Share

Bab 4. Ada apa ini?

Milva mengambil pisau serta telenan. Walaupun dengan hati-hati semua itu diperhatikan oleh Bu Ningsih. Ia takut bila melakukan kesalahan dan akan dihukum kembali. Rasanya memang sudah tidak kuat lagi menahan semua ini. Apa lagi, sedari tadi pagi belum malam ataupun minum.

"Cepat! Kenapa lelet sekali," bentak Bu Ningsih membuat Milva kaget. Sampai-sampai pisau yang dipegang itu pun terjatuh.

"E-eh iy, Bu," jawab Milva, sembari mengambil pisau yang terjatuh ke lantai.

"Makanya, kalau kerja itu yang pecus. Jangan jadi pecudang." Bu Ningsih pun meninggalkan Milva sendiri, ia sudah sangat puas dengan apa yang dilakukan barusan. Melihat anak semata wayangnya itu baru

bangun, maka Bu Ningsih menyapa anaknya tersebut.

"Wah sudah bangun, sayang?" ucap Bu Ningsih menghampiri Restu. Anak lelakinya itu pun hanya mengangguk, mata yang masih merah juga kepala masih terasa pening membuat enggan menjawab.

"Milva di mana?" tanya Restu spontan.

"Ada tuh di dapur. Ibu ngasih pelajaran, tapi lebih bagus sih. Mukanya sudah pucat seperti itu," ucap Bu Ningsih dengan tersenyum bangga.

Restu hanya mengangguk, entah kenapa hatinya selalu menanyakan Milva saja. Padahal semalam dirinya habis berkencan dengan foto model di bar clup malam. Namun, pikiran saat ini selalu memikirkan istrinya itu. Entahlah, ia pun tidak tahu dengan apa yang terjadi.

"Ya, sudah Ibu tinggal dulu, ya." Hanya anggukan yang menjadi jawaban. Bu Ningsih pun akhirnya meninggalkan anak semata wayangnya tersebut.

Restu yang sudah melihat sang ibu yang meninggalkan dirinya. Ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur, entah kenapa hatinya ingin melihat Milva. Ya, hanya itu yang ingin dirinya temui.

Melangkah dengan pelan tetapi pasti, ia sudah melihat Milva sedang meracik-racik bahan-bahannya. Melihat dari kejauham baru menyadari bahwa body sang istri memang menggairahkan. Hanya saja dirinya masih enggan untuk menyentuh.

Walaupun sudah halal, tetapo rasanya tak sama saat menyentuh foto model atau wanita lain di club malam. Hanya sebentar menatap kesibukan Milva, Restu pun meninggalkan wanita itu. Biarkanlah sang istri menyelesaikan pekerjaannya.

Drrtt ... drrtt ... drrtt ....

Tiba-tiba ponsel Restu bergetar, entah ada panggilan atau pesan chat. Dengan segera dirinya pun mengambil ponsel tersebut di saku celananya.

[Hay, Sayang.]

Begitulah isi pesan chat dari seorang wanita. Tentunya wanita simpanan yang dimiliki oleh Restu. Ya, lelaki itu kerap sekali bergonta-ganti pacar. Walaupun, sudah terikat dengan Milva. Baginya sang istri itu adalah pembantu rumah tangga.

Ia pun tidak menafkahi sang istri, baik lahir dan batin. Semua itu hanya dianggap angin lewat saja. Restu bisa dikatakan seperti masih bujang yang tidak mempuanyai istri atau belum keluarga. Namun, kenyataannya dirinya sudah berkeluarga. Ya, walau dalam hati tak mengakui ada Milva di rumahnya.

[Iya, ada apa? Tumben chat, Sel?] Balas Restu.

Sely

[Aku kangen tahu. Rasanya masih ingin bercumbu sama dirimu, Yank.]

Restu hanya tersenyum sendiri saat membaca pesan chat dari Sely. Seakan memang dirinya mempunyai magnet untuk memikat para wanita jatuh dalam pelukannya.

[Kangen denganku apa dengan hot speedyku?] Goda Restu, yang menyebut hot speedynya. Ya, dirinya terlaku membanggakan apa yang di punya.

Sely

[Dua-duanya, aku ingin kamu lagi, argh!]

Sely terus membujuknya agar datang, apa lagi kata-kata itu membuat Restu tidak tahan lagi. Baginya semua itu sangat membuat mabuk kepayang.

[Oke, aku akan segera otw]

Setelah membalas seperti itu dirinya pun segera berjalan menuju ke kamarnya. Ya, tentu saja untuk bersiap menemui, Sely. Namun, baru juga naik tiga tangga, ia seperti teringat kepada Milva. Seakan ada yang membisiki bahwa jangan melupakan sang istri.

"Astaga, ada apa denganku," ucap Restu memegang kepalaya. Ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi kepada dirinya. "Kalai begini bisa gila, aku!" imbuhnya mencoba untuk terus melanjutkan naik ke atas.

Melupakan tentang Milva yang benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Walaupun, begitu Restu tetap harus bersikap biasa saja. Tak ingin nanti malah membuat kasihan kepadanya.

Sedangkan wanita yang sedang berada di dapur pun, dengan cetakan menyiapkan semuanya. Ya, tentu saja agar semua lekas tersaji di meja makan. Pikiran Milva hanya agar cepat selesai, tak memikirkan hal apapun. Baik terhadap sang mertua dan suaminya sendiri, yang terpenting dirinya tidak dihukum lagi.

"Tinggal dikit lagi semua akan segera selesai," ucap Milva lirih. Rasa sakit yang di deritanya tak menghambat dirinya untuk menyiapakan semuanya.

Melihat dimeja makan sudah rapi, Milva berniat untuk mengambil nasi agar bisa makan. Namun, ternyata Bu Ningsih lebih dulu di meja makan. Ia pun tak berani mengambilnya. Menaruh piring itu kembali ke dalam tempatnya. Lalu bersiap untuk melangkahkan kaki menuju ke taman belakang.

Saat Milva hendak meninggalkan meja makan. Senyum culas terpampang nyata di bibir Bu Ningsih. Dirinya sangat unggul dalam mengatur pembatunya itu. Ya, ia tak sudi bila menyebut Milva sebagai menantunya. Ia lebih sudi memanggil pembantu rumah tangga, yang secara gratis tidak membayat gaji bulanan.

Sesampainya di taman belakang, Milva duduk di ayunan. Ia hanya bisa memandang kosong kepada bunga-bunga yang sudah mekar. Sepi, mendung dan rasa sudab mati, begitulah perasaannya saat ini.

"Ibu, Ayah ... apa kalian melihatku seperti ini? Kenapa sangat berat sekali? Kapan aku bisa hidup layaknya manusia?" tanya Milva dengan air mata yang tak bisa tertahankan lagi. Ia pun menatap ke angkasa yang menurutnya kedua orang tua sedang menatapnya pilu.

"Sebenci inikah alam kepadaku? Yang membuat secuil senyumku tidak ada?" Milva terus terisak, mengeluarkan betapa hancurnya hati. Seseorang yang mendengarkannya pasti tidak akan tega dengan apa yang dirasakan. Namun, orang yang membencinya justru akan tertawa senang di atas penderitaannya.

Di lantai dua, ada seorang lelaki yang tengah memandang ke arah taman. Ya, dirinya melihat sang istri tengah duduk di ayunan sendiri. Padahal ia sudah bersiap untuk menemui kekasih gelapnya.

Rasa itu berkecamuk begitu saja, antara ingin menghampiri dan tidak. Namun, rasa gengsi yang tinggi membuat Restu perpaling dari sisi taman. Ia pun langsung menyambar kunci mobil dan bersiap untuk segera pergi dari rumah.

Genderang hati bertalu-talu ingin menanyakan apanyang terjadi pada Milva. Namun, rasanya tak akan mungkin, bila dilihat sang ibu pasti akan di ceramahi. Memantapkan untuk pergi, walau hati masih gundah gulana.

"Mau ke mana?" tanya sang Ibu kepada Restu.

"Keluar sebentar, Bu."

"Ya, sudah hati-hati." Restu pun hanya mengangguk. Ia pun langsung berjalan menuju ke garasi. Andaikan lelaki itu tahu perasaan Milva, adakah secuil harapan untuk wanita itu tersenyum. Namun, semua itu apa mungkin? Ya, hanya sang waktu yang akan menjawab semuanyanya.

Mobil pun akhirnya pergi meninggalkan rumah. Meninggalkam Milva yanh sedang bersedih akan apa yang dialaminya. Namun, disepanjang perjalanan Restu hatinya selalu bertanya-tanya. Seperti ada yang menganjal dan itu ia tak tahu.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status