Nyatanya Inara hanya meraih tangan Mas Bayu. Meskipun dari sorot matanya tersirat rasa rindu yang begitu hebat.
Inara mencium punggung tangan, telapak tangan, kemudian membalik untuk mencium punggung tangan Mas Bayu sekali lagi. Mungkin itu caranya mengungkapkan rasa cinta dan rindu dari hati.
Sesaat Mas Bayu hendak menundukkan badan, mungkin ingin mengecup keningnya. Tapi dengan cepat Inara menahan dada suamiku. Sebuah gelengan halus masih bisa kutangkap.
Apakah Inara sedang berusaha menjaga hatiku?
Mas Bayu duduk di antara kami berdua. Sampai Bibik menghidangkan minum, kami bertiga masih terdiam.
"Gendhis, kamu suka mawar juga?" Suara Inara memecah hening.
Aku melirik suamiku. Kata 'juga' yang diucapkan Inara seolah menerangkan jika Mas Bayu menyiapkan bunga ini untuk Inara.
Tak ada yang bisa ku lakukan selain mengangguk. Apakah Mas Bayu tahu jika aku menyukai anyelir?
Ah, tak penting.
Sangat terlihat jika Inara membatasi diri dari Mas Bayu. Tak ada hal penting yang kami bicarakan. Perempuan cantik itu lebih sering membuka percakapan.
Beberapa kali ku tangkap tatapan memuja suamiku untuk Inara. Terlihat begitu banyak cinta yang tak terungkap, dan hanya serupa kiasan gerak tak kasat mata.
Inara, bagiku dia sosok perempuan sempurna. Entah kenapa aku harus menjadi penyusup di antara mereka.
Satu ucapan Inara yang ku lewatkan ternyata mampu membuat Mas Bayu terbahak.
Aku menatapnya takjub, sungguh …, baru kali ini ku lihat Mas Bayu tertawa lepas. Setitik iri coba ku tepis dalam diam.
Apalah aku yang tak pernah ada di hatinya. Aku hanya istri yang akan mendampingi, bukan memiliki.
***
Inara pamit pulang setelah makan malam berakhir. Mas Bayu menahan agar bisa sedikit lebih lama, namun Inara mampu membuat suamiku itu mengikuti apa yang dia mau.
Dan sekarang aku berada di kamar seorang diri. Mas Bayu memaksa untuk mengantar sang bidadari.
Sudah dua jam berlalu, dan suamiku belum juga kembali. Mungkin ada banyak rindu yang harus mereka ungkap. Mungkin juga ada jutaan kata yang mereka ucap.
Mereka bersama atas nama cinta, sedangkan Mas Bayu menikah denganku hanya karena restu.
Entah apa yang telah Bapak perbuat, hingga keluarga Mas Bayu rela menukar kebahagiaan suamiku.
Waktu terus bergulir, aku memanjakan diri dengan lamunan. Mungkinkah aku harus mulai terbiasa, membiarkan Mas Bayu mengunjungi Inara?
***
Saat pagi datang, aku terkejut mendapati Mas Bayu ada di sampingku. Dia tertidur lelap. Gurat lelah tergambar di wajahnya.
Aku menikmati suguhan indah yang terpampang nyata di hadapanku.
Saat tidur wajah itu terlihat tegas, namun juga lembut di saat bersamaan. Gerakan tanganku ingin menyentuh sedikit saja ujung rahang kokoh miliknya.
Tapi rasa takut mengalahkan semua. Tanganku tak pernah sampai. Mesti anganku terus berkelana menyusuri tiap lajur nadi miliknya.
Aku di sampingnya, seharusnya aku bisa meraih dan menggenggam hatinya.
Tapi aku hanyalah aku. Jantung yang semakin keras berpacu sontak membuatku sadar.
Aku hanyalah istri yang tak akan tersentuh. Bahkan oleh kedipan mata miliknya.
Mas Bayu menatapku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Aku yang tengah menyesap teh mencoba tidak peduli.Jika memang ada hal penting, tentu dia akan segera menyampaikannya bukan?Nyatanya sampai saat kopi di cangkir miliknya tinggal separuh dia tetap diam.Mas Bayu berangkat kerja bahkan tanpa menyentuh sarapan yang disajikan Bibik. Setelah dia pergi, aku memilih masuk kembali ke kamar. Rumah ini masih saja asing bagiku.Setiap sudutnya seolah memandangku remeh. Apalah aku yang hanya anak seorang pekerja kebun. Bisa tinggal di rumah ini pun tak pernah t
Hatiku penuh dengan berbagai rasa. Semua bergumul dan memaksa menyeruak ke luar. Kata-kata Rum sangat membekas, dan membuatku seketika seperti dihempas ke lubang penuh kotoran.Seolah tak punya harga diri.Hampir dua bulan aku menjadi nyonya di rumah ini, tapi seseorang yang bahkan mendapatkan sesuap nasi dari suamiku berani menghina.Aku marah. Ya, marah pada Bapak yang membuatku berada di posisi ini. Marah pada Mas Bayu yang mengacuhkan aku. Marah pada mertua yang memintaku pindah ke rumah Mas Bayu.Jika saja Mas Bayu bisa sedikit lebih tegas untuk menolak pernikahan kami, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda. Aku bisa hidup bebas, dan tak akan mendapatkan hinaan di rumah suamiku.
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai."Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k
Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k
Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!