Hana menatap lekat wajah pias laki-laki itu dengan dada bergemuruh. Namun, tetap saja ia enggan bersikap seolah dirinya butuh laki-laki itu. "Benar ini yang kamu cari?" tanya Hana dengan nada membentak. "I—itu ponsel temen Papa, Ma. Kemaren ketinggalan di kantor dan minta Papa buat bawa pulang dulu," ucap Rio terbata. Kilatan amarah kian nampak mana kala mendengar kebohongan baru yang Rio ciptakan barusan. Tak ada lagi kepercayaan yang tersisa setelah semuanya terjadi. "Oh, ya? Kalau begitu, katakan pada temanmu kalau kekasihnya akan take off pukul sembilan 45 menit dan meminta dijemput," ucap Hana dengan mata tajam. Berusaha ia tahan emosi yang tengah meluap, meski hasilnya tetap saja berkobar. Rio tertunduk seketika. Kedua tungkainya melemah menyadari Hana telah berbuat sesuatu dengan ponsel barunya, ponsel yang ia khususkan untuk bertukar kabar dengan Inez. "Ceraikan aku sekarang juga!" Bentak Hana. Perempuan pendiam itu kini berubah bak singa kelaparan yang siap menerkam man
"Ti—tidak, Inez. Aku tak bisa menjemputmu. Kau pergi saja sendiri," ucap Rio terbata-bata. Sekilas ia dapat melihat betapa amarah Hana lewat wajahnya yang kian memerah. "Hah! Abang jangan aneh-aneh. Abang pikir aku bisa menerima ini. Nggak mau, pokoknya jemput aku! Bukankah Abang sudah janji akan menjemputku, bahkan tempat tinggal untukku sudah Abang sediakan. Atau Abang takut dengan istri berwajah lusuh Abang itu?" Inez menggerutu. Ia tak tahu jika di sini semua wajah tersulut amarah oleh kalimatnya barusan, terlebih Hana. Rio mengusap keringat dingin yang berjejalan keluar di dahinya. Inez sukses membuat laki-laki itu didera ketakutan. "Sudah—" Rio berusaha menyudahi pembicaraannya. Namun, dengan cepat perempuan di sana memotong kalimatnya. "Biasanya juga tak peduli dengan perempuan itu. Kalau memang nggak mau jemput, kenapa nyuruh aku dateng ke sana." Suara perempuan itu terdengar kesal. "Bukan—bukan begitu, Nez. Ah, aku—aku sibuk," ucap Rio sambil memejamkan mata. Ia benar-be
"Dapat bagian katamu? Lantas, rumah yang kau bangun di dekat rumah Mama?" tanya Hana dengan tatapan menantang. "Rumah yang kau bangun dengan menghabiskan uang ratusan juta dan dibuat atas nama kamu. Bahkan surat rumah pun tak kau izinkan aku menyimpannya di rumah ini. Kau lebih percaya orang tuamu, sedangkan surat rumah ini yang aku simpan di rumah Ibu kau paksa aku untuk memintanya. Apakah ini adil menurutmu?" tanya Hana dengan mata tajamnya. "Semuanya adalah jerih payahku, Hana. Kau hanyalah ibu rumah tangga yang sama sekali tak menghasilkan rupiah," ucap Rio tak tahu malu. "Oh, begitu. Kau memang sama persis dengan mamamu. Jika memang begitu, mari kita hitung apa yang telah kulakukan demi keluarga ini, dan apa yang telah kau lakukan untuk keluarga ini," ucap Hana dengan kalimat tegas dan jelas. Tak ada lagi kata mengalah dalam kamus kehidupannya kali ini terhadap laki-laki tak tahu balas budi itu. "Silakan. Dan kupastikan kau hanya benalu yang numpang makan selama bertahun-tahun
Tatapan tajam menghunus dari mata renta dengan tubuh yang masih nampak begitu kokoh itu terarah pada Rio. Hatinya sebagai orang tua meyakini jika laki-laki itulah sumber masalah dalam rumah tangga anak bungsunua itu sekarang. Rio memalingkan pandangan ke jendela. Rasa kesalnya pada Hana kian besar kala melihat raut wajah laki-laki yang selama ini tak pernah manis terhadapnya. Ia tak sadar jika apa yang dilakukan Husni terhadapnya adalah ulah dirinya sendiri, ulahnya yang kerap kali menyakiti hati Hana. "Ada apa ini?" tanya suara bariton itu dengan nada datar. Hana menatap wajah laki-laki berwajah sangar dengan hati hangat itu. Ya, terhadap anak cucunya, Husni adalah seorang kakek yang hangat. Hanya saja ia tegas dalam memutuskan sesuatu dan itulah yang membuat Husni dan Rio tak pernah akur sejak dulu. "Hana minta bantuan Ayah untuk menyelesaikan ini," adu Hana pada laki-laki dengan rambut yang mulai memutih itu. Husni terdiam sejenak. Mengedarkan pandangan ke semua wajah yang ke
"Aku mencintai perempuan itu," jawab Rio dengan nada lirih. Hana tersenyum sinis. Hatinya kian meringis mana kala di depan orang tuanya Rio mengutarakan perasaannya terhadap perempuan lain. Husni terdiam sesaat. Menarik napas panjang demi mengurai sesak. Pun dengan Diana. Orang tua mana yang akan baik-baik saja kala mendapati menantunya mencintai perempuan lain? Maria nampak membuang muka. Ia tak memiliki keberanian apa-apa karena sudah terlanjur malu pada kedua besannya itu. Jika waktu dapat diputar, ia lebih memilih untuk tak datang ke sini kali ini. "Lalu, kenapa kau tak mau melepaskan Hana? Bukankah Hana telah memberimu kebebasan hanya dengan melepaskannya?" tanya Husni berusaha bertenang, meski detik ini ingin rasanya ia menghantam kepala tanpa ot*k itu ke lantai keramik yang ia pijak. "Aku tak ingin berpisah dari anak-anak," ucap Rio sedikit melemah. Husni muak mendengar kalimat barusan setelah kata 'anak' dijadikan alat untuk mempertahankan egonya. "Baiklah. Dan kau Hana
Diana melempar sebuah jaket milik calon mantan menantunya itu ke sudut ruangan, berusaha menumpahkan kekesalan lewat benda mati tak bersalah itu. Hana tersenyum kecut melihat ulah sang ibu. "Sudahlah, Ma. Hana bersyukur akhirnya akan segera terbebas dari laki-laki itu. Hana tak akan pernah menyesal melepaskan Rio. Hana hanya akan fokus untuk masa depan anak-anak saja. Biarkan keadilan Allah akan bekerja sendiri tanpa campur tangan Hana. Cukuplah do'a hati yang terzolimi bergerak dengan titah-Nya." Hana tersenyum getir. "Kau terlalu sabar selama ini, Na." Diana berucap lirih. "Sabar tak akan pernah membuat kita rugi, Bu."Diana pun menurut. Sejak dulu Hana memang selalu begitu, meski akhirnya sabarnya menemukan titik akhir. "Baiklah, Na. Semoga setelah ini kau menemukan kebahagiaanmu sendiri."Hana kini duduk berhadapan dengan sang ibu setelah semua dirasa cukup. "Aamiin. Makasih, Bu. Hana masih mikir setelah ini Hana akan bekerja apa? Karena selama menikah, Rio memang tak pernah
Laki-laki mana yang akan diam saja ketika tahu wanitanya bermain gil* di belakangnya. Rasanya terlalu bod*h jika dirinya hanya akan diam saja. Itulah yang ada di kepala Marwan. Selama ini ia selalu menuruti keinginan Inez semampunya, bahkan saat pandemi ia rela bekerja siang malam apa saja pekerjaan yang bisa menghasilkan uang di masa sulit itu. Namun, apa balasan perempuan itu? Sebuah rasa sakit yang bahkna sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh Marwan. Watak Inez yang ingin selalu mementingkan pujian membuat perempuan itu begitu sulit menerima jika harus hidup susah, bahkan pernikahannya dengan Marwan pun terjadi karena uang. Ya, Marwan dulunya bekerja sebagai di sebuah supermarket dengan jabatan lumayan. Inez yang sebelumnya memiliki hubungan dengan Rio tiba-tiba meminta berpisah dari laki-laki itu kala kenal dengan Marwan, hingga akhirnya keduanya menikah tak lama setelahnya.Tatapan laki-laki itu nampak nanar. Tangan dengan kulit kasar itu mengepal kuat hingga buku-buku tanga
"Kau melac*r bersama bajing*n itu di sana tanpa ingat jika kau menzolimi kami di sini!"Plak! Sekali lagi tangan dengan telapak lebar itu terayun. Berusaha menumpahkan amarah yang tengah berada di puncak. "Kau gil*, Marwan!" bentak Inez sambil menutupi kedua pipi kemerahannya yang terasa panas dan nyeri. "Kau lebih gil*! Kerja kerasku selama ini sama sekali tak ada harganya di matamu. Selama ini aku berusaha bersabar dengan ulahmu yang tak pernah bisa menghargaiku sebagai seorang suami." Rahang kokoh milik laki-laki bertubuh tinggi itu mengeras. Tatapan matanya memerah, penuh kilatan amarah. "Sudah kukatakan aku ke rumah Tante Linda!" Inez setengah berteriak. Rio berbalik mengambil ponselnya di atas kasur. Mengacungkan foto mesra Inez dan Rio ke depan wajah perempuan itu. Inez menatap tak percaya. Kepalanya sibuk menerka ulah siapa yang telah membuatnya seperti ini. Namun, ia tak sempat menemukan siapa dalangnya ketika pertanyaan Rio kembali membuatnya tersudut. "Apa kau anggap