Selama dua tahun waktu yang telah ia habiskan bersama Raynald, Laura tak pernah sekali pun merasa semencekam ini saat bersama dengan laki-laki itu. Dua puluh menit yang lalu, laki-laki itu mengiriminya pesan singkat bersifat memaksa bahwa ia akan menjemput Laura di tempatnya bekerja di L.A Desgin. Ia tak bertanya apa Laura membawa kendaraan atau akan pulang jam berapa? Ia hanya memutuskan. Tanpa memberi pilihan.
Dan kini, di sini lah mereka. Duduk membeku di dalam mobil. Laura tak berani mengganggu Raynald yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Menatap serius jalan di depannya seolah Laura tak pernah ada di sana. Ia penasaran. Apa sebenarnya yang ada di kepala laki-laki itu? Apa sebenarnya yang sedang menghantui pikirannya hingga untuk sekedar meliriknya pun ia lupa.
Sebenarnya, Raynald sendiri sadar dengan apa yang dilakukannya saat ini. Berkelana dengan jalan pikirannya sendiri dan dengan teganya mengacuhkan Laura yang tengah duduk kaku di sampingnya. Namun entah lah, Raynald hanya sedang tak punya niat untuk membuka mulut. Ia berharap Laura paham.
Namun, baru saja ia mengutarakan harapannya, rupanya Laura sudah tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Gadis itu sedikit memiringkan tubuhnya, agar dapat berhadapan dengan Raynald.
“Ini ada apa sih sebenarnya, Ray? Dari kemarin malam kamu itu diam terus. Cerita dong kalau memang ada masalah,” cecar Laura begitu hati-hati, lembut, tapi juga begitu tiba-tiba. Membuat Raynald harus memotong jalan pikirannya dan dengan spontan mengalihkan pandangannya ke gadis itu. Raynald membasahi bibirnya, saat menatap sinar cemas di mata Laura. Tak lama, hanya sekilas saja ia menatap gadis itu sebelum akhirnya kembali fokus pada jalanan di depannya. Laura masih menunggu, sampai ia benar-benar yakin kalau Raynald tak akan menjawab pertanyaannya.
“Ray,” panggil gadis itu lembut dengan tatapan memohon. Seolah tak putus asa untuk mendapat jawaban dari Raynald.
“Lau, jujur aku nggak tahu bagaimana cara menyampaikan kabar ini ke kamu. Kalau boleh milih, sejujurnya aku nggak mau menyampaikan ini. Bahkan aku nggak pernah mau hal ini terjadi. Tapi ….” Raynald mengembuskan napasnya yang terasa membebaninya. “kamu harus tahu ini.”
Hening sejenak. Laura tahu, Raynald masih ingin melanjutkan kalimatnya. Maka itu, ia hanya diam dan terus mendengar.
“Tapi..” Suara Raynald melemah. Laki-laki itu menatap Laura dengan penuh kekhawatiran.
“Tolong sabar sebentar. Karena cuma cara ini yang ada dipikiran aku saat ini.” Tutupnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Laura.
Mungkin Laura telah salah bertanya pada Raynald. Mungkin seharusnya dia tidak pernah bertanya. Karena apa yang didengarnya dari Raynald telah membuat hatinya bergejolak. Puluhan tanda tanya di kepalanya berkembang biak seperti amoeba. Membelah dan menjadikannya semakin bersarang dalam jumlah yang tak terkalkulasi. Laura menatap Raynald dalam diam. Dan mengubah duduknya kembali menghadap jalanan ibu kota dalam kebekuan kata. Mungkin ia hanya perlu menunggu dan mempersiapkan diri. Dan jantung Ana pun mulai berdetak tak karuan.
***Laura berjalan cemas di samping Raynald yang terlihat tegang. Bau obat segera menjejal masuk ke hidungnya saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Gedung putih bertingkat lima yang dipenuhi orang berlalu lalang dalam berbagai keadaan. Laura masih tak bertanya saat Raynald menggenggam tangannya dan menggiring langkahnya memasuki rumah sakit itu. Ia sempat melirik Raynald begitu tiba mereka di tempat itu. Dan raut wajah Raynald semakin menegang. Laki-laki itu hanya berjalan kaku menuju satu tempat yang sepertinya sudah sangat ia hapal.
Masih dalam keheningan yang membuat Laura semakin gelisah dan tak nyaman. Keduanya berhenti di depan sebuah lift. Raynald menekan tombol di sana, menunggu dalam keheningan, hingga bunyi denting terdengar dan pintu lift terbuka. Raynald membawanya masuk ke dalam lift dan kembali menekan tombol yang berjejer di samping pintu lift. Dan sekonyong-konyongnya, lift itu membawa mereka peragi.
Sebuah denting kembali terdengar saat lift sudah tiba di tempatnya. Perlahan, pintu terbuka dan kini mereka sudah berada di lantai tiga. Namun, Raynald tak bererak. Pun Laura. Laki-laki itu membeku di tempatnya. Menatap kosong pada apa yang ada di depannya saat ini. Tangannya tak lepas menggenggam Laura. Berbagai rasa bekecamuk dalam benaknya. Membuatnya benar-benar merasa menciut dan ketakutan. Ia merasa butuh kekuatan. Dan kekuatannya, ada pada gadis yang tangannya berada pada genggamannya saat ini. Dan seketika, tangan itu menarik Laura tanpa aba-aba. Mendekapnya tanpa ampun. Memaksa tubuh itu menyatu dalam tubuhnya. Membiarkan wajahnya terbenam di balik bahu Laura dan menikmati aromanya. Laura tersentak. Tak bergerak. Dan mereka berdua tak sanggup melepaskan diri. Membiarkan pintu lift tertutup dan kembali membawa mereka ke lantai dasar.
Laura melepaskan dekapan lai-laki itu dengan hati-hati. Menatapnya yang saat ini tak mampu menatap dirinya. Tangan Laura bergerak. Melewati tubuh Raynald untuk menggapai tombol yang ada di samping pintu tanpa mengalihkan tatapanya dari Raynald. Laki-laki itu menatap Laura.
“Aku yakin, ada sesuatu atau seseorang yang sedang menunggu kita di sana,’kan?”
Raynald tak pernah menyangka, di situasi sedingin ini, Laura masih tetap bisa tersenyum. selayaknya senyuman khas milik gadis itu. Namun ia tak tahu, apakah setelah ini Laura akan masih bisa tersenyum padanya.
Dan begitu lift tiba di lantai dasar, sebelum pintu sempat terbuka, lift itu kembali melesat dengan kesal ke lantai yang tadi sempat dikunjunginya. Membawa dua anak manusia yang tengah berperang hati di dalam sana. Dan Raynald hanya mampu pasrah.
Seorang wanita paruh baya tengah duduk sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya di salah satu deretan kursi tunggu di depan sebuah ruangan. Setidaknya sosok itu yang tertangkap dalam mata Laura dan Raynald. Awalnya, Laura tak terlalu ambil pusing pada keberadaan wanita itu di sana. karena saat ini, baginya Raynald sudah cukup membuat kepalanya berdenyut seharian. Ia merasa hari ini Raynald adalah sebuah puzzle yang terpecah menjadi ratusan keeping dan harus ia selesaikan seorang diri untuk mengetahui gambar apa yang terbentuk dari kepingan puzzle-puzzle Raynald yang berserakan. Tapi, saat wanita itu tiba-tiba melepaskan tangannya dari wajahnya dan menoleh menghadap keduanya. Tersenyum lega dan segera bangkit menyambut. Laura sadar, wanita ini adalah potongan puzzle pertamanya. Wanita itu tersenyum begitu tulus pada keduanya.
“Bu,” sapa Raynald terdengar kaku. Tapi wanita itu tetap tersenyum ramah dan begitu tulus pada laki-laki itu. Ia beralih menatap Laura dan melemparkan senyum tak kalah tulusnya. Tapi saat pandangan wanita itu turun dan menatap tangan keduanya yang tergenggam rapat, senyum itu perlahan memudar. Beliau kembali menatap Laura yang entahlah, Laura hanya merasa tatapan itu begitu mengiba. Wanita itu mengangkat tangannya dan menekan dadanya yang mungkin terasa nyeri. Karena saat itu, air mata bergulir di pipi keriputnya yang terlihat lelah.
“Ini Laura, Bu. Orang yang saya ceritakan pada Ibu.”
Laura menatap Raynald. Raynald menceritakan dirinya pada wanita ini? Lalu siapa wanita ini?
“Maaf,” gumam wanita itu seketika memotong jalan fikiran Laura. Ia beralih menatap wanita paruh baya di depannya yang kini tengah menunduk dengan tubuh bergetar. Ia terisak. Ada apa sebenarnya ini? Kembali ditatapnya Raynald seolah meminta penjelasan. Tapi laki-laki itu hanya menunduk dalam. Dan untuk kedua kalinya, wanita paruh baya itu kembali mengejutkannya saat tiba-tiba ia berhambur memeluk tubuh Laura. Berjinjit seolah ingin menyamakan tinggi tubuhnya dengan kaki jenjang Laura. Laura membeku untuk beberapa detik yang berlalu. Mencoba mencerna apa yang tengah terjadi saat ini. Namun detik selanjutnya, Laura mengangkat tangannya perlahan. Membalas pelukkan hangat wanita itu dalam rasa penasarannya.
***Laura menatap sendu pada sosok yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur itu dari sebuah kaca kecil yang tersemat di depan pintu sebuah kamar rawat. Beberapa alat penunjang hidup mengelilingi wanita itu. Sebuah tabung begitu tinggi berdiri kokoh di samping ranjangnya. Dan monitor pengamat denyut jantung seolah mengisi keheningan ruangan itu dengan suaranya. Di sisi lain, terdapat selang infuse yang tergantung dan menacap di pergelangan tangan wanita itu.
Sebulir air mata yang saat itu dihapusnya dengan cepat bergulir di wajahnya. hatinya teriris. Ia meringis. Begitu pedih tak tertahan. Siapa tadi nama gadis ini? Alexandra? Laura mengembuskan napasnya begitu keras. Bukankah tadi ia ingin segera menyelesakikan puzzlenya? Bukankah tadi ia hanya ingin secepat mungkin mengetahui gambar apa yang akan dibentuk dari serakan puzzlenya? Lantas mengapa saat ini ia merasa ingin mengacak-acak puzzlenya dan tak ingin menyusunnya kembali? Mengapa begitu pedih saat mengetahui gambar apa yang tersusun dari puzzlenya. Tentang Alexandra. Tentang masa lalunya. Tentang kondisinya. Dan tentang drama apa yang akan ia jalani sesaat lagi.
Air mata kembali bergulir di wajah Laura. Dan kali ini, ia tak berusaha menghapusnya.
***Bab 8Laura tak ingin mengingat perasaannya saat kenyataan itu dibeberkan di hadapannya.“Kamu ingat Lexa,’kan? Mantan aku, tiga tahun lalu.”Demi Tuhan, Laura merasa tak perlu diingatkan akan hal itu. Perasaannya sudah cukup mendung saat ini. Dan Raynald tak perlu mengiris hatinya lebih dalam lagi. Bagaimana ia bisa melupakan Alexa? Perempuan yang sudah membuat Laura begitu sulit masuk ke dalam kehidupan Raynald. Ia tahu, Alexa dan Raynald pernah menjalin kasih begitu lama hingga membuat laki-laki itu begitu sulit melupakannya.“Dua tahun lalu
Laura merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Satu setengah jam berada di dalam ruang studio dan membantu para model untuk melakukan sesi foto, ternyata cukup berhasil membuat seluruh ototnya terasa tegang dan kaku.“Laura.” Panggil seseorang di belakang Laura dengan suara yang begitu melengking. Laura berputar cepat dan menemukan Alice, rekan kerjanya, yang tengah berlari kecil mencoba menyamakan langkah dengan dirinya. Ia merangkul bahu Laura dengan santai.“Mau pulang langsung?” tanya Alice to the point. Laura mengangguk mantap.“Capek banget rasanya hari ini. Mau cepat-cepat istirahat,” jawab Laura. Alice melepaskan rangkulannya dan menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Membuat Laura ikut menghentikan langkahnya dan menatap Alice.
Laura tak pernah menyangka bahwa mobil yang menggilas jalanan ibu kota dengan kejam itu akan berhenti di depan sebuah tempat berpenerangan lebih redup dari tempat sebelumnya. Tempat itu begitu kecil. Mungkin hanya sukuran kamarnya. Di atas pintunya, terpampang sebuah papan kayu yang dihiasi lampu-lampu kecil warna warni bertuliskan Portgas D.Ace. Dari pintu kacanya, Laura dapat melihat hanya ada tiga meja bulat dengan dua kursi di masing-masing meja. Dan di depan sana, ada sebuah meja panjang yang melingkar. Dengan seorang bar tander di baliknya.Keduanya keluar dari dalam mobil. Raynald sepertis sudah terbiasa dengan tempat itu. sementara Laura, ia masih tak percaya akan menginjakkan kaki di tempat ini, bar. Tempat yang tak pernah ia mau kunjungi selama hidupnya. Dan malam ini, ia melanggar sumpahnya. Ia mencoba bern
Alexa membuka matanya yang terasa begitu berat. Dan seketika ia diserang rasa pening yang hebat. menusuk-nusuk setiap syaraf di kepalanya dan memaksa matanya terpejam kembali dengan erat. Lagi, dengan hati-hati ia memncoba membuka matanya. Ia mendesah pelan. Ruang sempit ini lagi. Suasana putih ini lagi. Dan bau obat yang menyengat lagi. Ia sungguh mulai bosan. Sangat bosan. Sudah dua minggu berlalu sejak ia mulai membuka mata dan hanya bisa terbujur kaku di ranjang yang sempit. Ia sudah merasa seperti mayat yang bernapas. Iya, sudah dua minggu lamanya Alexa terbangun dari komanya. Dari tidur panjangnya. Setidaknya, itulah yang tiap hari ia dengar dari ibunya. Setiap kali Alexa membuka matanya, wanita yang sudah mulai menua itu tak hentinya berucap syukur karena Alexa tak tidur panjang lagi. Mungkin ibunya selalu diserang rasa takut yang hebat setiap kali ia t
Laura menelungkapkan wajahnya di atas meja. Pagi tadi, Raynald mengiriminya pesan. Laki-laki itu meminta izin padanya untuk mengunjungi Alexa mulai hari ini. Saat itu, ingin sekali rasanya Laura mencegah Raynald. Membalas pesan itu dengan dua kata. Jangan pergi. Jangan pergi. Meski mereka berdua telah sepakat untuk membantu Alexa sampai perempuan itu benar-benar dapat menerima kenyataan, Laura tetap saja tak ingin Raynald pergi. Tapi haruskah? Haruskah ia mengorbankan sebuah nyawa demi rasa egoisnya? Dan seketika air mata Laura meleleh.“Kenapa diizinin kalau sampai kayak gini, Lau?” Sebuah suara menyentakan Laura dari pikiran yang carut-marut. Ia menegakkan kembali duduknya dan meraup wajahnya. Menghilangkan jejak-jejak air mata di wajahnya. Ia menatap Angel dan tersenyum. Meraih sekaleng soda yang diserahkan Angel padanya. Hari ini, Laura sampai harus izin dari kantornya karena ia merasa benar-benar tak enak badan. Bukan hanya badan. Hati dan pikirannya pun sedang tak enak. “Aku g
Dua jam yang lalu, Raynald membanting tubuhnya di atas kasur hangatnya. Tapi ia tak benar-benar tidur. Matanya menerawang. Menatap atap putih di atas sana. dan pikirannya melayang pada sosok Laura, kekasihnya. Siang tadi, ia melihat bagaimana kekhawatiran Laura telah terpancar di wajah wanita itu. sebenarnya, Laura tak harus khawatir. Karena Raynald tak akan pernah meninggalkannya. Ia akan tetap ada untuk Laura. Karena ia milik perempuan itu. Tapi mungkin Laura tak sepenuhnya salah. Raynald, adalah laki-laki yang selama dua tahun ini telah menjelma menjadi seseorang yang begitu mencintai Laura, lantas kini laki-laki itu harus membagi cintanya dengan wanita lain. Walau pun bukan keinginan hatinya. Dan Laura tahu itu.Sejauh ini Raynald sadar bahwa ia belum pernah meyakinkan Laura akan hatinya. Ia belum pernah membuat Laura benar-benar percaya bahwa semua akan kembali seperti semula. Saat ia dan dirinya saling mencinta. Sejauh ini, Raynald hanya meminta. Meminta Laura mengerti, meminta
“Kamu gak mau nonton tv atau dengar musik gitu Ray?” Laura menawarkanRay menggeleng sekali lalu berkata tegas. “No.”“Atau main gitar?” Laura tak mau menyerah. Namun, Ray tetap bersikeras, menggeleng dan berkata tegas. “No.” Laura melepaskan kegiatannya memotong wortel dan memutar tubuhnya menghadap Raynald yang kini tengah duduk di kursi tinggi di balik meja dapur.“Ray aku gak bisa konsen masaknya kalau diliatin,” Protes Laura. Beberapa menit yang lalu, saat Laura berniat membuatkan jus untuk Raynald, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Kebiasaan Raynald yang selalu mereka perdebatkan. Laki-laki itu jarang makan malam. Bahkan kalau ia terlalu asik dengan pekerjaannya, ia bisa seharian tidak makan. Padahal, laki-laki itu mengidap magg kronis. Dan benar saja, ketika ia bertanya pada Ray, laki-laki itu menjawab dengan ragu bahwa ia memang belum makan. Seketika perdebatan kecil kembali terjadi. Dan Laura berinisiatif untuk memasakan Raynald makan malam tanpa mau dibantah.Laura mengira,
Untuk kali pertama, Laura memberanikan diri datang ke rumah sakit. Meski hatinya belum siap. Meski matanya tak ingin melihat Raynald dengan Alexa, tapi entah mengapa rasa ingin tahunya terhadap kondisi perempuan itu begitu besar. Maka sore itu, dicobanya mengontak Raynald untuk menanyakan posisi laki-laki itu. Ketika Raynald menjawab dirinya baru tiba di rumah sakit. Besar keinginan Laura untuk menyusulnya diam-diam. Sepulangnya dari kantor, Laura mengarahkan motornya ke jalan menuju rumah sakit.Cukup lama ia berdiri di depan gedung bercat putih itu. Memikirkan segalanya, menyiapkan dirinya. Ia tahu, apa yang dilihatnya nanti pasti akan menyakiti hatinya. Tapi bukankah mulai sekarang ia harus terbiasa dengan semuanya? Dengan seluruh rasa sakitnya. Dimantapkan hati, Laura berjalan memasuki gedung. Ia pernah mengunjungi kamar rawat Alexa beberapa waktu lalu bersama Raynald. Jadi untuk kali ini, ia tak perlu bertanya lagi tentang posisi ruang rawat Alexa. Lift membawa tubuh Laura melesa