Share

Saya Pamit

Ruang kamar berukuran empat kali lima meter yang dihuni Saraswati itu tampak begitu rapi. Sirkulasi udara pun tampak baik. Kamar yang berbatasan langsung dengan teras samping rumah itu terasa begitu nyaman untuk digunakan sebagai tempat istirahat. 

Di atas kursi rodanya Saraswati duduk dengan ekspresi wajah dingin, sedang di sisi tempat tidurnya Firdaus duduk sejak beberapa menit yang lalu dengan bibir terkunci. Laki-laki berambut ikal itu memilih diam sembari menunggu kalimat yang akan ditujukan sang ibu untuknya. 

Dua ibu dan anak itu memiliki karakter yang begitu mirip. Sama-sama acuh, lebih lagi terhadap orang yang baru dikenal. 

"Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati setelah bermenit-menit hanya diam sambil menatap kosong dinding pembatas bercat biru muda di hadapannya. 

Beberapa detik tak ada jawaban. Firdaus berusaha mencari kalimat yang tepat sebagai jawaban, karena paham seperti apa karakter perempuan yang telah melahirkannya itu. Dingin dan pastinya tak gampang menerima kehadiran orang asing. Bahkan terhadap Mbok Sumi dulupun tak jauh berbeda, syukurnya Mbok Sumi cukup sabar hingga akhirnya ia diterima dengan baik di sini bahkan sudah hampir sepuluh tahun. 

"Dia hampir dicelakai preman semalam, aku hanya ingin menolongnya," jawab Firdaus dengan nada pelan. 

"Menolongnya bukan berarti kau harus membawanya ke rumah ini," jawab Saraswati dengan nada yang sama. 

"Dia pingsan semalam karena kelelahan setelah berjalan jauh. Aku bertemunya saat membeli obat untuk Mama. Maaf kalau aku tidak menceritakannya pada Mama semalam, itu karena tak ingin mengganggu istirahat Mama."

Perempuan paruh baya itu kembali diam. Ia tak menyalahkan langkah putra sulungnya itu. Tak ada yang salah dengan menolong perempuan lemah, hanya saja ia khawatir sang anak akan dimanfaatkan, persis kejadian dua bulan lalu. 

Ya, dua bulan lalu Firdaus pernah menolong perempuan paruh baya yang mengaku di-KDRT oleh suaminya, yang ternyata malah menipu Firdaus. 

Perempuan itu meminta tolong agar dipinjami modal usaha setelah sebelumnya Firdaus membantunya bangkit dari keterpurukan, nyatanya uangnya dibawa kabur, bahkan Firdaus harus menderita karena dihajar oleh suaminya yang ternyata seorang preman. 

"Mama tak pernah melarangmu untuk menolong orang, tapi setidaknya kau harus berpikir untuk keselamatanmu. Tak semua orang yang tampak menderita benar-benar menderita, ada sebagian yang hanya memasang wajah memelas demi sebuah tujuan yang akan merugikanmu." Saraswati berbicara panjang lebar tanpa menatap ke arah sang anak. 

"Insya Allah aku bisa jaga diri, Ma," jawab Firdaus sambil melirik sekilas ke arah sang ibu. 

Saraswati hanya menghela napas dalam. 

"Lalu apa yang akan kau lakukan pada perempuan itu?" tanya Saraswati kemudian. 

Beberapa saat Firdaus kembali diam. Ia sendiri belum menemukan jalan untuk itu. Namun, saat bersamaan sebuah ide melintas di kepala, ide yang ia harap bisa menjadi jalan tengah. 

"Rencananya aku akan mempekerjakannya dia di kantorku sesuai kemampuannya, tapi tidak untuk waktu dekat. Sementara biarkan dia berada di sini untuk Asya," jawab Firdaus dengan nada suara berubah sendu. 

Beberapa detik saja melihat kedekatan Asya dan Rumi membuat ia rindu Syifa, perempuan berhati lembut yang telah pergi dari sisinya untuk selamanya. 

"Mama khawatir semakin lama Asya akan semakin sulit dipisahkan darinya," keluh Saraswati dengan wajah muram. Ia pun menyadari betapa bahagia Asya setelah kedatangan Rumi. Bahkan belum genap dua puluh empat jam bersama keduanya tampak persis seperti ibu dan anak yang saling menyayangi. 

Firdaus mengusap wajah pelan, lalu mengembalikan  kedua siku ke lutut dengan kedua jemari saling bertaut di antara paha yang terbuka. 

"Akan kupikirkan lagi jalan selanjutnya, Ma. Aku hanya ingin membantunya, berharap apa yang kulakukan sekarang berimbas baik untuk kehidupan kita semua."

"Baiklah jika memang kamu yakin dia perempuan baik-baik, bukan seperti perempuan waktu itu. Mama hanya nggak mau kejadian waktu itu terjadi lagi."

"Insya Allah nggak akan, Ma, lagi pula Tuhan melihat niat kita dan niat Firdaus waktu itu hanya ingin menolongnya."

"Mama hanya tak ingin kamu dimanfaatkan."

"Aku hanya butuh do'a dari Mama," ucap Firdaus, membuat perempuan paruh baya itu tak lagi berniat menyangkalnya. 

"Baiklah, Mama hanya ingin kamu dan Asya bahagia," ucapnya pasrah. 

Sejak dulu memang hanya itu do'a yang kerap ia panjatkan. Baginya kebahagiaan Firdaus dan Asya adalah terpenting karena kebaikan anak sulungnya itu tak perlu ia ragukan lagi. 

Firdaus tersenyum tipis, lalu melangkah keluar sambil mendorong kursi roda sang ibu bersamanya ketika adzan magrib mulai berkumandang. 

"Papa lama banget, Asya pengen sholat berjamaah  sama Papa, Oma, Mbok, juga Ummi," celoteh Asya dengan wajah riang. Kini ia sudah bersiap dengan mukena berwarna pink bergambar kartun gadis kecil  tepat di depan dada. Sedang di belakangnya ada Mbok Sumi juga Rumi yang sudah siap dengan mukena yang dipinjamkan Mbok Sumi untuknya. 

"Maaf, Sayang, tadi Oma mau ngobrol sama Papa," jawab Firdaus sambil menyerahkan kursi roda Saraswati pada Mbok Sumi. Mbok Sumi langsung membawa Sarawati untuk berwudhu. 

Rumi membuang pandangan ke sembarang arah, demi menghindari tatapan wajah dingin di hadapannya. Sedang tangan kanannya bertaut dengan tangan mungil Asya. 

"Ya udah, ayo kita sholat sekarang, Pa," pinta Asya sambil menarik tangan sang ayah. 

"Asya ke mushola dulu, ya, Papa mau siap-siap, mau wudhu dulu," ucap Firdaus dengan senyum lembut, tangannya mengusap pipi bulat sang putri. 

Sekilas Firdaus melirik pada Rumi yang kini terpaku menatap pucuk kepala Asya. Sejak melihat wajah polos Rumi dengan mata tertutup semalam, mengingatkannya pada Syifa. Bahkan sempat terpikir olehnya jika Rumi sengaja Allah kirimkan untuk menggantikan peran Syifa. Terbukti dalam hitungan jam Rumi berada di rumah ini suasana terasa jauh berbeda. Namun, segera ia tepis. Firdaus tak ingin berharap terlalu dalam pada perempuan asing yang baru saja ia kenal. 

*

Tiga hari sudah Rumi berada di sini. Ia merasa begitu bersyukur telah ditolong laki-laki baik yang ia gambarkan seperti malaikat penolong. Namun, ia pun tak ingin memanfaatkan kebaikan laki-laki itu. 

Malam ini keduanya tengah berada di saung kecil di samping rumah, tempat di mana Firdaus kerap menghabiskan malam sendirian dengan ditemani segelas kopi juga laptop di atas meja kecil. 

Di bawah saung terdapat kolam ikan mas berbagai warna dan ukuran. Ditemani suara gemericik air yang berasa dari air terjun sebelah kanan kolam. 

Rumi baru saja mengantar kopi untuk Firdaus. Ia sengaja meminta izin pada Mbok Sumi untuk mengantarkannya, karena ingin bicara pada laki-laki itu. 

"Terima kasih telah menolong saya waktu itu. Maaf jika selama saya di sini sudah merepotkan keluarga ini," ucap Rumi pelan. Sejujurnya sudah sejak tadi siang ia berusaha memantapkan hatinya untuk berbicara pada Firdaus. 

Firdaus tak langsung menjawab, matanya terus saja fokus ke layar laptop dengan logo buah apel di belakangnya. 

"Aku hanya ingin pamit," lanjut Rumi setelah beberapa menit tak kunjung mendapat jawaban dari laki-laki itu. 

Firdaus seketika merasakan rasa tak nyaman bergelenyar di sudut hatinya, juga rasa tak rela yang membuat ia akhirnya mengalihkan pandangan dari layar datar yang tengah memamerkan rentetan huruf dan angka di hadapannya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Adamammra Channel
Best kisah nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status