Share

Kekecewaan Orang Tua

Sudah satu minggu Thalisa tidak pulang ke kediaman Wira, berkomunikasi dengannya pun hanya untuk menanyakan tentang perceraian mereka. Selebihnya, Thalisa sudah pasrah akan status janda yang akan ia sandang nanti. Mau tidak mau, Thalisa harus menceritakan ini semua pada kedua orang tuanya.

Persidangan akan diadakan dua minggu lagi, masih ada kesempatan bagi Thalisa untuk pulang ke kampung dan mengabari keluarganya. Setelah dari sana, Thalisa akan kembali lagi ke Jakarta untuk mengurus surat-surat kepindahannya.

Menurut orang-orang di kampungnya, status janda adalah hal yang paling buruk, karena janda gemar digandrungi oleh laki-laki, terlebih laki-laki yang sudah memiliki istri. Itu sebabnya, menjadi janda sangat ditakuti oleh para perempuan di sana.

Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju terminal, ia sangat takut dengan tanggapan yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya dan juga orang-orang sekampung yang bisa saja mengetahui hal ini dari mulut ke mulut.

Setelah membeli tiket kemarin, Thalisa langsung berangkat sore ini menuju Sukabumi. Thalisa sudah harus memantapkan hati untuk bertemu dengan kedua orang tuanya, menahan rasa malu, menahan rasa sedih, dan juga menahan rasa sakit hati karena telah mengecewakan keluarganya.

***

Selama perjalanan dari Jakarta menuju Sukabumi memakan waktu kurang lebih tiga jam lewat tiga puluh menit, akhirnya sampailah Thalisa di terminal Sukabumi. Rumah orang tua Thalisa tidak terlalu jauh dari terminal, berjarak sekitar tiga puluh lima menit, dan Thalisa pun memesan taksi online untuk sampai ke rumahnya.

Tidak lama menunggu, taksi online atas nama Abdul pun tiba. Thalisa meminta tolong kepada driver tersebut untuk mengangkat barang-barangnya ke bagasi mobil. Setelah itu, driver tersebut langsung mengendarai mobilnya dan mengikuti titik arah lokasi yang sudah tersedia di maps.

Thalisa tidak banyak bicara pada driver online itu, begitu pun sebaliknya. Karena driver online itu pun bisa melihat bahwa Thalisa sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja, terlihat dari matanya yang memerah sembab akibat menangis.

"Ibu, dari Jakarta, ya?" tanya Abdul, driver itu seraya mengarahkan kaca spionnya ke arah Thalisa.

Thalisa menengok ke arah bangku pengemudi, lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Di Jakarta, pemandangannya bagus, nggak, Bu, kayak di kampung ini?" tanyanya lagi dengan senyum yang manis persis seperti gula.

"Sama aja, Mas, di Jakarta lebih panas karena sudah banyak gedung-gedung. Kalau di sini kan sejuk, karena pohon-pohon besar masih banyak yang belum ditebang," jelas Thalisa dengan raut wajah yang sedikit cerah dan bahagia.

"Mbak kesini pulang ke rumah orang tua atau cuma liburan aja, Mbak?"

"Pulang, Mas, kangen orang tua," jawab Thalisa dengan wajah yang berubah murung, ia kembali teringat tujuannya kembali ke Sukabumi.

Sampailah mereka di pekarangan rumah milik Bapak Johan dan Ibu Imas, orang tua Thalisa. Begitu melihat anaknya turun dari motor betapa senangnya hati Imas, ia sangat merindukan anak sulungnya ini, ia pun memeluk dan mengelus kepala Thalisa dengan sangat senang.

"Masha Allah, Nduk, kamu itu sibuk banget, ya, di Jakarta? Ibu nggak dikabarin," gerutu Ibu Imas seraya membolak-balikkan tubuh Thalisa, melihat keanehan yang terlihat di tubuh anaknya tersebut. "Lho, lho, kok kamu kurusan? Makanmu nggak teratur, ya?" cecar sang ibu, ia pun menuntun Thalisa untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Bapak Johan membawakan koper-koper milik Thalisa.

"Sudahlah, Bu, anak kita baru saja sampai, lho, bukannya disuruh istirahat malah dikasih pertanyaan yang segitu hebohnya," sela Bapak yang langsung membuka pintu kamar milik Thalisa sebelum menikah.

"Oh iya, Pak, Ibu sampai lupa. Habis Ibu tuh gemas sama Thalisa," sahut Imas dengan senyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, selama ini Thalisa jarang sekali memberi kabar untuk orang tuanya di kampung, itu karena larangan dari Wira yang tidak mengizinkan Thalisa untuk berkomunikasi dengan orang tuanya.

"Kamu kenapa sendiri kesini, Thalisa? Suamimu mana?" tanya Johan, ia duduk di bangku ruang tamu seraya meletakkan peci salatnya di atas meja.

Thalisa pun menghampiri sang ayah dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya. Sikap Thalisa membuat Imas dan juga Johan bingung, mengapa Thalisa sampai harus bersimpuh di hadapan sang ayah?

"Ada apa, Nduk? Bangun, Nak, bangunlah," bujuk Johan seraya memegang kedua bahu Thalisa dan mengajaknya untuk duduk di kursi.

"Pak, Bu, maafin aku, ya," lirih Thalisa seraya menangis di pangkuan sang ayah.

Hal terberat akan disampaikan oleh Thalisa, entah harus dimulai dari mana Thalisa tidak sanggup menceritakan nasib rumah tangganya yang baru seumur jagung harus berakhir sebentar lagi.

Thalisa berpikir, mungkin saja selama ini ada dosa yang belum dimaafkan oleh orang tua sampai akhirnya rumah tangga yang ia jalani tidak berjalan mulus seperti apa yang sudah ia cita-citakan.

"Kamu itu kenapa, Nduk? Tiba-tiba nangis, kamu ada masalah sama suamimu?" tanya Imas yang langsung mengusap bahu Thalisa dengan lembut dan penuh kasih sayang. Buliran bening mulai memenuhi mata sayunya yang terlihat keriput.

"Pak, Bu, Thalisa mau cerai sama Mas Wira," ucap Thalisa dengan tangis yang menggema di ruang tamu.

Johan dan Imas langsung menatap heran satu sama lain, selama ini yang mereka tahu anaknya baik-baik saja tanpa masalah apa pun, lalu tiba-tiba Thalisa kembali ke rumah membawa koper yang berisi semua pakaiannya dan mengatakan bahwa mereka akan bercerai? Apa maksud semua ini?

"Astagfirullahaladzim, Nduk! Kamu nggak boleh bilang seperti itu, dosa!" bentak Imas.

"Ibu diam dulu, biar Thalisa jelaskan semuanya dari awal," pinta Johan pada Imas. Thalisa tahu, ayahnya sedang menahan amarah yang membuncah di hatinya.

"A-aku nggak b-bisa kasih Mas Wira keturunan, Bu, Pak. Aku mandul, dan Mas Wira selingkuh sama perempuan lain," jelas Thalisa dengan sesegukan. Imas yang tadinya masih ingin berbicara, langsung terdiam begitu mendengar cerita dari Thalisa.

"Mas Wira mau menceraikan aku, dan menikahi perempuan itu agar bisa dapat keturunan," sambung Thalisa.

Johan terpaku, matanya memerah menyala, tangannya mengepal kuat hingga menampilkan buku-buku jari yang memutih. Kesalahan yang paling ditakuti oleh Johan, menikahi anaknya dengan lelaki yang salah.

Imas pun langsung memeluk anak sulungnya dengan erat, tangisan berderai air mata mulai mengisi ruangan yang sunyi itu. Beruntung adik laki-laki Thalisa sedang tidak ada di rumah, karena dia lah orang pertama yang tidak menyukai Wira.

"Ya Allah, Nduk, kenapa nasibmu seperti ini, Nak?" jerit tangis Imas seraya mengusap kedua pipi anaknya, hal itu menambah kesedihan bagi Thalisa. Ia pun membalas pelukan sang ibu dengan erat.

"Hubungi suamimu dan suruh dia datang ke sini," perintah Johan dengan suara yang terdengar tegas.

"Nggak perlu, Pak, karena sidang perceraian kita akan dimulai dua minggu lagi, nggak perlu Bapak suruh Mas Wira datang ke sini," elak Thalisa sambil menangis, ia belum siap untuk bertemu dengan Wira setelah apa yang sudah suaminya itu perbuat.

"Mau dua minggu lagi, atau satu hari sekali pun, Bapak nggak peduli! Bapak harus bicara sama suamimu!" murka Johan. Ia sudah tidak tahan dengan perasaan yang bergejolak di hatinya, melihat anak perempuannya menangis adalah luka yang paling dalam untuknya.

"Apa Wira itu tidak ingat, dulu dia memohon-mohon pada adikmu agar kamu diizinkan untuk menikah dengan dia? Kalau sampai Dafa tahu, Bapak nggak akan menghentikan apa yang akan Dafa lakukan pada suamimu itu," jelas Johan dengan amarah yang berapi-api, kesalnya sudah tidak bisa dibendung lagi.

Ia menyesal karena sudah menikahkan putrinya dengan orang yang salah, orang yang tidak bertanggungjawab dan orang yang sangat tidak tahu malu, mengecewakan orang tua sama saja membuka jalan menuju kesengsaraan yang abadi.

***

To be continue,

Jangan lupa untuk masukkan novel Madam ke rak, ya. Salam hangat dari Madam yang manis💜

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status