“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
"Apa?""Aku ingin mengajarimu menjadi istri yang baik, biar mas Marvin makin cinta sama kamu.""Maksudnya mbak?"Kuseret Isyani yang kebetulan tengah bangkit berdiri dari meja makan. Wanita itu begitu pasrah saat kutarik tangannya.Kemudian, kami memasuki kamar mas Marvin. Isyani nampak kebingungan dengan tingkahku."Masukkan dompet, hp dan buku catatan ke dalam tas ini."Suruhku menyodorkan tas berwarna coklat kepada Isyani. Wanita itu manut aja tanpa keberatan."Cek apa ada barang penting yang belum masuk di tas kerja mas Marvin, kalau sudah. Bawa dasi, jaket, kaus kaki dan sepati serta tas ini ke ruang tengah. Kasihkan ke mas Marvin.""Cuma gini aja mbak?""Tidak, masih banyak hal -hal yang bisa bikin mas Marvin tambah cuinta sama kamu, ntar mbak ajarin.""Ribet banget mau kerja barang mas banyak banget sih," keluh Isyani sambil memunguti barang - barang yang kumaksud."Nggak papa ribet, nanti lama - lama akan terbiasa kok sayang, makasih yah sudah merawat mas." Mas Marvin menyungg
"Benar - benar kelewatan Marvin, sudah menelantarkanmu menduakanmu juga? Astaga, manusia berhati jahat ternyata."Terlihat wajah marah Irzam setelah mendengsrkan panjang ceritaku. Ah, kenapa dia yang emosi ya? Aku jadi heran."Kamu jangan diam saja Furi, mendingan kamu balas dia, bikin dia menyesal.""Makannya, aku ingin kerja dan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangannya, aku lelah ibunya terus merendahkanku seolah aku hanya beban untuk anaknya.""Oke, aku ada bisnis yang bisa kamu jalankan, kebetulan aku biuh tim marketing, kalau kamu berhadil 80% keuntungan bisa kamu ambil.""80% itu banyak Irzam, kebanyakan!""Nggak masalah, kalau perlu bikin mereka bersujud kepadamu lagi," ujar Irzham tersenyum jahat, namun akupun mengikuti tingkahnya."Iya, benar katamu.""Oke kita bahas di telepon saja, dan sembunyikan pekerjaanmu dari suami dan keluarganya sampaii waktu yang telat bisa kamu tunjukan..""Lah? emang kenapa harus disembunyiin? bukannya aku harus tunjukan kala
" Apa syaratnya?"Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Irzam malah memandangku genit dengan mengedipkan sebelah matanya. Sehat tidak nih orang?"Irzham! kok malah gitu ih, nggak jelas," proteskuIrzham tertawa melihat gelagatku yang tak nyaman karena sikapnya. "Iya - iya, maaf Furi. Aku cuma bercanda.""Aku akan beri kamu bonus kalau kamu mau memenuhi syarat dariku.""Ih, to the point kan bisa Zam! malah bikin penasaran!" protesku" kamu lucu pas marah.""Jadi syaratnya, kamu bakal dapat bonus semakin banyak kalau kamu berhasil jual produkku 2x lipat dari ini.""Hemm, itu mah bukan bonus Zam!" lirikku kesal. Menurutku yang namanya bonus tuh ngasih banyak tanpa banyak embel - embel syarat. Sementara, syarat yang diajukan Irzam sedikit memberatkan untukku."Jadi gimana? merasa tertantang nggak tuh?" ucapnya menanting. Karena aku paling suka tantangan, akhirnya tanpa berpikir panjang kujawab."Ehm, boleh dicoba.""Aku suka gayamu Furi! Kamu selalu percaya diri dan optimis. Oke seman
"Apa benar kata Isyani kamu nggak mau masak hari in?""Iya mas, kenapa?" jawabku sekenanya. Sepertinya pelan - pelan memang harus sedikit kutunjukan taringku kepada Mas Marvin dan Isyani serta ibu mertua, biar mereka nggak seenaknya kepadaku."Iya? berani - beraninya kamu jawab aku sesantai itu."Mas Marvin sangat kaget melihat caraku menjawab pertanyaannya. Seumur - umur aku tidak pernah erani kepadanya, aku selalu menurut bahkan terkesan takut saat melihat wajah marahnya."Lah? emang salah mas?" tanyaku tertawa miring. Mas Marvin semakin kesal melihat mukaku dan merasa kuejek."Furika - Furika, kuamat - amati akhir - akhir ini kamu mulai belagu, susah di suruh dan males ngerjain pekerjaan rumah, kamu kira aku menikahi Isyani untuk dijadikan pembantu untukmu? hah?" ucapnya dengan suara ditinggikan.Pulang - pulang kerja nggak bikin rumah tambah tenang, malah memancing keributan. Hemm, bagaimana sih suamiku ini?"Apaan sih mas ngomel - ngomel terus, kasihan Aghis dia baru aja tidur.""
POV Marvin "Mas, uang belanja sudah habis, susu dan keperluan dapur juga habis, maaf aku nggak sempet masak hari ini mas capek banget, Aghis seharian rewel mas." "Alah, kebanyakan alesan! ya udah, aku beli makan di luar saja!"Pemandangan yang semakin membuatku muak dan semakin tidak betah di rumah. Semenjak Furika hamil kerjaannya hanya sambat dan mengeluh saja. Semua pekerjaan rumah tak terurus bahkan dia malas melayaniku. Membuatkan kopi saja tidak! Apalagi semenjak melahirkan, kerjaannya cuma rebahan terus sambil sambat minta makan. Makin hari makin dienak - enakin malesnya.Penampilannya juga semakin kumal saja. Setiap hari dia selalu memakai daster kelelawar dengan motif itu - itu saja, apalagi mukanya juga nggak seglowing dulu. Aku semakin tak berselera kepadanya. Sampai aku tergoda dengan kehadiran mantan kekasihku yang sudah lama menjalin kedekatan denganku meski aku sudah menikah. Namanya Isyani. Dia sangat cantik dengan bodi lencir, putih mulus dan terawat. Memang speak