Share

Chapter 2

Pesta pernikahan Kadrun dan Siti Majenun pun digelar di kampung. Alasannya karena Siti tidak lagi punya keluarga dan atas permintaan Mak Kadrun. Meriah sekali pesta kondangan yang digelar keluarga Kadrun. Sebagai petani yang punya banyak kebun sawit dan anak buah, tentu pesta yang digelar toke tidak biasa-biasa saja. Apalagi sang toke hanya punya satu-satunya anak, maka orang tua Kadrun tidak mau tanggung-tanggung.

Bagi Mak Kadrun, semenjak Kadrun menyelesaikan kuliah di Pulau Jawa dan berhasil menyandang gelar Sarjana Batik dan Fashion lalu menjadi seniman batik Jambi yang namanya cukup harum di tingkatan lokal serta didampuk menjadi abdi negara di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Jambi, hal itu menjadi sebuah garis nasib yang sangat disyukuri Mak Kadrun. Betapa bangga Mak dan Bapak Kadrun atas diri anaknya. Walaupun mereka pada awalnya cemas dan sering menyalahkan diri sendiri karena terlalu memanjakan Kadrun dan merasa merusak hidup Kadrun. Bagaimana tidak, kehidupan muda Kadrun penuh dengan kekacauan, dia suka bolos sekolah, tawuran, mencelakai orang dan tinggal kelas. Setelah menamatkan SMA, Kadrun menganggur dan bergabung dengan komplotan preman pasar kampung.  Mak dan Bapak Kadrun pasrah pada keadaan hingga di usia tiga puluh tahun tanpa sebab yang jelas Kadrun menemui keduanya untuk minta izin mendaftar di sekolah seni di Pulau Jawa. Mak dan Bapak Kadrun langsung sujud syukur. Keduanya cepat mengiyakan dan ikut mengantar Kadrun berangkat sekolah. Walaupun berkali-kali Kadrun melarang sebab usianya sudah tiga puluh tahun. Namun Mak dan Bapak Kadrun tetap bersikeras. Sekarang kebanggaan itu semakin dilengkapi Kadrun dengan menikahi Siti Majenun.

Pesta penikahan di kampung sudah selesai digelar. Kadrun dan Siti Majenun berniat kembali ke kota. Banyak bekal berupa hasil bumi dari kampung yang disiapkan Mak dan Bapak Kadrun untuk keduanya. Sekarung jagung, sekarung kentang, sekarung bawang merah dan bawang putih, sekarung cabai merah dan dua karung beras ditumpuk di atas travel yang dipakai mereka menuju ke Jambi.

“Tidak usah bekerja dulu, Siti. Istirahat saja di rumah. Biar kalian cepat punya anak.” Mak berpesan pada menantunya.

“Iya, Mak.” Siti mengangguk tersenyum lalu mencium tangan mertuanya.

“Nanti kalau nak apa-apa minta sama Kadrun. Kalau dia tidak menuruti, kasih tahu Mak dan Bapak. Biar kami datang ke Jambi untuk menjewer kupingnya.”

“Apa lah Mak nih.” Kadrun menimpali sedikit kesal.

“Kalau dia manja dimaklumi saja ya, Siti. Dia ini satu-satunya anak kami, jadi dia lebih sering dimanjakan daripada diajari jadi orang benar.” Mak menambahkan tanpa menimbang perasaan Kadrun.

“Lah, kalau awak dak benar, pasti sudah kacau hidup awak nih, Mak.” Kadrun kembali mengajukan protes.

“Memang kaupikir hidup kau selama ini dak kacau? Untung saja masih ada perempuan macam Siti yang mau menerima jantan kurus kering sepertimu yang hidupnya tidak tentu arah.”

Kadrun mencibir.

“Jadi, Kadrun, jangan kau sia-siakan Siti. Kau urus Siti baik-baik. Kalau kau lalai, Mak yang turun tangan menghabisimu!”

“Iya lah, Mak.” Kadrun mencium tangan Mak dan Bapak. Setelah itu, si lelaki kurus tersebut mengangkat koper mereka satu per satu memasuki mobil travel, sementara supir travel mengikat bawaan mereka yang lain di atas mobil. Setelah supir selesai mengamankan barang, kedua pengantin baru tersebut masuk ke dalam mobil dan supir segera membawa mobil melaju kembali ke Kota Jambi. Lambaian Mak dan Bapak masih terekam jelas di mata Kadrun. Kadrun tersenyum bangga menggengam tangan isterinya. Kadrun merasa hutang salah pada Mak dan Bapak sudah dia bayar kontan. 

Sepulang dari kampung, Kadrun mengajak Siti Majenun ke kontrakan lamanya yang berada di gang sempit. Sebuah sepeda motor bebek yang biasa dipakai Kadrun ke kantor masih terparkir di luar rumah seperti kondisi awal ditinggal Kadrun. Beberapa ember tampak sengaja di taruh di teras untuk menampung hujan yang menetes dari langit-langit rumah yang bocor. Warna tiang yang hijau tua dan dinding rumah yang hijau muda terkikis usia, beberapa lumut nampak bertengger di dinding. Siti memandangi fasad kontrakan Kadrun setengah tertegun.

“Ayo, masuk.” Kadrun mengundang isterinya setelah berhasil membuka gembok pintu rumah.

Siti melangkah hati-hati memasuki kontrakan karena ada palang melintang di pintu masuk rumah. Langit-langit di dalam rumah hanya setinggi dua meter dengan cat yang sudah luntur dan terkelupas seperti halnya tampilan di luar. Siti memilih duduk di satu-satunya sofa di ruangan itu. Warnanya coklat pudar dengan beberapa bagian yang sudah sobek dan terdapat beberapa bekas sundutan rokok. Di depan sofa terpampang meja dan sebuah televisi ukuran 20 inci yang tergantung di dinding.

“Kalau mau nonton cari saja remote-nya di dalam laci meja.” Kadrun memberitahu sambil  lalu kepada Siti, sementara dia sibuk membawa koper-koper mereka ke dalam kamar. Mobil travel yang tadi mereka tumpangi tidak bisa masuk ke gang kontrakan, oleh sebab itu buah tangan yang dibekali Mak dan Bapak dari kampung seperti jagung, kentang, beras, cabai, dan bawang dititip Kadrun di bengkel Bang Somad tempat mobil travel berhenti.

Siti tampak kurang sehat, perempuan itu berjalan setengah menyeret badannya memasuki mulut gang. Dia sudah habis-habisan mengeluarkan seluruh isi perutnya selama perjalanan. Siti tidak sanggup dengan aroma transportasi umum yang berisi orang-orang membawa ayam, bawang dan barang-barang lain yang memenuhi kendaraan dan mengurangi masuknya oksigen, sementara bau keringat mereka bergabung di dalam mobil van kecil tersebut yang Air Conditioner-nya tidak menyala dengan baik. Siti kesal dengan sikap Kadrun yang menolak keras mobil baru yang dihadiahkan kedua orangtuanya dengan alasan tidak punya tempat parkir di kontrakan rumahnya.

Siti merebahkan tubuh sejenak di sofa, tapi dia tidak menemukan kenyamanan di atas sofa tersebut. Dia kemudian kembali duduk dan membuka laci dengan niat mencari remote televisi.

“Aaah,…!!!” Siti terlonjak kaget dengan wajah yang semakin pucat.

Kadrun yang baru memasuki kamar terburu-buru keluar menuju sumber teriakan.

“Ada apa, Sayang?” tanya Kadrun cemas.

“kecoa! Ada kecoa di laci itu!” Siti menunjuk-nunjuk laci meja di depan sofa.

“Oh, itu. Biasa lah kalau di sini.” Kadrun menimpali dengan tersenyum.

“Biasa? Aku tidak suka kecoa, Kadrun!” teriak Siti mengagetkan Kadrun.

Kadrun langsung memandang Siti dengan tatapan bingung. Apalagi Siti barusan hanya memanggil namanya begitu saja. Tidak seperti biasanya.

 “Oh, maaf. Nanti sama-sama kita bersihkan. Maklumlah ini kan dulu rumah bujangan, jadi berhubung sekarang sudah bukan rumah bujang lagi, Sayang Siti pasti bisa membantu Abang Kadrun untuk membersihkan rumah kita ini. Biar kita sama-sama betah.”

“Aku ini punya penyakit alergi debu. Aku bisa sesak napas kalau kebanyakan menghisap debu. Makanya aku tidak pernah beres-beres rumah. Apalagi disuruh masak, bisa-bisa kuku ini patah. Kulit ini kena percikan minyak panas. Belum lagi kalau jariku kena potong pisau dapur. Terus disuruh pula aku mencuci baju. Aduh, aduh, aku menikah bukan untuk jadi babu,…” Siti mulai menangis. Dia langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya rapat-rapat.

Kadrun makin terkejut. Pelan-pelan dia memegang kedua tangan Siti berusaha menurunkannya dari wajah. Wajah di balik tangan itu benar-benar basah dengan airmata.

“Maaf ya, Sayang. Aku tidak tahu kalau,” Kadrun jadi merasa bersalah.

“Mak dan Bapak di kampung punya banyak pembantu. Rumahnya besar walaupun di kampung. Kebunnya luas dan uangnya banyak. Tapi kenapa rumahmu bisa seperti ini? Bukannya kau anak tunggal? Kenapa mereka tega membiarkanmu tinggal di kontrakan?”

“Bukan salah Mak dan Bapak aku tinggal di sini. Ini kemauanku sendiri. Tidak ada hubungannya dengan mereka!” Kadrun sedikit berang karena Mak dan Bapak dibawa-bawa.

“Kenapa tidak, memangnya mereka punya banyak harta untuk siapa? Pasti untuk anaknya. Sementara kau adalah satu-satunya anak mereka.”

“Kau ini,…”

“Terus teganya kau ingin menjadikan aku babu. Bukannya aku ini istrimu?” isak tangis Siti semakin menjadi.

Kadrun jadi urung melontarkan amarahnya, hatinya luluh karena rasa salah. “Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak pernah ingin menjadikanmu pembantu.”

“Kalau begitu, kenapa tidak ada pembantu di rumah ini?”

Kadrun bingung memberikan jawaban.

“Aku butuh asisten rumah tangga untuk membantuku membereskan rumah, memasak, mencuci,”

Kadrun tetap diam.

“Apakah permintaanku terlalu banyak?” Siti segera meraih tangan Kadrun dan menggenggamnya dengan erat.

Kadrun otomatis menggeleng sambil menelan ludah, “Oh, tidak. Tentu tidak.”

“Berarti kau akan menyediakan asisten rumah tangga untukku?”

Kadrun mengangguk.

“Kapan?”

“Secepatnya.” Kadrun menjawab sekenanya.

Siti kembali menangis.

“Iya, Sayang. Aku janji. Tapi Sayang, boleh aku tanya kenapa pula kita harus butuh pembantu? Kita masih berdua, tenaga kita masih cukup untuk mengurus rumah sekecil ini.”

Tangis Siti makin kencang.

“Aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri, Drun!”

“Kan ada aku.”

“Bukannya kau harus bekerja?”

“Tapi kan katamu kau bukan tipe orang yang mudah menyerah. Setiap masalah pasti sudah disiapkan Tuhan jalan keluarnya.”

“Iya, benar. Dan jalan keluar untuk masalah kita saat ini adalah mencari asisten rumah tangga.”

Kadrun melongo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status