuk Bapak?"

Manik Hakam berkeliaran menatap sekeliling. Kondisi Faryn tidak begitu parah seperti orang yang terancam nyawanya, tapi juga tidak sesepele teriris oleh silet cukur. Faryn hanya terluka karena ... benda tumpul.

Benda tumpul yang dipaksakan.

Ah, sial. Hakam tidak tahu harus berbuat apa. Ia kehabisan akal. Pria itu tanpak menarik napas dalam. Kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh Hakam, membuat Faryn kehabisan kata-kata. Bahkan untuk mengumpati dirinya pun tidak bisa.

Setelah berusaha mengendalikan diri, ia akhirnya berkata, “Berikan saya plester untuk luka.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status