Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.
Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu.
"Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.
Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.
Alvan
Bima terdengar mengalunkan lagu cinta dari bibir tipisnya. Ia terlihat sangat senang dengan mata yang tampak berbinar.Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. sepulang dari pasar, ia akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Juga untuk makan siang beserta makan malam jika bisa. Namun, ada sedikit perbedaan yang dirasakan oleh Alvan sepulang Bima dari pasar.Putra tunggal dari Tomi Anderson itu, tiba-tiba merasa fokusnya pecah. Ia yang tadinya sibuk meneliti denah bangunan pabrik yang hari ini akan dieksekusinya. Terpaksa berhenti untuk melanjutkan kegiatannya.“Aneh, kayak denger suara orang nyanyi,” batin Alvan ragu-ragu.
Cara berpikir yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa uang benar-benar tertanam pada seorang Ellysia Prayogi. Harta banyak yang selama 18 tahun menemaninya setiap hari. Menjadikannya pribadi dengan pola pikir yang tak pernah tahu bagaimana berada di luar zona nyaman.Saat ini, dirinya berada di zona tersebut. Zona yang tidak nyaman. Zona yang tidak pernah terpikirkan oleh Ellysia, bahwa dirinya akan berada di sana. Zona yang sengaja diciptakan oleh sang papa agar Ellysia mau dan bisa berubah.“Tak tak tak tak.” Terdengar suara meja yang dipukul dengan jari telunjuk secara terus menerus.Pria dengan setelan jas rapi tengah serius membaca dokumen di tangan kirinya. Sementara tangan
"Jadi, kalian ini mahasiswa yang sedang KKN. Aneh sekali, kenapa nggak ada pemberitahuan?" tanya Denis. Pria yang bertugas menerimanya kedatangan Alvan dan Bima.Alvan hanya tersenyum. begitu juga dengan Bima."Mungkin, karena kami memilih sendiri tempat untuk KKN. Kebetulan paman saya orang sini dulu. Dan kebetulan ada rumah juga sedikit kenalan di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba saja di sini. Bukan begitu Van," ucap Bima mencari teman berbicara.Alvan sedikit terkejut. Sejak tadi, ia tidak memperhatikan perbincangan antara Bima dengan Pak Denis."Iya. Bisa jadi," jawab Alvan yang dibuat sesantai mungkin."Ada apa sih sama Alvan. Kenapa dia
Kayla yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mulai berjalan mendekat ke arah Alvan. Ia melihat ada keributan di sana.“Tidak salah lagi. Itu pria yang waktu itu,” batin Kayla.Terdengar pertengkaran terjadi. Alvan berusaha menjelaskan sesuatu kepada petugas keamanan tersebut. Begitu juga Bima. Terjadi adu mulut diantara mereka.“Kami berdua minta maaf Pak. Kami terkendala macet di jalan tadi,” terang Bima.“Kamu pikir ini jalanan kota!” sahut satpam tersebut.“Udah gini aja Pak. Sekarang, kita boleh masuk. Apa enggak?” tanya Alvan. Ia yang sudah turun dari motor terpaksa menanyakan hal tersebut.“Kalian nggak boleh masuk. Enak aja, anak KKN mau masuk jam sembarangan.”Tiba-tiba Kayla datang sambil mendengar arah pembicaraan mereka.“Ohhhh, jadi kalian anak KKN. Silahkan ikut saya. Nggak papa telat. Saya aja barusan telat,” ucap Kayla yang sontak membuat Alvan dan Bima bingung.Petugas keamanan pun ikut terkejut. Ia kemudi
Suasana hati terasa sangat buruk. Mendengar ucapan yang lebih mirip taktik jahat membuat Alvan tak betah berlama-lama di dalam ruangan Pak Hendra.Ia berusaha tetap sopan meski rasanya kaki ingin lari saja. Senyum mengembang coba diciptakan. Menata hati dan pikiran agar bisa mencari cara agar keluar dari ruangan itu secepatnya."Baik, saya terima tawaran Pak Hendra. Saya rasa, Anda bisa jadi panutan yang baik." Alvan mengambil hati lawan bicaranya. Memasang wajah datar seolah ia tak punya niat apa-apa.Sementara itu, Hendra Sudrajat tersenyum puas. Ia akan mendapatkan laba lebih besar lagi. Tak lama, ia pun menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Alvan.
Sore menjelang dengan caranya. Alam telah bekerja dengan baik melakukan hal itu. Tak ada mendung yang menghias di langit. Yang ada hanya warna jingga terlukis abstrak begitu indah dipandang mata.Kilauan warna jingga itu masuk melalui celah jendela dan ventilasi yang ada di kamar rawat Ellysia. Gadis itu amat suka warna itu. Segala sesuatu terasa menyenangkan jika dipikir sambil memandang senja jingga. Lalu sekarang ia ingin melakukannya."Biiii," panggil Ellysia.Bibi Tari menoleh, ia kemudian mendekatkan dirinya ke arah Ellyisa. "Iya Non!""Apa di klinik ini ada taman Bi?"
Seperti sedang berada di dalam sebuah labirin. Begitulah pikiran seorang Alvan saat ini. Terjebak dan tidak tahu harus kemana. Ia terus saja teringat dengan tatapan mata Ellysia. Begitu teduh dan membuat rindu. ‘Siallllll, perasaan apa ini?’ batin Alvan yang masih berada di kamar rawat Bima.Ia pun bangun dari sofa. Menatap langit klinik yang berwarna putih. Tak ada jawaban yang bisa ditemukan. Yang ada ada senyum Ellysia mencoba merayunya.“Arghhhh, apaan sih cewek manja muncul terus.” Alvan bergumam sendiri. Dibaringkan lagi tubuhnya, tapi rasanya masih belum nyaman. Diatur lagi bantalnya, tetap saja tubuhnya tidak mau menerima.
Hari belum terlalu sore. Sepasang mata sedang memandang serius ke arah para pekerja. Ia dengan pakaian cassualnya begitu santai memberi perintah dan petunjuk ke beberapa orang yang sedang akan mengirim pesanan pelanggan ke kota.Perlahan, tampak dari tempat pria itu berdiri. Ada sebuah mobil berhenti. Mobil dengan warna cerah itu mulai terbuka pintunya, dan muncul sosok Kayla dari sana.'Diakan, Kayla, ngapain dia kesini,’ batin Alvan. Ia pun hanya menatapnya dari kejauhan sambil tetap memberi arahan kepada para pekerja.“Hay!” sapa Kayla lebih dulu. Dibuka kacamata hitamnya untuk memandang wajah Alvan agar lebih jelas.“Hay juga, kamu ngapain ke sini?”