Share

3. Karakter

Harusnya kalau Riga tegas. Tidak, bilang tidak. Bundanya Riga tentu tidak akan menerorku begini.

Sebenarnya seberapa hebat pencari informasi Bunda. Tiba-tiba ia tahu jadwal latihanku di sanggar.

Bunda tidak datang dengan tangan kosong. Dibawanya minuman starbuck berjumlah pas dengan anggota yang hari ini datang latihan.

Bunda khusus membawaku multivitamin. Bukan merek yang umum kudapat di toko, tapi buatan luar negeri. Dan pasti mahal.

Di waktu istirahat, Bunda mengajakku berbincang. Ia memulai dengan cerita kondisi keluarganya. Sama persis seperti yang kudengar dari Riga kemarin. Namun kali ini lebih intens versi seorang ibu.

“Ayahnya Riga meninggal saat Riga masih kecil. Ayahnya Riga selalu berharap suatu hari nanti bisa jadi direktur Abimahya Corp. Pengabdiannya bukan main-main. Ia juga yang bantu menumbuhsuburkan perusahaan keluarga ini. Namun umur seseorang siapa yang tahu. Mimpi di posisi tertinggi pupus sudah.

“Riga dekat dengan ayahnya. Kurasa karena itulah mimpi jadi direktur tertular pada Riga. Anak itu selalu serius kalau menyangkut perusahaan. Ia juga diakui Danavy, adik Bunda yang sekarang jadi direktur.

"Sebenarnya bisa saja jabatan itu otomatis jatuh ke tangan Riga. Tapi persyaratan harus menikah dulu sudah turun temurun dan akan tetap berjalan.

“Bunda gak tahu Riga punya pacar. Bunda berniat menjodohkannya dengan kenalan Bunda. Tapi Bunda ini pemilih. Hampir enggak ada yang cocok dengan Bunda.”

Ingin sekali aku menyela. Tapi Bunda terus saja bicara tanpa bisa diinterupsi.

“Viana sayang, pertama Bunda melihatmu, Bunda suka. Kamu cantik dan sopan. Bunda jarang seperti ini. Biasanya Bunda selalu curiga pada siapa pun yang dekat dengan Riga.

"Dia itu, meski kelihatannya sigap, tapi masih kekanakkan. Enggak bisa membedakan mana yang memanfaatkannya, mana yang tulus. Dan kamu … matamu jelas memancarkan ketulusan.”

“Tapi, Bun …”

“Viana, kalau masalahmu adalah status sosial. Bunda gak pernah mempermasalahkan itu. Keluarga kami terbuka untuk siapa pun. Kami bukan perfeksionis yang harus berasal dari status yang sama.”

“Bun—“

“Bagi kami yang penting hati. Dan satu lagi, cantik. Bagaimanapun seorang ibu tentu ingin keturunan yang rupawan, bukan?”

Sumpah, adakah sesuatu yang bisa kusumpal ke mulut nenek lampir ini. Ia benar-benar tidak mengizinkanku bicara sama sekali. Akhirnya aku tahu dari mana sifat Riga berasal.

“Bunda mengganggu latihanmu, ya? Ayo lanjutkan lagi saja. Bunda akan pulang. Bunda senang sudah ngobrol sama kamu.”

Ngobrol apanya? Anda bicara sendiri, hei!

Bunda berdiri dari kursi tempat kami berbincang. Lagi-lagi ia menangkupkan kedua tangannya ke pipiku. Bola matanya menyiratkan rasa jatuh cinta. Apa aku secantik itu?

Bunda membalikkan badannya. Memanggil sopirnya yang dari tadi menunggu di luar sanggar.

“Bunda!” akhirnya aku berani memanggilnya.

“Iya, sayang?” Bunda menoleh. Menungguku bicara sambil tetap di posisinya.

“Anu … aku dan Riga … nggak pacaran.” Aku harus mengatakannya sebelum ia makin salah paham.

“Tapi kamu belum menikah, kan?” tanya Bunda tidak terduga.

“Belum, tapi aku—“

“Kalau begitu kami akan melamarmu, sebelum kamu jadi milik orang lain.”

Aku benar-benar tidak bisa berkomunikasi dengan bundanya Riga. “Bun—“

"Katanya, kamu hanya punya kakak laki-laki, ya. Bunda akan menghubunginya, kalau perlu Bunda akan menemuinya untuk melamarmu."

“Bunda … tolong dengar aku dulu,” nadaku menanjak. Bunda diam. “Aku gak akan menikah dengan Riga.”

Perkataanku menampar wajah letih Bunda. Sorot matanya tajam, bertransformasi jadi ibu yang oportunis.

“Ada seseorang yang aku suka. Dan itu bukan Riga.” Aku bicara sepelan mungkin berharap Bunda merasakan kejujuranku.

Bunda buang muka. Makin kelihatan sifat tidak mau tahu urusan orang lain. Karakter yang paling kubenci di dunia ini.

“Lupakan dia. Pokoknya kamu akan jadi menantuku.”

Bunda menyudahi pertemuan ini dengan pergi. Aku mengumpat. Menghentakkan kaki saking kesalnya. Seketika mood-ku berantakan.

Aku berlari ke loker. Mengambil tas dan merogoh ponsel di dalamnya. Jempolku menekan satu nama yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Riga.

“Riga. Bundamu baru saja dari sini. Dia memaksaku untuk—“

“Viana, sorry nanti kutelepon lagi ya. Aku lagi rapat. Bye!

Panggilanku terputus. Suara TUT! TUT! membuatku geram. Ibu dan anak sama saja.

Sialan.

***

Latihan selesai selepas isya. Di telepon tadi kusuruh Riga datang. Ia menurut dan sudah menungguku di luar gedung. Ia bersandar di badan mobil. Begitu aku datang, Riga menengakkan punggungnya.

“Aku gak suka Bundamu, sumpah! Pokoknya aku akan marah padamu kalau dia datang lagi kemari,” semburku sambil menunjuk hidung Riga. Aku dilahap emosi.

Sorry!” Belum pernah kutemukan Riga dengan nada defensif seperti ini.

“Bunda begitu karena tekanan juga. Salahku sih, harusnya aku bilang kalau kamu sudah punya Nara.”

 “Aku sudah bilang begitu. Kamu tahu bundamu bilang apa? Dia menyuruhku melupakan Nara. Memangnya kalian kira semua hal seenak jidat kalian.” Aku melipat kedua tangan di depan dada.

Bukannya merasa bersalah, Riga malah tersenyum geli. Menganggapku sedang main-main.

“Terus kamu jambak rambut Bunda, gak? Harusnya kamu jambak tuh, kamu kan sering melakukannya padaku.”

Tuh kan.

Kuhadiahi Riga dengan pukulan berkekuatan super. “Bukan saatnya membuat lelucon, bodoh!”

“Iya, iya, maaf!”

Riga yang mengalah membuatku waspada. Matanya memilih tidak meladeniku. Ia menunduk sambil bersandar di mobilnya lagi.

Apa yang dia lihat? Sandal jepit murahku?

Sementara itu, dari arah lain, deru motor milik Nara tertangkap telingaku. Nara datang untuk menjemputku pulang. Ia memelankan motor, berhenti tak jauh dariku dan Riga berdiri.

Nara membuka helm, dan turun dari motornya.

“Sedang apa kamu di sini, Riga?” tanya Nara to the point.

“Menemui wanita pilihan Bunda.”

Si cecunguk ini. Dia sengaja membuat Nara cemburu atau apa. Kutendang tulang keringnya sampai ia mengaduh.

“Bukan, Nara. Aku lagi memarahi dia karena Bunda bersikap seenaknya.” Aku berusaha meluruskan.

Kudekati Nara. Meraih tangannya. Kukira Nara akan menepisku. Ia mengelus-elus tanganku dengan jarinya yang dingin. Syukurlah, Nara tidak termakan hasutan Riga.

Riga baru bisa berdiri tegak setelah tadi melompat-lompat seperti kelinci. Sakit karena ditendang.

“Dasar barbar!” ejek Riga. Aku menjulurkan lidah padanya.

“Ayo pulang!” ajak Nara tidak peduli pada temannya yang melancarkan tatapan keji padaku.

Wekkk~

Aku naik motornya Nara. Tanganku melingkar ke perut Nara yang kurus. Menyandarkan kepala ke punggung Nara. Kebiasaan wajib bila aku dibonceng motornya.

Motor melaju. Kudengar Nara sempat pamitan dulu dengan Riga.

Kami melewati jalan raya. Menembus malam dingin di musim penghujan. Aku memeluk Nara makin kencang seiring cepatnya laju motor. Nara tidak berucap apa-apa. Serius berkendara.

“Hm, Nara … kok lewat sini. Indekosku kan, jalan sana.”

Hening. Nara tidak menjawabku. Tapi dari arahnya saja aku tahu, Nara membawaku ke apartemennya.

Aku mengenal Nara. Dia yang diam. Dia yang membawaku ke apartemannya. Ciri Nara sedang marah. Apa karena aku dengan Riga tadi?

Di depan halaman apartemen, Nara menghentikan motornya. Sesuai dugaanku.

“Nara marah?” tanyaku tidak ikut turun motor sepertinya. Nara mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Enggak!”

“Terus, kenapa dari tadi diam.”

Nara menggeleng. Senyum sudah muncul di ujung bibirnya. Syukurlah, Nara tidak benar-benar marah.

“Viana, malam ini menginaplah di sini.”

Bolehkah?

Menginap di kamar Nara berarti aku bebas menyentuhnya. Aku selalu ingin melakukannya. Menciumnya. Bercumbu. Malam ini Nara milikku.

Ah, Nara~

.

.

Pagi-pagi sekali aku dikejutkan telepon dari Kakak.

“Viana, apa kamu putus dengan Nara?”

“Hm, enggak, Kak. Memangnya kenapa?”

“Seseorang menelepon Kakak, katanya kamu akan menikah dengan anaknya. Dengan Riga?”

.

.

Sial!

Cepat sekali Bunda bergerak.

__BERSAMBUNG__

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status