Kanya menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan menghela nafas berat. Pelajaran olah raga hari ini begitu melelahkan. Membuat tubuhnya terasa remuk.
Kanya melirik kalender yang sebagian angkanya di lingkari spidol merah, tidak terasa sudah 3 minggu dia di sini di temani gosip yang tidak kunjung hilang. Malah gosip yang semakin hangat.
Gosip terakhir yang kini berkembang itu semua masih ulah pelaku yang sama yaitu Nata.
Kanya mendesah lelah mengingat itu. Sungguh muak dan rasanya ingin mencabik - cabik wajah si pelaku yang begitu santai menanggapi semuanya.
Jelas saja semua gosip semakin berkembang, Nata selalu mengikutinya dan jika ada kesempatan dia selalu mengusap leher Kanya dengan tidak tahu tempat.
Tentunya tidak sopan juga dan bisa di bilang pelecehan!
Kanya akui dia lelah jadi bahan gosip seantero sekolah, telinganya selalu panas rasanya.
Tak hanya itu, gosip dirinya dengan Nata membuat harga dirinya jatuh.
Kanya selalu menjaga kesuciannya. Kanya merasa rendah saat orang - orang menganggap hubungannya dengan Nata menjurus ke hubungan yang kotor.
Hanya karena satu ruangan? Sempit sekali memang pikiran mereka! Gemarnya menduga - duga pun menjadi alasannya.
"Sebenarnya ada apa sih di leher aku—" gumam Kanya seraya berjalan menuju cermin.
Wajahnya di tekuk lesu, kusut dan muram.
Kanya mengamati lehernya, sudah tidak terhitung berapa kali tetap saja tidak ada jawaban.
Kanya memperhatikan leher orang lain, sama saja seperti miliknya perasaan.
Entah sihir apa yang ada di lehernya. Kanya menyerah untuk terus bertanya soal itu!
***
"Gue engga bilang engga suka cewek, kalian semua aja yang bikin gosip itu." jawab Nata seperti biasa, acuh. Nata tidak terlalu ambil pusing soal pemikiran orang terhadapnya.
Mereka jelas tidak bisa Nata kendalikan, jadi ya biarkan saja. Mereka tidak tahu kehidupannya seperti apa.
"Jadi lo normal? Guru - guru bahkan percaya soal lo gay!" Fajar berseru agak gemas. Nata benar - benar acuh, bahkan pada sahabatnya sendiri.
Fajar harap, Nata bisa berubah atau di ubah. Kecuekan Nata berlebihan seperti lemak si Agus.
Nata mengangkat bahunya tak peduli."Soal itu gue ga tahu, gue akui gue tertarik sama Kanya." akunya jujur.
"Itu karena lo terlalu cuek, kesalahpahaman kalo terus di biarin itu ga baik Nat," Fajar menghela nafas pendek saat Nata masih betah cuek - cuek bebek."bahaya dong kalo lo terus satu ruangan sama dia." lanjutnya saat sadar soal fakta itu.
Nata meletakkan seragam basketnya ke loker lalu menatap Fajar dengan senyum menyebalkan."Doain aja gue bisa tahan, liat lehernya aja gue bisa hilang kendali." kekehnya pelan di akhir.
Fajar menggeleng samar."Lo bajingan ternyata," Fajar bergumam pelan." gue doain kalian di pisahin ruangannya!" serunya dengan begitu menggebu.
Nata kembali menata lokernya."Gue ga yakin soal itu, jangan lupa, gue anak dari yang punya sekolah." balasnya begitu enteng.
Fajar mendengus, sialnya dia hampir melupakan fakta itu!
***
Membuat Kanya frustasi saja!
Kanya membawa langkahnya keluar dari ruang guru dengan lunglai, sang papa yang sibuk di luar kota rasanya kasihan untuk berkeluh kesah padanya.
Kanya tidak ingin menambahkan beban di pundak sang ayah.
"Ngapain?" bisik seseorang di belakangnya. Kanya sontak tersentak kaget, dengan cepat mengusap dada.
Di tatapnya Nata yang kini di sampingnya itu dengan benci dan penuh permusuhan."Bukan urusan kamu!" ketus Kanya seraya mempercepat langkahnya, mengabaikan poninya yang berantakan karena terpaan angin.
Yang paling utama, Kanya tidak ingin anak - anak semakin menyebarkan gosip yang tidak - tidak.
Nata mengikuti Kanya dengan santai, bibirnya yang tidak pernah tersenyum kini terangkat walau sedikit.
Kedua matanya masih asyik menatap ikat rambut Kanya yang terlihat kesana - kemari, seolah melambai - lambai.
Nata berdecak tidak suka, leher Kanya hanya untuknya, hanya boleh di lihat olehnya sendiri.
Nata mempercepat langkahnya lalu menarik ikat rambut Kanya yang sontak membuat Kanya menoleh kaget.
"Apaan sih?!" semprot Kanya dengan sewot.
Kanya merapihkan rambutnya yang sempat seperti singa itu lalu kembali melangkah, malas untuk berurusan dengan Nata.
Nata kembali mengekor dengan santai, kakinya yang panjang tidak mempersulitnya, bahkan Kanya lari pun baginya hanya berjalan biasa, Nata masih bisa mengimbangi langkah pendek Kanya.
Nata memainkan ikat rambut milik Kanya di jemarinya dengan tatapan masih menyorot punggung cantik itu.
Anak - anak yang kepo di sekitaran kelas hanya menatap keduanya gemas.
Yang satu jual mahal dan yang satu tidak pantang menyerah, membuat yang melihatnya menjadi baper sendiri, mengesampingkan rumor gay Nata.
Kanya mengerang kesal saat Nata masih mengekor di belakang. Kanya membelokan langkahnya menuju toilet wanita.
'Tau rasa! Ga bisa masukkan!' batin Kanya berseru dengan begitu puas.
Kanya mengatur nafas lalu menatap cermin di depannya."Oh astaga!" pekik Kanya saat melihat bayangan Nata di dalam cermin.
Kanya mengusap dadanya lalu membalikan badannya, menatap Nata berang."Apa - apaan sih! Keluar!" teriak Kanya dengan nafas memburu karena emosi.
Nata malah mendekat lalu berhenti satu langkah di depan Kanya. Tangannya terulur hendak mengikat rambut panjang Kanya yang sebagian basah oleh keringat.
Cuaca memang panas di luar, Kanya pasti gerah pikir Nata mengalah.
Kanya beberapa kali menepis, menolak sebisa mungkin namun Nata masih bisa mengendalikan pemberontakan Kanya.
"Diem! Kesannya aku lagi anuin kamu." ceplos Nata dengan santainya.
Kanya membolakan matanya kesal, bibirnya menipis saking kesalnya.
Apa? aku - kamu? Kanya menggeram muak. Rasanya Kanya mual! Menggelikan!
"Bisa ga sehari engga ganggu? Aku cape!" teriak Kanya di depan wajah Nata, tidak peduli jika nafasnya bau!
Nata pingsan lebih bagus.
Nata mengusap kepala Kanya, merapihkan hasil ikatannya. Nata menatap Kanya santai, memasukkan tangannya ke dalam saku celana tanpa mengubah jarak.
Kanya kini menatap Nata redup, dia memang lelah dan tertekan. Semua orang tidak ingin dekat dengannya, selalu menghindarinya karena gosip itu dan parahnya para laki - laki merendahkannya baik lewat ucapan atau tatapan.
Emosinya yang menumpuk membuat Kanya rasanya ingin menangis saja saking tidak tersalurkan dan Kanya tidak kuat menahannya.
"Aku cape, aku mau kehidupan sekolah yang normal seperti sebelumnya, aku mau pulang—" kini Kanya menangis meraung - raung seperti bocah 5 tahun.
Kanya bingung harus berkeluh kesah pada siapa, sahabatnya yang dulu susah di hubungi.
Nata menatap Kanya datar. Nata berpikir pasti Kanya tertekan begini karena anak - anak di sekolahnya, haruskah dirinya memperingati semua anak - anak di sekolah ini?
Kalau Nata yang harus mundur, maaf dia tidak bisa. Sejauh ini Kanya yang hanya bisa membuatnya tertarik.
Kanya menghentikan tangisnya walau masih tersedu - sedu. Mata merah basahnya menatap Nata yang kini mendekat, tanpa kata Nata kembali mengusap leher Kanya sekilas.
"Jangan nangis, aku pergi." Nata pun berlalu.
Bukannya mereda, Kanya malah semakin keras menangis. Air matanya tiba - tiba tumpah tidak terkendali.
Sepertinya, untuk lepas dari Nata akan sulit.
Kanya mengusap lehernya dengan masih tersedu - sedu, langkahnya dia bawa masuk ke dalam asrama. Kanya bergegas menaiki kasur lalu menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut dan kembali terisak.Kanya bahkan heran, biasanya kebanyakan orang akan terobsesi pada bibir, ini malah lehernya. Aneh memang dan lebih kesalnya lagi Kanya semakin di buat yakin kalau Nata itu normal!"Bunda Kanya kangen hiks Huwaaa Nata sialan! Brengsek! Gay gila! Bajingan! Pembohong!" raung Kanya seraya menendang - nendang selimut.Nata yang baru masuk mengulum senyum geli, baru kali ini ada orang yang menghujatnya seterang - terangan begini dan lagi bukannya kesal dia malah geli, benar - benar gila! pikir Nata heran sendiri.Nata membuka pintu kamar Kanya, Nata menggeleng pelan. Dasar gadis ceroboh! Bukannya mengunci pintu malah sibuk menangis tidak jelas.Nata meraih Selimut yang sedang di tendang
Kanya mengusap perutnya yang terasa penuh, baru kali ini dia merasa kenyang setelah makan. Biasanya baru tiga suap Kanya berhenti saking malasnya mengunyah, itu terjadi kalau sedang tidak nafsu makan!"Kita kayaknya belum kenalan?" celetuk Fajar membuat Kanya menatapnya dengan senyum canggung."Aku Kanya." kata Kanya pelan, dia tidak bisa ramah pada orang baru.Fajar mengulurkan tangan."Gue Fajar." setelahnya Fajar melempar senyum ramah.Kanya meraih uluran itu lalu melepaskannya dan beralih pada Qiano."Qian.."Kanya mengangguk dengan senyum canggung, Qiano tidak seramah Fajar."Kita dulu sering nginep di tempat Nata tapi semenjak lo ada kita ga ke sana lagi, takut ganggu." jelas Fajar yang membuat Kanya semakin canggung.Ganggu? Memangnya dia dan Nata sibuk apa? Kesannya Kanya selalu menghabiskan waktunya dengan Nata
Kanya merapihkan pakaian ke dalam koper kecil. Memasukkan semua yang di perlukan ke dalam tas gandongnya."Kayaknya udah siap! Ah dompet! Hampir aja, nyawa utama padahal." monolog Kanya seraya meraih dompet di meja belajar."Oke udah beres, keluar harus tanpa Nata!" tambah Kanya dengan penuh tekad.Kanya menyeret kopernya keluar kamar, sebelum kembali melangkah Kanya mengamati keadaan sekitar yang tampak sepi.Kanya melanjutkan langkahnya dengan bersenandung pelan, Kanya membuka pintu keluar lalu menjerit kaget saat melihat Nata berdiri dengan begitu kerennya.Nata kalau sudah tidak pakai seragam begitu terlihat sangat keren. Hitam - hitam, tampan! Ah ralat! Lebih ke seperti malaikat pencabut nyawa! Dumel Kanya."Lama banget, Semua udah jalan duluan.""HA!? Te-terus kita?" Kanya mengedarkan matanya liar.Asrama me
Nata tersentak kaget di tidurnya hingga membuatnya terjaga. Mimpinya tentang Kanya membuat Nata gila.Nata dalam mimpi menatap bibir merah alami milik Kanya di tambah kulit mulusnya yang bersinar dalam mimpinya membuatnya semakin gila.Nata mengerang pelan, kadang saat pagi sedang puncak - puncaknya. Tanpa kata Nata pergi ke kamar mandi lalu bersiap menuju ke tempat Kanya.Nata menggeleng tak percaya dengan ke-keboan Kanya, sepertinya gadis itu tidak berniat liburan. Nata menghampiri Kanya lalu menggoncang pelan tubuhnya.Kanya masih tak bergeming, tidak ada cara lain Nata harus melakukan cara yang satu ini. Dengan gemas Nata mencubit hidung Kanya agar gadis itu sulit bernafas."Ha! Aduh ayah!" pekiknya dengan terengah - engah, menghirup oksigen dengan begitu rakusnya."Udah jam 9 pagi, ga mau ke pantai?" tanya Nata dengan begitu santai.
Nata meraih kaca mata hitam dan topi hitam di atas kopernya lalu memakainya. Di liriknya Kanya yang tengah mengikat rambutnya. Begitu cantik."Ga usah di iket! Mau aku serang saat di sana nanti?"alis Nata bertaut serius.Kanya menarik lagi ikatannya dengan kesal, mendelik ke arah Nata dengan sebal lalu meraih kasar topi dan kaca mata hitamnya."Udah puas?" tanya Kanya sewot nan jutek.Nata membuka pintu, mempersilahkan Kanya agar segera keluar."Awas aja kalo jelalatan liat bule - bule, aku ga ak—""Ga usah banyak ngomong! Ayo, aku ga sabar liat pulau yang KATANYA punya aku itu." jengkel Kanya, di tambah perutnya sedang sakit karena PMS.Lagian, siapa Nata? Kenapa harus mengaturnya seperti ayahnya saja. Kanya semakin sebal.Nata menutup pintu hotel lalu meraih lengan Kanya."Kamu kalo lagi datang bulan ngomel mulu." keluh Nata
Nata menggendong Kanya lalu meletakannya di atas kasur yang berada di dalam pesawatnya. Nata melirik asisten yang di kirim papanya yang kini berdiri di belakang Nata."Jangan kasih tahu daddy sama mommy kalau gue bawa cewek liburannya, oke?" pinta Nata penuh peringatan."walau acara sekolah tetep aja mereka engga boleh tahu kalau gue berduaan sama ni cewek." lanjutnya."Baik, tuan muda." dengan patuh asistennya menjawab.Nata menyelimuti Kanya yang terlelap, Nata sengaja mencampurkan obat tidur pada minuman Kanya agar Kanya tidak kelelahan selama perjalanan pulang."Lo keluar." usir Nata pada Bima, sang asisten yang sama umurnya dengan Nata."Baik, tuan muda."Setelah kepergian Bima, Nata bergegas Naik, memeluk Kanya dengan posesif. Sampai kapanpun Kanya tidak akan dirinya lepaskan.Nata mencuri ciuman di kening Kanya.Nata me
Cantik memang tapi wajahnya tak bersahabat, Kanya terlihat sebal. Kanya sebenarnya Malas keluar asrama apalagi malam - malamNamun lagi - lagi karena kekuasaan Nata membuatnya tidak bisa menolak."Bawa jaketnya." Nata melangkah di depan Kanya.Kanya meraih jaketnya dengan tak bertenaga."Mau kemana sih? Besok sekolah." lirih Kanya benar - benar malas bepergian."Makan di luar sayang, berapa kali sih harus di jelasin." Nata masih fokus menalikan sepatunya.Kanya mendengus pelan, Nata masih saja memanggilnya sayang. Membuat telinganya geli!"Di undur bisa? Aku mau tidur aja." pinta Kanya sedikit merengek, wajahnya di tekuk malas."Sebentar sayang, cuma makan." Nata berdiri lalu menghampiri Kanya agar cepat memakai sepatu."Males pake sepatu." kata Kanya mencari alasan agar jangan berangkat."Aku pakein." Nata me
Nata duduk dengan santai, sedangkan Kanya gelisah di sampingnya. Kanya melirik Nata yang sepertinya tidak terganggu dengan Aura Kakaknya yang tengah marah."Nata Giofar, kakak bisa panggil Nata." kata Nata memperkenalkan diri dengan senyum sopan."Giofar?" beo Karel sedikit terkejut.Nata mengulum senyum, untuk pertama kalinya Nata bangga dengan nama belakangnya."Iyah kak, Giofar." senyum Nata kembali terbitkan."Woah! Kamu serius mau sama Kanya?" tanya Karel takjub.Kanya merapatkan kuat - kuat bibirnya saat mendengar itu. Dasar memang rese kakaknya itu."Emangnya kenapa kak? Ada yang salah sama Kanya?" tanya Kanya penuh penekanan."Haha, lucu aja, cewek galak kayak kamu laku dek." kekeh Karel.Karel berganti menatap Nata dengan serius, mengabaikan Kanya yang terlihat akan meledak itu.