“Kalian jangan mencemaskan apa pun. Kami akan jaga Kai dengan baik. Tapi kalau ada apa-apa, segera hubungi kami,” ucap Aruna saat Milea dan Hanzel menitipkan Kai ke mereka.
Kai tidak mau ditinggal Milea dan Hanzel pergi. Bocah itu tidak mau bersama orang tua mereka, hingga akhirnya Milea dan Hanzel meminta tolong Aruna karena hanya Emily yang bisa membuat Kai betah.
“Maaf merepotkanmu,” ucap Milea karena tak mungkin membawa Kai, takut jika nantinya sang putra cerita ke keluarga soal apa yang mereka lakukan di Singapore.
“Tidak apa, lagi pula Kai juga seneng kok.” Aruna mencoba membuat Milea agar merasa tenang.
Milea mengangguk-angguk mendengar ucapan Aruna, lantas menoleh ke Kai yang sedang duduk bersama Emily.
“Kai di sini sama Emi. Harus bersikap baik dan nurut sama Bibi Runa juga Oma Bintang,” ucap Milea.
“Iya, Kai pasti jadi anak baik. Mama sama Papa tenang saja. Pergi aja ga papa.&rd
“Selamat, ya. Maaf karena tidak bisa datang ke pesta pernikahan kalian.”Jill langsung mengucapkan selamat saat melihat Milea dan Hanzel datang ke rumah sakit.“Terima kasih,” ucap Milea, “tidak apa, kondisimu juga seperti ini,” imbuh Milea.Jill mengangguk-angguk dengan senyum hangat ke Milea.“Aku mau menemui dokter dulu, kamu di sini temani Jill dulu,” ucap Hanzel ke Milea.Milea mengangguk-angguk mendengar ucapan Hanzel. Suaminya itu pun pergi bersama orang tua Jill menemui dokter untuk membahas soal operasi Jill.Milea sebenarnya masih agak canggung, apalagi dirinya sempat takut jika Jill nantinya merebut Hanzel darinya.“Kai tidak ikut?” tanya Jill karena tak melihat bocah itu.“Tidak,” jawab Milea, “kami sepakat tidak memberitahu orang tua kami soal niat Hanzel, karena itu lebih baik tak mengajak Kai,” imbuhnya.Jill mengangguk-angguk, lantas menatap Milea yang duduk di samping ranjang.“Maaf karena sudah membuat kalian repot,” ucap Jill sambil menatap Milea.“Tidak apa. Bukank
Milea mengantar Hanzel menemui Jill setelah kondisi suaminya itu membaik. Saat sampai di kamar Jill, di sana ada orang tua dan adik Jill.“Kalian datang, sini duduklah.” Ibu Jill sangat ramah karena merasa berhutang budi dengan kebaikan Hanzel.Hanzel dan Milea hanya tersenyum sambil mengangguk, lantas Milea membantu Hanzel duduk.“Bagaimana kondisimu? Maaf belum melihatmu setelah operasi,” ucap ibu Jill.“Tidak apa Bibi, kalian juga pasti sibuk mengurus Jill,” balas Hanzel.Wanita paruh baya itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Hanzel.“Kami sangat berterima kasih dengan kebaikanmu. Jika ada sesuatu yang kamu inginkan dari kami, katakan saja. Pasti akan kami kabulkan,” ucap ayah Jill sambil menatap Hanzel.Hanzel menoleh ke pria paruh baya itu, lantas membalas, “Tidak usah terlalu berlebihan, Paman. Runa sepupuku sedangkan dia istri dari keponakan Paman, anggap saja aku membantu saudara. Bukankah begitu, Jill?”Hanzel menatap Jill, tampaknya dia ingin menganggap wanita itu sebagai
“Kamu benar-benar akan ke Jerman?” Jean yang hari itu datang ke rumah sakit, langsung menanyakan niat sang sepupu ingin ke Jerman. “Iya, nanti setelah sembuh total. Aku berencana mengurus hotel yang ada di sana,” jawab Jill sambil menatap Jean yang berdiri di samping ranjang. Jean menatap Jill yang masih bisa tersenyum setelah hal yang dilalui. “Kamu pergi bukan untuk menghindari pria itu, kan? Tapi ada bagusnya pergi daripada kamu sakit hati,” ucap Jean masih tak menyukai Hanzel. Jill hanya tersenyum mendengar ucapan Jean. Dia menarik napas panjang lantas mengembuskan perlahan sambil menatap jendela. “Aku akan lebih tenang jika tak melihatnya. Bukan aku patah hati atau tidak bisa melepas, hanya saja ini akan jadi bagian caraku untuk tak membuat orang lain merasa tak nyaman. Hanz dan Milea sangat baik kepadaku, aku tak bisa menjadi bayangan di antara mereka,” ujar Jill menjelaskan. Jean pun terdiam mendengar ucapan Jill. Dia tahu bagaimana effort Jill agar bisa bersama Hanz
Winnie menatap Bumi yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suaminya itu tampak berjalan ke meja rias, lantas mengambil sisir.Bumi berdiri di meja rias, lantas menyisir rambut yang setengah basah hingga tatapannya tertuju ke pantulan bayangan Winnie yang terlihat di cermin.“Ada apa, hm?” tanya Bumi saat melihat Winnie terus memandangnya.Bumi membalikkan badan, lantas menatap Winnie yang duduk di atas ranjang.Winnie memandang suaminya yang kini menatap dirinya. Dia hanya menggeleng menjawab pertanyaan Bumi.Bumi pun mendekat ke ranjang, lantas duduk di hadapan Winnie.“Kenapa kamu diam saja? Apa tadi Aruna dan yang lain mengatakan sesuatu yang membuat tak enak hatimu?” tanya Bumi sambil menarik telapak tangan Winnie untuk digenggam.“Tidak, mereka baik-baik, bagaimana bisa mengatakan hal tak baik,” jawab Winnie.“Lalu, kenapa kamu jadi mudah melamun?” tanya Bumi karena sejak siang tadi dia melihat Winnie banyak diam.Winnie menatap Bumi yang selalu sabar terhadapnya, hingga berpiki
“Bagaimana kabarnya bayi kita?” tanya Ansel sambil mengusap perut Aruna yang sudah besar. “Dia baik, sangat baik dan sehat,” jawab Aruna sambil menatap Ansel yang sedang menyentuhkan telinga di perutnya. Ansel mengangkat kepala, lantas menatap Aruna yang duduk sambil memandangnya. “Besok jatah kontrol, kan?” tanya Ansel. “Iya, kamu mau nemenin?” tanya Aruna balik setelah menjawab pertanyaan Ansel. “Iya,” jawab Ansel begitu semangat. “Yakin? Ntar kayak kemarin katanya mau nemenin tapi malah ada rapat dadakan,” ujar Aruna agak kecewa karena sebelumnya Ansel tak bisa menemaninya. “Iya maaf, tapi kali ini tidak akan ada rapat dadakan. Aku sudah memastikan,” balas Ansel meyakinkan. Aruna pun tersenyum mendengar balasan Ansel. Usia kandungannya kini sudah memasuki tujuh bulan. Perutnya tampak besar kadang membuat Aruna susah bergerak dan sulit tidur. “Baiklah, awas saja kalau sampai ga bisa ikut lagi. Aku akan merajuk tujuh hari tujuh malam,” ancam Aruna. “Ibu hamil dilarang gampan
“Kai kenapa murung?” tanya Emily saat melihat Kai masuk kelas.Kai meminta sekolah bersama Emily, harus sekelas sehingga dia melakukan tes dan hasilnya bisa sekelas dengan Emily meski umur mereka selisih satu tahun.Kai melipat kedua tangan di atas meja, lantas meletakkan dagu di atas punggung tangan.Emily duduk di depan Kai, menatap bocah itu yang terlihat sedih.“Tadi aku dengar Mama dan Papa bahas mau punya adik,” ucap Kai.“Kan bagus kalau punya adik,” balas Emily bingung kenapa Kai sedih.Kai mengangkat kepala, lantas menatap Emily.“Nanti Kai ga disayang lagi, yang disayang pasti adiknya,” ucap Kai dengan mimik wajah sedih.Emily terlihat berpikir, lantas kembali menatap Kai lagi.“Tidak juga, nyatanya Mami sama Papi tetap sayang aku, padahal mau punya adik,” balas Emily.Kai tetap sedih meski Emily berkata jika dugaannya itu salah.“Memangnya benar kalau Aunti hamil seperti mamiku?” tanya Emily memastikan.Kai diam mendengar pertanyaan Emily, hingga kemudian menjawab, “Entah, t
“Dia tampan sekali.” Bintang menimang cucunya yang menggemaskan. “Dia sangat mirip Ans saat bayi,” ucap Ayana yang berdiri di samping Bintang sambil menusuk-nusuk pelan pipi chubby Aruna. Aruna langsung dibawa ke rumah sakit setelah melahirkan, bayinya pun sempat diinkubator beberapa jam meski berat badannya di atas berat ideal bayi yang baru lahir. Ansel duduk di samping Aruna yang ada di ranjang. Dia menautkan jemari mereka sambil menatap para kakek-nenek yang tampak sangat bahagia. “Kalian sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya Ayana sambil menatap Ansel dan Aruna. “Tentu saja sudah,” jawab Ansel lantas menatap Aruna penuh cinta. “Evano Aryastya Abimanyu. Emily menyumbang nama Evano, jadi kami pakai nama itu,” ujar Aruna menjelaskan nama putranya. “Namanya bagus,” balas Ayana lantas kembali fokus ke cucunya. Aruna dan Ansel senang karena semua orang bahagia, hingga beberapa saat kemudian kehebohan terjadi saat Emily dan Kai datang. “Mana adiknya?” Emily masuk kamar inap sa
“Selamat, ya.”Jean langsung memberi selamat setelah memberikan hadiah untuk anak Aruna ke Ansel.“Terima kasih,” ucap Aruna senang dengan kedatangan Jean di sana.Ansel duduk di samping Aruna yang sedang menyusui bayi mereka.“Siapa namanya?” tanya Jean sambil menatap bayi Aruna yang menggemaskan.“Evano,” jawab Ansel.“Dia tampan sekali,” puji Jean sambil menatap haru ke bayi itu.“Tentu saja, papinya saja tampan paripurna seperti ini,” balas Ansel penuh percaya diri.Jean langsung memukul lengan Ansel karena gemas.“Heh, jatah baik-baik saja muji sendiri!”Jean geleng-geleng kepala.Aruna tertawa kecil melihat interaksi Ansel dan Jean yang tidak pernah gagal saat berdebat.“Ya, gimana. Masa tampan seperti orang lain? Kalau bayinya tampan, benerkan itu karena papinya tampan.” Ansel membela diri.“Narsis,” ledek Jean.Ansel tertawa, lantas menoleh sekilas ke Evano yang sedang menyusu.“Bagaimana kanar Jill?” tanya Ansel karena lama tak menghubungi sepupunya itu.“Dia baik, sekarang f