Share

Perkenalan Dengan Alexa

Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan.

Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa.

Sebenarnya, Raynald sendiri sadar dengan apa yang dilakukannya saat ini. Berkelana dengan jalan pikirannya sendiri dan dengan teganya mengacuhkan Laura yang tengah duduk kaku di sampingnya. Namun entah lah, Raynald hanya sedang tak punya niat untuk membuka mulut. Ia berharap Laura paham. 

Namun, baru saja ia mengutarakan harapannya, rupanya Laura sudah tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Gadis itu sedikit memiringkan tubuhnya, agar dapat berhadapan dengan Raynald.

“Ini ada apa sih sebenarnya, Ray? Dari kemarin malam kamu itu diam terus. Cerita dong kalau memang ada masalah,” cecar Laura begitu hati-hati, lembut, tapi juga begitu tiba-tiba. Membuat Raynald harus memotong jalan pikirannya dan dengan spontan mengalihkan pandangannya ke gadis itu. Raynald membasahi bibirnya, saat menatap sinar cemas di mata Laura. Tak lama, hanya sekilas saja ia menatap gadis itu sebelum akhirnya kembali fokus pada jalanan di depannya. Laura masih menunggu, sampai ia benar-benar yakin kalau Raynald tak akan menjawab pertanyaannya.

“Ray,” panggil gadis itu lembut dengan tatapan memohon. Seolah tak putus asa untuk mendapat jawaban dari Raynald.

“Lau, jujur aku nggak tahu bagaimana cara menyampaikan kabar ini ke kamu. Kalau boleh milih, sejujurnya aku nggak mau menyampaikan ini. Bahkan aku nggak pernah mau hal ini terjadi. Tapi ….” Raynald mengembuskan napasnya yang terasa membebaninya. “kamu harus tahu ini.” 

Hening sejenak. Laura tahu, Raynald masih ingin melanjutkan kalimatnya. Maka itu, ia hanya diam dan terus mendengar.

“Tapi..” Suara Raynald melemah. Laki-laki itu menatap Laura dengan penuh kekhawatiran.

“Tolong sabar sebentar. Karena cuma cara ini yang ada dipikiran aku saat ini.” Tutupnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Laura.

Mungkin Laura telah salah bertanya pada Raynald. Mungkin seharusnya dia tidak pernah bertanya. Karena apa yang didengarnya dari Raynald telah membuat hatinya bergejolak.  Puluhan tanda tanya di kepalanya berkembang biak seperti amoeba. Membelah dan menjadikannya semakin bersarang dalam jumlah yang tak terkalkulasi. Laura menatap Raynald dalam diam. Dan mengubah duduknya kembali menghadap jalanan ibu kota dalam kebekuan kata. Mungkin ia hanya perlu  menunggu dan mempersiapkan diri. Dan jantung Ana pun mulai berdetak tak karuan.

***

Laura berjalan cemas di samping Raynald yang terlihat tegang. Bau obat segera menjejal masuk ke hidungnya saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Gedung putih bertingkat lima yang dipenuhi orang berlalu lalang dalam berbagai keadaan. Laura masih tak bertanya saat Raynald menggenggam tangannya dan menggiring langkahnya memasuki rumah sakit itu. Ia sempat melirik Raynald begitu tiba mereka di tempat itu. Dan raut wajah Raynald semakin menegang. Laki-laki itu hanya berjalan kaku menuju satu tempat yang sepertinya sudah sangat ia hapal.

Masih dalam keheningan yang membuat Laura semakin gelisah dan tak nyaman. Keduanya berhenti di depan sebuah lift. Raynald menekan tombol di sana, menunggu dalam keheningan, hingga bunyi denting terdengar dan pintu lift terbuka. Raynald membawanya masuk ke dalam lift dan kembali menekan tombol yang berjejer di samping pintu lift. Dan sekonyong-konyongnya, lift itu membawa mereka peragi.

Sebuah denting kembali terdengar saat lift sudah tiba di tempatnya. Perlahan, pintu terbuka dan kini mereka sudah berada di lantai tiga. Namun, Raynald tak bererak. Pun Laura. Laki-laki itu membeku di tempatnya. Menatap kosong pada apa yang ada di depannya saat ini. Tangannya tak lepas menggenggam Laura. Berbagai rasa bekecamuk dalam benaknya. Membuatnya benar-benar merasa menciut dan ketakutan. Ia merasa butuh kekuatan. Dan kekuatannya, ada pada gadis yang tangannya berada pada genggamannya saat ini. Dan seketika, tangan itu menarik Laura tanpa aba-aba. Mendekapnya tanpa ampun. Memaksa tubuh itu menyatu dalam tubuhnya. Membiarkan wajahnya terbenam di balik bahu Laura dan menikmati aromanya. Laura tersentak. Tak bergerak. Dan mereka berdua tak sanggup melepaskan diri. Membiarkan pintu lift tertutup dan kembali membawa mereka ke lantai dasar.

Laura melepaskan dekapan lai-laki itu dengan hati-hati. Menatapnya yang saat ini tak mampu menatap dirinya. Tangan Laura bergerak. Melewati tubuh Raynald untuk menggapai tombol yang ada di samping pintu tanpa mengalihkan tatapanya dari Raynald. Laki-laki itu menatap Laura. 

“Aku yakin, ada sesuatu atau seseorang yang sedang menunggu kita di sana,’kan?” 

Raynald tak pernah menyangka, di situasi sedingin ini, Laura masih tetap bisa tersenyum. selayaknya senyuman khas milik gadis itu. Namun ia tak tahu, apakah setelah ini Laura akan masih bisa tersenyum padanya.

Dan begitu lift tiba di lantai dasar, sebelum pintu sempat terbuka, lift itu kembali melesat dengan kesal ke lantai yang tadi sempat dikunjunginya. Membawa dua anak manusia yang tengah berperang hati di dalam sana. Dan Raynald hanya mampu pasrah.

Seorang wanita paruh baya tengah duduk sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya di salah satu deretan kursi tunggu di depan sebuah ruangan. Setidaknya sosok itu yang tertangkap dalam mata Laura dan Raynald. Awalnya, Laura tak terlalu ambil pusing pada keberadaan wanita itu di sana. karena saat ini, baginya Raynald sudah cukup membuat kepalanya berdenyut seharian. Ia merasa hari ini Raynald adalah sebuah puzzle yang terpecah menjadi ratusan keeping dan harus ia selesaikan seorang diri untuk mengetahui gambar apa yang terbentuk dari kepingan puzzle-puzzle Raynald yang berserakan. Tapi, saat wanita itu tiba-tiba melepaskan tangannya dari wajahnya dan menoleh menghadap keduanya. Tersenyum lega dan segera bangkit menyambut. Laura sadar, wanita ini adalah potongan puzzle pertamanya. Wanita itu tersenyum begitu tulus pada keduanya.

“Bu,” sapa Raynald terdengar kaku. Tapi wanita itu tetap tersenyum ramah dan begitu tulus pada laki-laki itu. Ia beralih menatap Laura dan melemparkan senyum tak kalah tulusnya. Tapi saat pandangan wanita itu turun dan menatap tangan keduanya yang tergenggam rapat, senyum itu perlahan memudar. Beliau kembali menatap Laura yang entahlah, Laura hanya merasa tatapan itu begitu mengiba. Wanita itu mengangkat tangannya dan menekan dadanya yang mungkin terasa nyeri. Karena saat itu, air mata bergulir di pipi keriputnya yang terlihat lelah.

“Ini Laura, Bu. Orang yang saya ceritakan pada Ibu.” 

Laura menatap Raynald. Raynald menceritakan dirinya pada wanita ini? Lalu siapa wanita ini?

“Maaf,” gumam wanita itu seketika memotong jalan fikiran Laura. Ia beralih menatap wanita paruh baya di depannya yang kini tengah menunduk dengan tubuh bergetar. Ia terisak. Ada apa sebenarnya ini? Kembali ditatapnya Raynald seolah meminta penjelasan. Tapi laki-laki itu hanya menunduk dalam. Dan untuk kedua kalinya, wanita paruh baya itu kembali mengejutkannya saat tiba-tiba ia berhambur memeluk tubuh Laura. Berjinjit seolah ingin menyamakan tinggi tubuhnya dengan kaki jenjang Laura. Laura membeku untuk beberapa detik yang berlalu. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi saat ini. Namun detik selanjutnya, Laura mengangkat tangannya perlahan. Membalas pelukkan hangat wanita itu dalam rasa penasarannya.

***

Laura menatap sendu pada sosok yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur itu dari sebuah kaca kecil yang tersemat di depan pintu sebuah kamar rawat. Beberapa alat penunjang hidup mengelilingi wanita itu. Sebuah tabung begitu tinggi berdiri kokoh di samping ranjangnya. Dan monitor pengamat denyut jantung seolah mengisi keheningan ruangan itu dengan suaranya. Di sisi lain, terdapat selang infuse yang tergantung dan menacap di pergelangan tangan wanita itu.

Sebulir air mata yang saat itu dihapusnya dengan cepat bergulir di wajahnya. hatinya teriris. Ia meringis. Begitu pedih tak tertahan. Siapa tadi nama gadis ini? Alexandra? Laura mengembuskan napasnya begitu keras. Bukankah tadi ia ingin segera menyelesakikan puzzlenya? Bukankah tadi ia hanya ingin secepat mungkin mengetahui gambar apa yang akan dibentuk dari serakan puzzlenya? Lantas mengapa saat ini ia merasa ingin mengacak-acak puzzlenya dan tak ingin menyusunnya kembali?  Mengapa begitu pedih saat mengetahui gambar apa yang tersusun dari puzzlenya. Tentang Alexandra. Tentang masa lalunya. Tentang kondisinya. Dan tentang drama apa yang akan ia jalani sesaat lagi.

Air mata kembali bergulir di wajah Laura. Dan kali ini, ia tak berusaha menghapusnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status