Share

Bab 6 : Nurah

Sekitar satu jam kemudian ponsel Ilbi menunjukkan notifikasi pesan dari Nurah. Ia telah selesai dimintai keterangan. Mereka yang sedang duduk di teras masjid langsung berjalan ke Polsek.

Sesampai mereka di sana Nurah sedang duduk berdiri dekat sepeda motor miliknya. Ilbi mengusulkan agar mereka bicara di tempat lain dan kembali membuka map di ponsel.

“Kita ke tempat restoran Mi Ayam Jogja saja cuma dua ratus lima puluh meter dari sini.”

Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 waktu yang cukup tepat untuk mengisi perut dengan makanan berat.

Sesampainya di sana. Mereka mengambil tempat paling belakang dekat dinding dan memesan menu yang sama yaitu mi ayam jamur tiram.

Nurah tak terlalu tertarik melirik menu dan menyerahkan pada Ilbi untuk memesankan menu yang sama dengannya, begitu pun juga Malik.

“Bagaimana penyidikannya?” Ilbi langsung memulai percakapan inti.

“Tidak ada masalah. Polisi akan meminta kesaksianku lagi lusa.”

“Sasmita juga dipanggil dan kami sempat melihatnya di ruang tunggu. Dia datang saat kau masuk ke ruangan.”

“Oh, aku tidak melihatnya saat keluar.”

“Mungkin dia ditanyai penyidik yang lain. Baiklah, bisa ceritakan pada kami tentang kronologi kejadiannya.”

Nurah menarik napas perlahan. “Baiklah. Pada malam kejadian sekitar hampir jam delapan, Saba datang ke posko dan menghampiriku. Kami sempat bicara sebentar dan dia menanyakan apa yang akan kulakukan.

"Saat itu aku sedang menyiapkan bahan-bahan untuk memasak bandrek yang kubawa dari rumah. Lalu dia menitipkan tumbler miliknya padaku.

"Dia minta agar mengisikannya dengan bandrek saat aku sudah memasaknya karena dia ingin pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan makan malam. Aku menaruh tumbler miliknya di bangku masak sisi belakangku dengan jarak satu gapaian tangan.

"Dan aku menelepon Rani, seorang ART di rumah untuk mengantarkan satu bungkusan berisi cengkeh dan kayu manis yang kelupaan kubawa. Beberapa menit kemudian aku melihat istri Saba, Sasmita juga pulang ke rumah...”

“Tunggu, dari mana kau tahu kalau Sasmita pulang ke rumah?” Malik memberanikan diri menyela. Ia merasa harus mengatakan sesuatu juga.

“Karena aku sempat mendengarnya berkata akan pulang mengambil terpal di rumahnya pada orang-orang dapur. Ada bagian sisi tenda yang kurang lebar dan membuat hujan agak tempias ke arah orang yang sedang memasak. Beberapa waktu kemudian dia pun kembali ke posko membawa terpal.”

“Berapa lama waktu dari posko ke rumah kalian masing-masing?” Ilbi kemudian bertanya.

“Jalan kaki hanya kurang dari 5 menit.”

Ilbi mengangguk“ Lanjutkan.”

“Yang jadi perhatianku adalah saat Sasmita balik ke rumah, dia keluar dari arah tengah, masih di dalam area posko.

"Namun saat kembali ke posko sambil membawa lipatan terpal dia melewati jalan di samping kiri dan melalui belakangku. Saat itu tumbler milik Saba juga di belakangku.” Jelas omongan Nurah mengindikasikan ia curiga pada Sasmita.

Ilbi semakin menegakkan punggung. “Apa kau merasa suatu yang aneh saat dia berjalan di belakang? Apakah kau sempat menoleh untuk melihat apa yang dilakukannya?”

Nurah menggeleng. “Sayangnya aku tak menaruh perhatian karena fokus mencampur bandrek dengan bahan yang baru diantar Rani. Memang rasanya tidak ada yang janggal kalaupun dia jalan sambil berhenti sebentar karena ada beberapa titik tanah yang becek.

"Jalan tinggi tempat posko dibangun belum diaspal dan hanya ditimbun bebatuan. Walau begitu tetap saja, kenapa dia harus berjalan dari belakangku?”

Nurah menunduk dan mengatur napasnya. “Aku tidak memperhatikan kemungkinan apa yang bisa dilakukannya. Karena selang beberapa detik yang kuingat terpal itu sudah dibentangkan orang-orang di dapur darurat.

"Kemudian saat aku selesai memasak bandrek, aku minta tolong Akbar menuang ke dalam ceret dan beberapa cangkir karena kami juga membuat untuk beberapa warga yang dekat dengan posko.

"Lalu Sasmita datang membantu kami. Dia memang sudah selesai membantu di bagian dapur yang memasak bubur kacang. Tapi bukankah cukup membungkus bubur kacangnya sendiri dan memanggil Akbar tanpa harus membawa bungkusan bubur kacang dan ikut membantu?”

“Jadi saat Sasmita ikut membantu kalian menuang bandrek, tumbler milik Saba juga diisinya?”

Nurah mengangguk. Ini sesuai dengan kesaksian Jumali.

“Jadi setidaknya ada dua kejanggalan atau kesempatan seandainya memang Sasmita yang memasukkan racun tersebut,” sela Malik. "Tapi tidak ada saksi yang melihat Sasmita memasukkan racun tersebut baik dirimu maupun Akbar?”

Nurah menelan ludah. Ada guratan cemas di wajahnya namun ia tetap terlihat tenang.

“Ya. Akbar juga bilang melihat Sasmita membuka tumbler dari awal sampai menutupnya kembali. Dan tak melihatnya memasukkan sesuatu selain bandrek yang kumasak.”

Nurah kemudian terdiam beberapa detik sambil melirik sekeliling. Memastikan tak ada orang lain yang telah mencuri dengar.

Ilbi menyadari bahwa mereka tak seharusnya bicara lebih banyak dari ini meski jarak antar meja makan tidak terlalu rapat. Pesanan mereka pun tiba namun tak ada yang menyentuh sendok untuk sekedar mengaduk mi yang panas.

Malik kemudian bertanya apakah Nurah melihat bagaimana saat Saba dan Adil meminum bandrek.

“Aku tak terlalu memperhatikan. Tiba-tiba saja ada yang berteriak bahwa mereka berdua seperti kesakitan. Aku sangat panik karena tak pernah melihat suamiku seperti itu.

"Ada yang sangat salah dan aku pikir itu mungkin dari bandrek yang baru mereka minum dari tumbler Saba. Aku kemudian menyuruh seorang yang bisa menyetir untuk mengambil mobil di rumah...”

Ponsel Nurah berdering. Ia minta izin untuk mengangkatnya.

“Halo. Oh. Iya aku baru selesai. Baiklah, aku segera kembali.”

Nurah melirik Ilbi dan Malik. "Sepertinya ada sedikit masalah di pergudangan. Apakah kita bisa bicara lain kali?"

"Ah, ya. Tentu saja," kata Malik langsung. Meski ia harusnya bersikap agak mencegah Nurah pergi secepat sekarang dan secara normatif Ilbi lah yang patutnya memberi izin.

Buru-buru Nurah memasukkan ponsel ke tas juga mengambil beberapa lembar uang dan menaruhnya di meja.

“Aku mohon maaf. Adian, adik dari Adil meneleponku. Ada hal yang tak dipahaminya dan mendesak di bagian pergudangan. Aku harus mengeceknya sekarang.”

“Baiklah. Sebaiknya kau minta dibungkuskan saja dan bayar kepada kasirnya,” usul Ilbi.

“Oh, baiklah.” Ia mengambil kembali uangnya dan melakukan seperti yang Ilbi katakan. Sebelum Nurah keluar Ilbi memanggilnya dan bertanya.

“Siapa saja yang berada di rumah? Apakah ada keluarga Adil juga di sana?”

“Ya. Ibu Adil dan juga Adian. Mereka datang dari Pekan Baru."

“Baiklah. Sampai jumpa lagi. Kami juga kemungkinan akan berkunjung ke sana dengan Pak Hito.”

Nurah mengangguk kepada keduanya dan segera menuju keluar restoran.

“Entah wanita muda ini pandai menguasai diri atau memang tak terlalu bersedih atas kejadian itu,” ujar Malik begitu Nurah menghilang dari pandangan mereka.

“Menurutmu begitu?”

“Jika dilihat bagaimana dia menikah dengan Adil demi melunasi segala hutangnya, harusnya dia bisa bersikap lebih dramatis untuk tidak memancing prasangka buruk. Tidak masalah apakah dia menyayangi mendiangi suaminya secara tulus atau tidak. Yah, hal yang menyangkut perasaan itu bukan urusan kita.”

Ilbi memandang Malik dengan tatapan menarik. "Sekarang kau agak bersikap negatif padanya. Bukankah dia termasuk wanita cantik menurutmu?" Goda Ilbi.

"Lalu kenapa memangnya? Tetap saja dia mencurigakan kan?" Malik sebenarnya belum memiliki prasangka apa-apa terhadap Nurah.

Hanya saja ia mengatakannya agar dirinya tidak mudah terhanyut pesona Nurah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status