Matahari sudah naik sedari tadi, tapi kedua manusia yang berlawan jenis ini sama sekali tidak beranjak dari kasur dan selimut.Savana sudah bangun sejak tadi, ia sibuk memandangi wajah Aiden yang terlelap di dekapannya. Bibirnya terus di tarik ke atas tanpa pegal, jika orang lain melihatnya pasti akan mengatai Savana gila.Jari-jari lentiknya terus bermain-main di wajah pahatan tuhan yang nyaris sempurna, "Kau tidak bekerja?" Savana tau Aiden sudah bangun, tapi pria itu malas membuka matanya.Bukannya menjawab Aiden malah menarik tubuhnya lebih dekat dengannya, mendekap erat seperti bantal guling dengan wajah menyeruak di leher milik Savana. "Aku ingin membolos hari ini." Sahutnya dengan posisi yang tak berubah. Savana sedikit merinding saat nafas pria itu menari-nari di permukaan kulit lehernya."Tapi aku harus bekerja.""Aku tak peduli." Jawab Aiden sekenanya.Savana mencoba melepaskan tangan pria itu yang melilitti pinggang rampingnya. "Ck! Aku ingin ke kamar mandi!" Kesalnya.Aide
"Anak itu! Di kasih kebebasan malah seenaknya!" Gerutu pria paruh baya yang usianya hampir 50 tahun itu."Sudahlah Delio, jangan menjadi ayah yang kolot." Sang istri dengan lembut mencoba menenangkan suaminya.Mereka adalah orang tua Savana. Wanita yang sekarang bersanding dengan Delio adalah ibu tirinya, Anggun.Delio menghela nafas kasar, "dia putri ku satu-satunya, meskipun sangat menyebalkan dan membangkang tapi dia tetap putri ku." Lirih Delio dengan raut wajah Sendu.Sudah lama sekali putrinya tidak pulang ke rumah, bertemu juga jarang, meskipun berpapasan putrinya akan pura-pura tak mengenalinya. Mungkin ia salah mendidik putrinya dengan segala aturannya. Tidak-tidak, Delio bukan tipe ayah yang putrinya harus dapat nilai sempurna.Ia hanya ingin putrinya menurut dan terus bergantung kepadanya. Dan Savana bertolak belakang dengan semua kemauannya, hingga sekarang putrinya itu masih setia berperang dingin dengannya."Aku bukannya berfikir kolot, aku hanya tak ingin putri ku di ca
Tok! Tok! Tok!"Masuk!"Digo memasuki ruangan Aiden dengan satu amplop coklat besar di tangannya. Melihat siapa yang masuk, Aiden beranjak dari kursi kebanggaannya. Lewat 2 hari selepas membicarakan tentang Delio Acrekama, Digo hilang entah kemana, tidak menghubunginya atau pun muncul di kantor."Bagaimana?" Digo menampilkan senyum lebarnya, "porsche warna biru tua, yang kemarin baru saja launching." Ucap Digo dengan mengedipkan sebelah matanya ke arah Aiden, kemudian ia meletakkan amplop coklat itu di meja kerja Aiden."Lupakan so'al traktir makannya, ah ya... isi dalam dokumen itu sangat lengkap, bahkan dari awal Delio mengembangkan bisnisnya hingga akhirnya menikah dengan mendiang ibunya Savana." Digo menjelaskannya dengan bangga, ia tak sabar bertemu dengan porsche718 impiannya.Aiden mengambil amplop coklat itu, lalu melihat isinya, "sepertinya kali ini kau tidak mengecewakan," Digo sedikit kaget dengan sanjungan dari Aiden yang sangat jarang sekali keluar dari mulut temannya it
"10 menit, cepat bicara!" Meskipun tidak di sambut dengan baik oleh Savana, Arka tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang di kasih oleh Savana."Jenni menjebak ku, sengaja. Dia menyuruh orang untuk mencampuri obat itu dengan minuman yang aku pesan. Begitu kejadiannya, jadi... " Arka menggantung ucapannya, bukannya menyia-nyiakan waktu, tapi ia bingung harus memulainya darimana."5 menit lagi." Sargah Savana cepat. Rasanya memuakkan mendengar penjelasan Arka."Aku ingin bersama mu lagi, menikah dan menghabiskan seluruh hidup ku dengan mu." Dengan lantang Arka mengucapkan isi hatinya yang sedari tadi bungkam.Rasanya Savana ingin tertawa dengan penjelasan Arka kali ini, "really? Anda sedang tak bercanda kan?" Sungguh dengan sikap sok keren dengan datang ke apartemennya seperti sekarang ini, sama sekali tidak membuat Savana tersentuh.Arka menatap sendu Savana, wanita yang dulu selalu bersikap santai kepadanya dan berkeluh kesah kepadanya, sekarang seolah tengah berbicara dengan orang asi
Setelah kepergian Arka, punggung Savana merosot ke bawah, terduduk di lantai yang dingin. Dengan kasar ia menghapus air matanya. Ia benci kepada pria pengecut dan egois. Ia benci pria yang bernama Arka, mungkin itu terjadi sejak hari ini saat pria itu datang ke apartemennya.Meskipun Savana membenci Jenni dan Arka. Tapi tidak dengan anak yang di kandung oleh Jenni, meskipun ia tak ada niatan untuk memiliki seorang anak dalam jangka waktu dekat, tapi jika tuhan memberinya maka ia akan menerimanya. Makanya Savana marah saat Arka membicarakan bayi tak bersalah itu seolah pria itu tak peduli."Argh!! Arka sialan!" ****Dengan tatapan kosong dan sebelah tangan menahan perut bagian bawah, Jenni terus melangkah kan kakinya yang entah mau kemana.Rencananya tidak begini, semuanya terjadi karena dia! pria gila dengan seribu kelicikannya. Jenni seperti boneka yang hanya menjadi pion pria itu. Jenni lelah, ia ingin berhenti dan menjalani hidup seperti biasanya."Hah... maafkan ibu sayang...."
Berakhirlah mereka di mobil. Aiden bukan orang yang suka menyimpan dendam, meskipun Savana kekasihnya membenci Jenni, tapi ia yakin jika wanita itu melihat Jenni berjalan sendirian tengah malam begini, sebenci apapun kekasihnya itu pasti akan membantu.Terlebih Jenni tengah mengandung.Aiden menoleh ke samping kursi penumpang, "kenapa tidak pulang? Ini sudah malam, tidak baik untuk perempuan hamil." Jenni hanya diam tak bergeming, kepalanya penuh dengan per- andai-andaian. Sebenarnya Aiden tak ingin ikut campur, tapi melihat kondisi wanita di sampingnya ini tak memungkinkan, ia akan sedikit ikut campur untuk membantu wanita di sampingnya.Tadinya Aiden akan mengantarkan Jenni ke hotel terdekat saja, tapi melihat kondisinya, ia urungkan.Wanita kedua yang masuk ke dalam apartemennya adalah Jenni. Bahkan Lea yang notabenenya kakak kandungnya, belum pernah memasuki apartemennya."Aku akan menelfon teman ku untuk menemani mu malam ini." Jenni menoleh ke arahnya. Aiden menatap lurus ke a
"Nyamuk! Nyamuk!" Sindiri Ben, dengan tangan yang seolah menangkap nyamuk.Savana sama sekali tak bergeming dari posisinya. Memeluk erat lengan Aiden dengan kepala bersandar di bahunya. Jenni duduk di sofa single, sedangkan Ben duduk di samping Savana, di sofa yang menampung 3 orang."Apa rencana mu?" Tanya Aiden, setelah temannya memeriksa Jenni, ternyata kondisi wanita hamil itu buruk. Di tambah cerita Savana perihal kedatangan Arka tadi pagi.Dan tentang keputusan untuk membantu, Savana lah yang menyuruhnya, bahkan tanpa berfikir lama. Aiden juga pasti membantu mau Savana melarang sekalipun, tapi tentu di fikirkan dahulu."Mengganggu saja bisanya." Savana melirik Ben yang terus menyindir Jenni. Entah sejak kapan temannya itu berubah seperti ibu-ibu rempong."Cepat jawab!" Seru Savana, ia menatap tajam mata terang milik Jenni.Tanpa mereka ketahui, di bawah meja tangan Jenni saling meremas. Meskipun raut wajahnya biasa saja, bahkan tatapannya, tapi di dalam lubuk hati yang paling da
8 tahun yang lalu~"Cukup Savana saja! Aku tak ingin memiliki seorang anak lagi!!" Teriak seorang wanita paruh baya yang terlihat masih muda menggelegar di seluruh penjuru ruangan.Perempuan itu Renata Yudistira, Renata menjatuhkan tubuhnya kasar ke arah sofa di belakangnya. Ia menatap suaminya tajam.Delio beranjak ke dekat sang istri. Ia berlutut di depan Renata, meremas kuat kedua tangan sang istri, menatap dengan penuh permohonan."Hanya dengan ini ayah ku memberikan perusahaannya untuk ku, untuk keluarga kita. Kau juga Savana. Aku tak ingin kalian hidup susah seperti ini, aku tak ingin kau klelelahan bekerja sekaligus mengurus Savana dan juga aku. Aku ingin yang terbaik untuk keluarga kita." Seru Delio dengan suara parau.Renata menatap Delio tak percaya, "hanya itu alasan mu? Bukannya kita sudah setuju untuk masalah kerja kita tanggung bersama, dan Savana pun mengerti pekerjaan orang tuanya, dan untuk masalah ekonomi. Kita sama sekali tidak kekurangan, semua kebutuhan kita tercu