Share

Chapter 3

"Ada apa dengan wajahmu? Kenapa kau pucat sekali?" tanya James pada putri sulungnya.

Seluruh keluarga tengah berada di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing. Atensi semua orang tertuju pada Leoni. Menatapnya bingung pun penuh tanya.

Wajah yang pucat serta tidak berselera makan karena Leoni baru kembali ke rumah pukul empat dini hari. Ia baru saja tertidur beberapa jam namun harus kembali bangun untuk bersiap-siap pergi bekerja. Dirinya kurang tidur karena aktivitas panasnya tadi alam.

Waktu yang sedikit juga membuatnya tidak terlalu banyak memoleskan make up hingga kantung matanya yang menghitam masih cukup terlihat.

"Apa kau sakit, Honey?" tanya ibu Leoni—Salvaza Dulse—dengan penuh perhatian serta tutur katanya yang lembut.

"Aku sedikit pusing, Mommy. Ini karena perjodohan yang ayah buat untukku," jujurnya seraya mengurut pelipisnya yang pusing.

James Calis berdeham samar mendengar ungkapan putrinya. "Kau pusing karena tidak pulang tadi malam," timpal James. Tahu betul jam berapa putrinya pulang karena para orang rumah yang selalu mengadu jika ada hal yang terjadi di luar kebiasaan orang-orang rumah.

"Ah ya, aku hanya pergi minum bersama teman-temanku," desah Leoni, melirik James yang sudah menatapnya melotot penuh sangar.

Savalza mengelus pundak putrinya. Raut wajahnya menunjukan banyak kekhawatiran. "Sejak kapan kau minum-minum, Sayang? Kau tidak seperti ini sebelumnya."

"Aku hanya ingin menghilangkan pusing karena perjodohan tidak masuk akal itu. Karena aku tidak bisa menolaknya meskipun aku mau," lugas Leoni.

Kemudian ia beranjak dari tempat duduknya. Kontan pusing pn berkunang-kunang kepalanya membuat tubuh itu sedikit limbung hampir jatuh.

"Hati-hati." Savalza spontan memegangi putrinya yang hampir jatuh. Sangat menyayangkan akan sikap putri baiknya yang tiba-tiba depresi itu.

"Aku baik-baik saja, Mommy."

Wanit paruh baya namun tetap cantik serta elegant penampilanya itu mendesah samar menatap kepergian putrinya dari ruang makan. Lantas, tatapanya langsung tertuju pada James dengan penuh memprotes.

"Ini semua karena dirimu." Ia menyalahkan suaminya yang membuat perjodohan konyol itu. "Dia menjadi pemabuk karena dirimu," ungkapnya kesal.

James menghela napasnya dalam-dalam. "Biarkan saja dia. Dia sudah dewasa," timpal James yang tak ikut ambil pusing atas tingkah putrinya.

Sementara itu, Leoni kembali ke dalam kamarnya. Berbaring di atas peraduannya yang nyaman pun terdiam menatap langit-langit kamar.

Ia urungkan niatnya untuk pergi ke perusahaan dan bekerja. Tubuhnya terasa begitu lemah dan jika dipaksakan mungkin dirinya akan tumbang. Kepalanya yang pusing berkunang-kunang, tubuhnya yang bergetar serta pangkal pahanya yang masih terasa perih. Sialannya, ia merasa jika itu membengkak di dalam sana.

"Ah! Benar-benar sial."

Pangkal pahanya benar-benar sakit ketika ia paksa untuk berjalan normal tadi. Seperti ada robekan di dalam sana pun bahkan saat dirinya pergi untuk buang air kecil terasa menyayat-nyayat tidak karuan.

Menenggelamkan dirinya di balik selimut ym tebal lalu memejamkan mata. Leoni ingin tidur hingga matahari terbenam.

"Nona?"

Netranya kembali terbuka tatkala ia dengar suara seorang pelayan memanggil dirinya dari luar seraya mengetuk pintu. Lantas ia langsung menjawab untuk mempersilahkan pelayan tersebut masuk.

"Nona. tuan besar mengirim sup serta obat untukmu. Beliau berkata Nona harus sehat untuk pertemuan malam ini." Pelayan itu menyampaikan. Lalu diletakannya satu nampan berisikan satu mangkuk sup serta obat di atas nakas.

"Pertemuan apa itu?" tanya Leoni mengeryitkan keningnya.

"Pertemuan dengan calon suamimu, Nona."

Hampir-hampir Leoni tersedak oleh ludahnya sendiri saking terkejut dirinya. Matanya membulat pun menggigit bibir bagian bawahnya.

Secepat itu? Ayah memang ingin cepat-cepat membuatku keluar dari rumah ini. Pikirnya.

Beranjak duduk menyenderkan tubuhnya pada kepala ranjang. Ia urut pangkal hidungnya yang pening lalu membiarkan pelayan untuk pergi keluar dari kamarnya. Sementara itu, sup serta obat di atas nakas tidak ia sentuh sedikitpun. Membiarkannya dingin begitu saja.

Begitu sialnya hidupku.

********

Pertemuan mewah antar dua keluarga diadakan di sebuah restoran hotel berbintang lima yang masih berada di bawah kepemimpinan keluarga Miller. Sebuah meja panjang khusus untuk keluarga telah dilengkapi beberapa hidangan mewah di atasnya.

Leoni bintang utama malam ini. Tampil cantik dirinya dengan ulasan make up tipis natural yang simple menyatu pada kulitnya yang putih, rambut legamnya cantik terurai rapih. Meskipun tema pakaian yang dipilihnya tidak sesuai sebab berwarna hitam dan membuat James memprotes akan tingkah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa mengubah keputusan Leoni untuk berganti pakaian dengan warna lain.

"Kau seperti akan datang ke pemakaman," bisik Theodore yang duduk di samping kakaknya lengkap berpakian jas rapih.

"Ini memang pemakamanku sendiri," balas Leoni sama berbisik.

James hanya menghela napasnya melihat dua anak mereka yang saling berbisik-bisik bertingkah seperti anak kecil itu. Beruntunglah keluarga Miller belum ada di sana sehingga ia cukup membiarkan tingkah kekanakan putra putrinya.

"Apa jantungmu berdebar?" tanya Theodore yang terus-menerus menggoda kakaknya.

Leoni tersenyum simpul. Di dalam hatinya tersimpan kekesalan pada adik sialannya itu yang tak kunjung habis pertanyaan yang dilayangkan padanya. Di bawah meja, ia tempatkan ujung higheelsnya yang runcing tepat di atas seatu kulit Theodore, menusuknya hingga adiknya itu mengaduh kesakitan.

"Rasanya jantungmu berdebar kencang sampai-sampai kau segugup itu," urainya. Alih-alih marah atas tingkah kakaknya, ia malah terus menggoda.

Berdebar apanya? Leoni bahkan sama sekali tidak mengharapkan pertemuan ini. Pertemuan keluarga dari calon suami yang bukan pilihanya kenapa pula ia harus berdebar. Sama sekali tidak.

Pintu privateroom dibuka oleh sang pelayan. Keluarga Miller yang ditunggu akhirnya tiba. Seluruh anggota keluarga Calis berdiri untuk menyambut kedatangan mereka.

Acuh tak acuh Leoni menyambut kedatangan calon suaminya. Ia bahkan tidak menatap lurus ke depan untuk memandang keluarga itu. Pandanganya ia buang ke samping. Berdecak halus saat ia dengar suara dari kursi roda yang terdengar semakin mendekat.

Itu dia, calon suaminya. Tatapan Leoni arahkan pada pria cacat di atas kursi roda itu. Menatap tajam pun penuh rasa tidak suka. Tatapanya dibalas langsung dengan senyuman simpul oleh Tavel Moore. Membuat Leoni semakin berdecak malas.

Pria hidung belang gila selangkangan yang sedang menuai karmanya.

Semua orang duduk setelah saling menyapa satu sama lain. Belum sempat mereka membuka percakapan, pintu kembali terbuka serta hadirnya seorang pria di ambang pintu sana.

Kontan tatapan Leoni membulat saat pria berpakaian kemeja hitam rapih itu masuk ke dalam ruangan. Pandang mereka bertemu namun pria itu justru menarik sudut bibirnya sama sekali tidak menunjukan keterkejutan sepert halnya Leoni saat melihatnya.

Leoni mengeratkan jemarinya yang tertaut di bawah meja. Kontan basah berkeringat akibt kegugupan yang menyelimuti seluruh dirinya.

Xander?

*

*

*

Bersambung ....

Jangan lupa berikan ulasan kalian yaaa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status